Hari Minggu adalah waktu yang saya tunggu-tunggu untuk segera meluncur ke Omah Budoyo yang terletak di Kota Yogyakarta bagian selatan tepatnya di Kampung Karangkajen atau di sebelah selatan Prawirotaman, yang sudah sangat terkenal dengan kampung turisnya. Ada salah satu program yang sudah beberapa bulan dijalankan di tempat tersebut yakni “Sunday Market”. Ya, pasar tiban ini hanya digelar setiap hari Minggu saja. “Sunday Market” mengangkat produk-produk lokal yang diproduksi oleh pengrajin dan mengusaha UMKM di Yogyakarta untuk bisa ditawarkan dan disajikan dalam pasar ini.
Setahu saya, program semacam “Sunday Market” yang ada di Yogyakarta yang mengusung konsep organik dan alami serta keseimbangan lingkungan ini dulu pernah digelar di Milas Resto yang letaknya bersebelahan dengan Omah Budoyo. Hanya saja saat ini sudah tidak berjalan karena resto tutup terkena dampak pandemi. Sekarang, pasar organik digelar di Omah Budoyo ini. Walaupun aneka dagangan dan peserta/pengrajin yang turut serta baru bisa dihitung dengan jari, namun keberadaan “Sunday Market” yang secara rutin melaksanakan kegiatannya, sedikit demi sedikit akan bertambah pula pengunjung yang datang di setiap minggunya.
Pasar ini dimulai jam 10 pagi dan berakhir di jam 4 sore. Saya sengaja datang ke lokasi di jam awal buka agar bisa melihat secara utuh persiapan mereka dalam mendisplay dagangannya. Saya lihat sudah ada beberapa orang yang duduk-duduk berbincang, menunggu dagangan siap disajikan. Ada pula kesibukan petugas Omah Budoyo yang hilir mudik menyiapkan beberapa hal untuk dirapikan, juga kesibukan peserta “Sunday Market” dengan dagangannya masing-masing.
Di serambi atau sekitar pintu masuk terdapat area yang sudah dipersiapan untuk kerajinan asesoris, sabun lokal yang terbuat dari bahan non kimia, serta workshop ecoprint dan juga kuliner ayam gentong. Di bagian dalam lebih banyak lagi spot yang bisa dikunjungi mulai dari produk-produk alami UMKM dari Bantul, makanan tradisional, berbagai kerajinan ramah lingkungan, es krim berbahan dasar alami, keju, juga kue yang dibuat dari bahan-bahan organik.
Komunikasi yang terjadi di setiap lapak sangat akrab. Semua pengunjung akan disapa dengan ramah oleh masing-masing pemilik produk yang disajikan tersebut. Biasanya pengunjung akan menanyakan proses produksi, manfaat dan hal-hal menarik lain yang ingin digali lebih dalam untuk didiskusikan lebih lanjut. Tidak jarang, akan ditemui barang-barang unik yang sebenarnya bersifat lokal dan alami serta sangat mungkin para leluhur kita sudah menggunakan namun saat ini sudah jarang sekali yang menggunakannya, contohnya adalah pembalut kain. Dengan isu konsep ramah lingkungan, pembalut kain dibuat oleh salah satu pengrajin yang hadir di lapak “Sunday Morning”. Pembalut kain ini tentu saja bisa digunakan berkali-kali tanpa menyisakan sampah, seperti penggunaan pembalut sekali pakai langsung buang.
Di lapak yang lain saya temukan juga sabun buatan yang ramah lingkungan karena dibuat dengan bahan non kimiawi. Dibandingkan dengan skincare yang saat ini diproduksi secara besar-besaran dengan skala pabrikan, tentu saja sabun non kimiawi ini lebih mahal harganya. Namun secara kualitas tentu saja lebih banyak manfaatnya jika kita menggunakan produk-produk berbasis alam.
Kebetulan saat ini saya juga sedang berusaha untuk mengkonsumsi berbagai produk dari bahan berbahan dasar alam. Melihat semua produk yang digelar tersebut, tidak terasa tas belanjaan yang saya bawa sudah penuh mulai dari minyak kelapa, makanan dari olahan ketela, permen berbahan minyak kayu putih, keju mozarela, kalung dan gelang yang terbuat dari pecahan kaca, ayam gentong, oseng-oseng bunga kecombrang, dan yang paling berkesan adalah tas ecoprint yang saya buat sendiri di workshop pembuatan ecoprint. Puas!
Bertemu langsung dengan pengrajin ecoprint tentu saja menjadi kesempatan yang bisa saya gunakan untuk berguru dengan ahlinya langsung. Dengan waktu sekitar 20 menitan, saya mendapatkan pendampingan pembuatan ecoprint versi paling dasar. Sudah disediakan tas kain, daun yang akan digunakan untuk hiasan tas, serta alat yang akan digunakan untuk memukul daun-daun tersebut yang terbuat dari kayu. Ternyata sangat menarik dan sederhana teknik yang dipakai dalam pembuatan ecoprint ini. Siapa pun bisa berkarya dengan selembar kain, hanya butuh kreatifitas dalam modelnya. Bahan dasarnya pun sudah disediakan oleh alam, yakni daun-daun atau bunga yang berada di lingkungan kita.
Saya yakin, geliat ekonomi dan pariwisata di Yogyakarta akan kembali bangkit dengan berbagai kegiatan kreatif jika didukung oleh banyak pihak mulai dari pemilik tempat usaha untuk display produk ini, media sosial yang turut membantu promosi dan publikasi, pengrajin dan pengusaha UMKM, serta masyarakat umum yang juga harus mendukung untuk mendatangi arena seperti ini.
Dalam gelaran pasar ini, rasanya ungkapan terima kasih juga perlu disampaikan kepada bapak Warwick Purser selaku kurator sekaligus pemilik dari Omah Budoyo. Kehadiran Omah Budoyo di Yogyakarta ini diharapkan dapat memberikan dampak yang besar terhadap seniman-seniman lokal serta masyarakat pada umumnya. Wisatawan maupun masyarakat lokal dapat menggali lebih jauh tentang budaya serta karya-karya ekonomi kreatif. Kecintaan masyarakat pada produk lokal perlu ditumbuhkan agar bisa bersaing dengan produk luar, karena dari sisi kualitas dan juga cerita, Indonesia umumnya dan Yogyakarta khususnya memiliki potensi yang sangat besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H