Nah, berbicara soal regenerasi petani. Saya punya cerita, memiliki kolega yang dahulu berprofesi juga sebagai petani. Mereka petani di desa Bandang, Samarinda, Kalimantan Timur. Dahulu di tahun 2000-an masyarakat di desa ini giat kali bertani padi, dan semua daerah lembahnya penuh sesak dengan areal persawahan penghasil padi.
Namun karaktersiktik geologis daerah Kalimantan berkata lain, di bawah tanah areal persawahan mereka yang subur itu, terkandung pula bahan mineral batubara dan masuk ke dalam lahan konsesi perusahaan batubara.
Logikanya lantas berkata, ketika kebanyakan warga Desa Bandang rela menukarkan areal persawahannya untuk materi ganti rugi eksploitasi batubara. Dan atas kompensasi itu, warga bisa beranjak pada tingat ekonomi yang layak.
Dengan uang kompensasi tanah miliknya, mereka bisa beli apa saja yang mereka mau, seperti menjalankan ibadah haji yang sulit dilakukan tatkala mereka hanya seorang petani saja.
Dan akhirnya profesi petani ditukar dengan profesi karyawan perusahan batubara di areal tempat tinggalnya. Seiringnya berjalannya waktu, dimana kandungan batubara tergerus, lahan mereka pun kini menjadi hamparan lubang tambang yang tak berguna.
Dan mereka-pun akhirnya harus rela pindah ke daerah lainnya, untuk mengadu nasib pada profesi lain. Dan meninggalkan profesi petani untuk anak cucu mereka. Disinilah mata rantai regenerasi petani itu benar-benar terputus.
Nah , ternyata kisah bawang putih dan cerita petani di Samarinda  klop.
Realita penyusutan lahan pertanian selalu berhubungan dengan susutnya petani benar adanya. Membuat faktor lemahnya produktivitas pertanian. Padahal di masa depan jumlah produksi akan menuntut lebih dari sekarang.
Solusi regenerasi petani