Namun masalahnya apakah Millenial mau untuk terjun ke lapangan, bermandi keringat karena terpapar sengatan sinar matahari? Terlebih hanya untuk menghasilkan produk pertanian yang bernilai 'murah' untuk membiayai masa depan nantinya?
Gajet, Pertanian dan Millenial!
Masih hangat, kenaikan harga bawang putih yang mencapai Rp 100 ribu/Kilogram menjelang Ramadhan beberapa pekan lalu-kan?
Foto Bawang-putih lalu menjadi viral terpampang di banyak media sosial, dan para Nitizen yang dominasi kaum Millenial hanya bisa ber-tweet menuntut Pemerintah untuk segera menurunkan harganya segera.
Padahal  dengan Gajet, kita dengan cepat kita bisa lebih peduli dan mengerti, tantangan, mengapa harga bawang putih bisa-bisanya semahal itu.
Coba kita browsing! Selain masalah rantai-distribusi bawang-putih yang panjang oleh para pedagang. Harus kita akui, produksi bawang putih di tanah air juga memang masih belum optimal!Â
Nah, menurut Dwi Andres Santoso, seorang Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB). Idealnya bawang putih ditanam di dataran ketinggian 800-1300 meter di permukaan laut. Karena bawang putih sangat menginginkan suhu rendah. Dengan sinar matahari berdurasi lama, suhu panas akan membantu proses perkembangan umbi bawang putih untuk menggembung besar.
Sinar matahari di negara Tropis seperti Indonesia terjadi pada durasi 8-10 jam/hari. Sedangkan idealnya bawang putih yang tumbuh subur di daerah sub-tropis seperti Cina memancarkan sinar matahari 17 jam perhari.
Nah, Faktor paparan cahaya matahari itulah yang telah menjadi penghambat produksi bawang putih nasional, karena ukuran umbi bawangnya kecil. Faktor itu menyebabkan produktivitas bawang putih di Indonesia rata-rata 8 ton/hektare, jauh tertinggal oleh Cina yang mencapai 30 ton/Hektare.
Klimak dari permasalahan tadi, menjadikan ongkos produksi tanam bawang putih nasional akan menjadi dua kali lipat lebih mahal dibanding hanya impor dari Cina. Ya mendingan impor saja kan logikanya?