Konsep diri adalah salah satu aspek penting dalam perkembangan psikologi individu. Menurut teori Hurlock, konsep diri mencakup bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, baik dari segi fisik, sosial, maupun emosional. Konsep diri dapat terbentuk melalui berbagai pengalaman hidup, mulai dari interaksi dengan orang lain hingga bagaimana individu memproses keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya. Konsep diri yang positif tidak hanya menjadi pondasi untuk membangun kepercayaan diri, tetapi juga membantu seseorang menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang lebih optimis dan resilien.Â
Dalam teori Hurlock, konsep diri dibangun sejak usia dini dan terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia serta pengalaman. Lingkungan sosial, keluarga, dan pendidikan memainkan peranan besar dalam membentuk konsep diri seseorang. Di lingkungan sekolah, misalnya, interaksi dengan teman sebaya, tanggapan guru terhadap perilaku dan prestasi siswa, serta cara siswa menghadapi tekanan akademis adalah beberapa faktor yang memengaruhi bagaimana mereka memandang diri sendiri. Ketika seorang siswa mampu melihat dirinya secara positif, ia cenderung memiliki motivasi yang lebih kuat untuk berprestasi, merasa lebih percaya diri, dan mampu mengelola emosi dengan baik.Â
Namun, tidak semua individu memiliki konsep diri yang positif. Ada kalanya seseorang merasa kurang percaya diri karena menghadapi situasi yang tidak sesuai harapan, seperti kegagalan akademis atau perbandingan dengan orang lain. Dalam konteks ini, teori Hurlock menekankan pentingnya refleksi diri dan penguatan positif untuk membantu individu membangun kembali pandangan yang sehat terhadap dirinya. Penguatan ini dapat berasal dari lingkungan sekitar, seperti dukungan keluarga, guru, atau teman sebaya, maupun dari upaya individu sendiri untuk fokus pada kelebihan dan potensi yang dimiliki.Â
Dalam konteks pendidikan, konsep diri yang kuat dan positif menjadi kunci bagi siswa untuk menghadapi dinamika kehidupan di sekolah. Siswa dengan nilai rendah, misalnya, sering kali menghadapi tekanan yang lebih besar karena stigma atau ekspektasi yang tidak tercapai. Kondisi ini dapat memengaruhi kepercayaan diri mereka dan bagaimana mereka memandang kemampuan akademisnya. Dukungan dari guru dan lingkungan yang positif sangat diperlukan agar siswa dapat memahami bahwa nilai rendah bukanlah akhir dari segalanya, melainkan peluang untuk belajar dan memperbaiki diri.Â
Penulis telah mewawancarai seorang siswa berinisial HA yang duduk di kelas 10 di salah satu SMA di Kota Depok yang ingin berbagi pengalamannya mengenai rasa percaya diri di sekolah. Ia mengungkapkan bahwa dirinya tidak selalu merasa percaya diri, terutama saat menghadapi situasi baru. Rasa gugup sering kali muncul, tetapi ada pengalaman yang membuatnya merasa lebih percaya diri, yaitu ketika berbicara di depan banyak orang dan mendapatkan perhatian penuh dari audiens. Momen seperti itu memberikannya rasa dihargai, yang menjadi sumber kepercayaan diri.Â
Dalam proses pembelajaran, HA merasa lebih tertarik jika guru menyampaikan materi dengan cara yang mudah dipahami. Penjelasan yang jelas dan sederhana membuatnya lebih fokus dan antusias terhadap pelajaran. Sebaliknya, ia mengakui bahwa materi yang sulit dipahami sering kali membuatnya jenuh dan bosan. Oleh karena itu, ia sangat menghargai guru yang mampu menjelaskan dengan metode yang efektif dan menarik.Â
Ketika menghadapi kegagalan atau kesalahan, introspeksi diri menjadi langkah utamanya untuk bangkit kembali. Dengan refleksi tersebut, ia belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Selain itu, HA mencoba tetap memotivasi dirinya dengan mengingat tujuan dan pencapaian yang ingin diraih. Tantangan di sekolah juga dihadapinya dengan fokus pada diri sendiri, tanpa membandingkan dirinya dengan orang lain. Cara ini membantunya tetap percaya diri meskipun situasi tidak selalu mudah.Â
Saat menghadapi kekurangan, ia memilih untuk memandang dirinya secara positif. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki kekurangan, dan tidak ada yang sempurna. Ia lebih memilih untuk fokus pada kelebihannya, yang memberikannya energi positif untuk terus berkembang. Meski demikian, ia mengaku pernah merasa kurang mampu dibandingkan teman-temannya, terutama saat kesulitan memahami materi yang dianggap sulit. Namun, ia berusaha untuk terus belajar dan mencari cara agar dapat lebih memahami pelajaran tersebut.Â
Pengalaman yang membuatnya sedih, kecewa, atau frustrasi di sekolah termasuk saat harus menjalani remedial pada mata pelajaran yang ia sukai. Hal ini membuatnya merasa kecewa, tetapi juga menjadi dorongan untuk belajar lebih giat. Faktor lain yang menghambat kemajuan akademisnya adalah kebiasaan menunda-nunda belajar dan terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial seperti Twitter dan TikTok. Ia menyadari bahwa kebiasaan ini harus diatasi agar dapat lebih fokus pada prestasi akademik.Â
Rasa ragu untuk mencoba sesuatu yang baru juga pernah dirasakan oleh HA. Kekhawatiran terhadap pandangan orang lain sering kali menjadi penyebab utama keraguannya. Namun, ia berusaha untuk melawan rasa ragu tersebut dengan melihat peluang untuk belajar dari pengalaman baru. Selain itu, kejenuhan saat belajar juga sering dialaminya, terutama ketika materi terasa sulit dan membosankan. Ia menyadari pentingnya mencari metode belajar yang lebih menarik, seperti diskusi kelompok atau penggunaan media pembelajaran interaktif, agar proses belajar menjadi lebih menyenangkan.Â
Dengan refleksi, motivasi diri, dan usaha untuk terus berkembang, siswa ini berusaha untuk menghadapi tantangan di sekolah dengan percaya diri dan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri.