Kita patut berbangga, bersama Bhutan, Rwanda dan Kolumbia, Indonesia didaulat meraih UNESCO's Literacy Prizes for 2012 atas keberhasilannya dalam program-program literasi atau pemberantasan buta aksara dunia. UNESCO menilai bahwa program ini oleh Indonesia dilakukan secara berhasil untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi eradicated illiteracy melalui membaca, pendekatan budaya, pelatihan-pelatihan dan bahan enterpereneurship mencakup 3 juta kaum perempuan jadi prioritas sehingga Indonesia siap berkompetisi secara global. Dari jumlah penduduk Indonesia yang menyentuh angka sekitar 250 juta jiwa, yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen.
Tentu saja Achievement ini tak lantas membuat kita berbangga hati. faktanya, masih ada penduduk Indonesia yang tak bisa membaca huruf latin, apalagi menuliskannya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, sampai saat ini tercatat terdapat 11 provinsi yang persentase buta aksaranya masih di atas rata-rata nasional (2,07%) atau 3.387.035 jiwa (15-59 tahun). Jika dilihat dari perbedaan gender, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah, yakni 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang.
Apabila kita meyakini bahwa sebagian penyumbang pada rendahnya indeks pembangunan manusia adalah ketiga faktor, yakni sekolah, pengangguran, dan kemiskinan, maka mengangankan terciptanya generasi yg literat adalah jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya. Jadi dapat dipahami secara sederhana bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Jauh sebelum itu Kartini adalah perempuan yang berjuang dengan literasi, berjuang dengan bacaan dan tulisan untuk menyadarkan siapapun tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoudya Ananta Toer digambarkan bagaimana kartini adalah orang yang senang membaca, dari membaca itu kemudian fikirannya menjadi terbuka, dia turun ke masyarakatnya untuk menyelami berbagai persoalan, kemudian Kartini tuliskan yang menjadi kegelisahannya.Â
Dia tulis pada lembaran-lembaran surat, yang dikirimkan kepada temannya di Belanda, dia menulis di media masa dengan nama samaran, dan Kartini sudah dapat menuliskan Handicraft Van Java  sebagai sebuah tulisan yang dikirimkan ke Belanda untuk menjadi pengantar sebuah pameran ukiran Jepara di Belanda. Kartini dengan kesadaran Literasi Baca-Tulis di masalalu telah menggerakan pikiran-pikiran para pemegang kebijakan di Belanda untuk negeri terjajah di Hindia-Belanda (Nusantara)
Kartini menggambarkan masyarakat terjajah saat itu tak ubahnya 'hutan rimba' yang gelap gulita. Kepada kawan karibnya, Estelle Zeehendelaar, Kartini menulis: "Duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang Jawa terpelajar, dia tidak akan gampang menjadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi." Tetapi Kartini tidak pasrah dengan keadaan gelap-gulita itu. Ia sangat menyadari, bahwa keadaan gelap-gulita itu bisa diterangi dengan obor pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, ia selalu berusaha untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi.
Semangat Kartini sangat gampang ditemui di setiap ruas pemikiran para pejuang kemerdekaan Indonesia. Makanya, tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Seturut dengan kartini, begitu Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, presiden Sukarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta-huruf di kalangan rakyat Indonesia. Hasilnya sungguh menakjubkan: pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.
Yang patut dicatat dari pengalaman dua tokoh sentra Kartini dan Soekarno. Pertama, adanya komitmen kuat pemerintahan saat itu untuk menempatkan pemberantasan buta-huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh dikesampingkan. Kedua, adanya proses pelibatan dan mobilisasi rakyat dalam mensukseskan pemberantasan buta huruf. Memberantas buta-huruf bukan sekedar misi mengajari rakyat bisa membaca dan menulis. Juga bukan sekedar untuk mengantarkan rakyat dari gelap menuju tempat terang. Namun, lebih penting dari itu, misi pengentasan buta aksara adalah misi menyempurnakan "kewarganegaraan"
Ke depan, tantangan Indonesia di era digital saat ini bukan semata menuntaskan buta aksara. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, kini literasi pada zaman sekarang adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. mengutip Lenin: "seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik." Maksudnya sangat jelas: tanpa bisa membaca dan menulis, yang berarti tidak menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga, seseorang akan sulit bertindak atas nama dirinya dalam politik.
Melek aksara juga menjadi alat untuk mempromosikan kesetaraan gender, memperbaiki kesehatan keluarga, melindungi lingkungan dan mempromosikan partisipasi demokrasi. Literasi merupakan bagian terpadu dari pendidikan dan bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Setiap kali masyarakat bergerak maju ke arah literasi (keberaksaraan), maka tidak diragukan lagi bahwa perkembangan dan pendekatan masyarakat terhadap konsep pembangunan akan lebih cepat.
"Literacy in a Digital World", yakni Membangun Budaya Literasi di Era Digital, dengan tujuan melihat jenis keterampilan keaksaraan yang dibutuhkan orang untuk menavigasi masyarakat yang dimediasi secara digital, dan mengeksplorasi kebijakan keaksaraan yang efektif. Definisi baru dari literasi menunjukkan paradigm baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajarannya. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Tanpa kecakapan literasi baca-tulis yang mumpuni, orang yang menerima informasi tak akan mampu untuk menganalisis dan mengidentifikasi kebenaran informasi yang diterimanya. Akhirnya, informasi yang diterima hanya dibaca tanpa pemahaman lalu dipercayai tanpa saringan bahkan hingga akhirnya disebar begitu saja.
Dalam forum ekonomi dunia digagas enam literasi dasar yang harus dimiliki oleh negara-negara berkembang dalam hal ini termasuk Indonesia, keenam literasi itu adalah Literasi Baca Tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, literasi budaya dan kewargaan, dari ke enam literasi dasar tersebut literasi baca-tulis adalah induk daripada ke enam literasi dasar tersebut apalagi pada abad ke-21 ini.
Berdasarkan need assessment di atas untuk mengatasi permasalahan dan kesulitan literasi, pelatihan penyusunan bahan ajar berbasis kearifan budaya lokal tentu tak boleh diindahkan. Bahwa pendidikan berbasis kebudayaan adalah alat paling ampuh dalam rangka menanamkan kedasaran berbudaya dengan karakter jati diri sesungguhnya dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) agar masyarakat tidak tercerabut dari akarnya.
Potensi lokal daerah sudah seharusnya dikelola dan dikembangkan untuk menciptakan masyarakat sejahtera dan mandiri. Pun, Kemerdekaan Indonesia tak mungkin diraih tanpa kebangkitan literasi lokal yang dimotori Budi Utomo. Budi Utomo mengembangkan pendidikan keaksaraan menjadi pemberdayaan rakyat pribumi dan pergerakan sosial. Sekolah yang dikembangkan Budi Utomo memodifikasi sekolah Belanda dengan memasukkan nilai-nilai budaya Jawa. Dengan kemunculan Budi Utomo, perjuangan melawan penjajah menjadi lebih terorganisasi karena dimotori kaum intelektual pribumi. Budi Utomo melakukan transformasi sosial melalui pendidikan dengan kegiatan literasi yang tak hanya menjadikan rakyat pribumi melek aksara, tetapi juga motor perubahan sosial. Dengan berbagai strategi pelatihan yang berbasis potensi lokal untuk mengembangkan kearifan lokal, lambat laun ketidakmampuan mereka dalam membaca dan menulis akan dapat diatasi.
Mengapa? Suatu keterampilan jika dilatihkan dengan terus menerus, dilakukan dengan strategi yang tepat, tutor yang pandai dan terampil, media yang tepat, materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka, juga ditunjang dengan motivasi yang baik, maka akan ada hasil yang dapat dibanggakan. Strategi pembelajaran literasi yang berbasis potensi lokal dapat diterapkan pada berbagai daerah dengan berbagai potensi yang ada pada daerah masing-masing.
Lingkunganlah yang nantinya akan dapat selektif memilihkan, potensi lokal mana yang akan dikembangkan untuk dijadikan bahan pembelajaran. Pembelajaran dapat dilakukan dengan menyertakan bahan-bahan yang ada di sekitar daerah mereka juga dengan menggunakan media bahasa lokal. Bahasa lokal yang digunakan dalam proses pembelajaran literasi dapat dengan sangat baik mengakomodir kebutuhan khususnya kaum perempuan untuk data memberdayakan hidupnya. Kemampuan yang didapatkan dari strategi pembelajaran literasi berbasis potensi lokal untuk mengembangkan kearifan lokal, akan dapat dijadikan kemampuan awal oleh para perempuan yang bermaksud untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.
Di saat bersamaan, lahirnya UU No 6 Tahun 2014 jelas merupakan kabar baik bagi masyarakat desa pada umumnya. Mengapa demikian? Tentu jawabanya karena desa kini mempunyai kewenangan penuh untuk mempersiapkan perencanaan sendiri (self planning) yang sesuai dengan konteks lokal (tipologi) sesuai desanya masing-masing, sekaligus memiliki kepastian anggaran dari dana perimbangan pusat daerah. Ditinjau dari tipologi, tentu akan berpengaruh pada aspek pemahaman masyarakatnya dan imbasnya adalah pada bentuk-bentuk improvisasi sumberdaya manusianya.
Bukan hanya itu efek dari pengembangan literasi berbasis potensi dan kearifan lokal ini akan menggiring masyarakatnya untuk menjadi sadar wisata, agar daerah mereka dapat dikenal lebih dekat oleh orang lain. Akan banyak muncul daerah daerah wisata yang tetap menghargai kearifan lokal dan potensi lokal mereka. Dengan begitu, budaya kita akan dapat dilestarikan dan semakin kukuh.
Namun yang tidak boleh dilupakan adalah upaya meyakinkan masyarakat desa dengan keseriusan pemerintah dalam mengajak partisipasi aktif masyarakat desa membangun desanya masing-masing agar lebih mandiri secara ekonomi, sosial maupun budaya. Jauh lebih baik jika pemerintah menggandeng serta memberi porsi partisipasi lebih besar kepada pemuda desa sebagai duta pembangunan desa, sebagai keberpihakan nyata kepada pemuda melalui perluasan akses piranti digital agar lebih bermanfaat dan meningkatkan nilai tambah perekonomian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H