Mohon tunggu...
ERA SOFIYAH
ERA SOFIYAH Mohon Tunggu... Penulis - AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menasbihkan Kembali Literasi Lokal di Era Digital

31 Juli 2019   23:18 Diperbarui: 1 Agustus 2019   07:28 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita patut berbangga, bersama Bhutan, Rwanda dan Kolumbia, Indonesia didaulat meraih UNESCO's Literacy Prizes for 2012 atas keberhasilannya dalam program-program literasi atau pemberantasan buta aksara dunia. UNESCO menilai bahwa program ini oleh Indonesia dilakukan secara berhasil untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi eradicated illiteracy melalui membaca, pendekatan budaya, pelatihan-pelatihan dan bahan enterpereneurship mencakup 3 juta kaum perempuan jadi prioritas sehingga Indonesia siap berkompetisi secara global. Dari jumlah penduduk Indonesia yang menyentuh angka sekitar 250 juta jiwa, yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen.

Tentu saja Achievement ini tak lantas membuat kita berbangga hati. faktanya, masih ada penduduk Indonesia yang tak bisa membaca huruf latin, apalagi menuliskannya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, sampai saat ini tercatat terdapat 11 provinsi yang persentase buta aksaranya masih di atas rata-rata nasional (2,07%) atau 3.387.035 jiwa (15-59 tahun). Jika dilihat dari perbedaan gender, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dengan jumlah, yakni 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang.

Apabila kita meyakini bahwa sebagian penyumbang pada rendahnya indeks pembangunan manusia adalah ketiga faktor, yakni sekolah, pengangguran, dan kemiskinan, maka mengangankan terciptanya generasi yg literat adalah jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya. Jadi dapat dipahami secara sederhana bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Jauh sebelum itu Kartini adalah perempuan yang berjuang dengan literasi, berjuang dengan bacaan dan tulisan untuk menyadarkan siapapun tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoudya Ananta Toer digambarkan bagaimana kartini adalah orang yang senang membaca, dari membaca itu kemudian fikirannya menjadi terbuka, dia turun ke masyarakatnya untuk menyelami berbagai persoalan, kemudian Kartini tuliskan yang menjadi kegelisahannya. 

Dia tulis pada lembaran-lembaran surat, yang dikirimkan kepada temannya di Belanda, dia menulis di media masa dengan nama samaran, dan Kartini sudah dapat menuliskan Handicraft Van Java  sebagai sebuah tulisan yang dikirimkan ke Belanda untuk menjadi pengantar sebuah pameran ukiran Jepara di Belanda. Kartini dengan kesadaran Literasi Baca-Tulis di masalalu telah menggerakan pikiran-pikiran para pemegang kebijakan di Belanda untuk negeri terjajah di Hindia-Belanda (Nusantara)

Kartini menggambarkan masyarakat terjajah saat itu tak ubahnya 'hutan rimba' yang gelap gulita. Kepada kawan karibnya, Estelle Zeehendelaar, Kartini menulis: "Duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang Jawa terpelajar, dia tidak akan gampang menjadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi." Tetapi Kartini tidak pasrah dengan keadaan gelap-gulita itu. Ia sangat menyadari, bahwa keadaan gelap-gulita itu bisa diterangi dengan obor pengetahuan dan pencerahan. Karena itu, ia selalu berusaha untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi.

Semangat Kartini sangat gampang ditemui di setiap ruas pemikiran para pejuang kemerdekaan Indonesia. Makanya, tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Seturut dengan kartini, begitu Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, presiden Sukarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta-huruf di kalangan rakyat Indonesia. Hasilnya sungguh menakjubkan: pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.

Yang patut dicatat dari pengalaman dua tokoh sentra Kartini dan Soekarno. Pertama, adanya komitmen kuat pemerintahan saat itu untuk menempatkan pemberantasan buta-huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh dikesampingkan. Kedua, adanya proses pelibatan dan mobilisasi rakyat dalam mensukseskan pemberantasan buta huruf. Memberantas buta-huruf bukan sekedar misi mengajari rakyat bisa membaca dan menulis. Juga bukan sekedar untuk mengantarkan rakyat dari gelap menuju tempat terang. Namun, lebih penting dari itu, misi pengentasan buta aksara adalah misi menyempurnakan "kewarganegaraan"

Ke depan, tantangan Indonesia di era digital saat ini bukan semata menuntaskan buta aksara. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, kini literasi pada zaman sekarang adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. mengutip Lenin: "seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik." Maksudnya sangat jelas: tanpa bisa membaca dan menulis, yang berarti tidak menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga, seseorang akan sulit bertindak atas nama dirinya dalam politik.

Melek aksara juga menjadi alat untuk mempromosikan kesetaraan gender, memperbaiki kesehatan keluarga, melindungi lingkungan dan mempromosikan partisipasi demokrasi. Literasi merupakan bagian terpadu dari pendidikan dan bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Setiap kali masyarakat bergerak maju ke arah literasi (keberaksaraan), maka tidak diragukan lagi bahwa perkembangan dan pendekatan masyarakat terhadap konsep pembangunan akan lebih cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun