Mohon tunggu...
ERA SOFIYAH
ERA SOFIYAH Mohon Tunggu... Penulis - AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

AKU ADALAH AKU BUKAN KAMU DIA ATAU MEREKA, KITA ADALAH SATU DAN KAMI BERSAUDARA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaring Agropreneur Muda, Membidik Indonesia Sejahterah dari Pinggiran Desa

22 Mei 2019   09:17 Diperbarui: 22 Mei 2019   11:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/hashtag/pembangunanpedesaan?src=hash

 Isu-isu terkait pangan di masa depan menjadi isu penting dan masuk dalam ranah atau kawasan yang berpotensi menjadi sumber konflik. Sebagai negeri agraris, dalam hal ketersediaan pangan, aspek-aspek terhadap kemampuan produksi pertanian Indonesia justeru dianggap masih lemah, sementara kebutuhan pasokan atau permintaan dari waktu ke waktu terus meningkat. 

Disisi lain, semakin mengecilnya lahan pertanian, konversi lahan pertanian yang terus berlanjut, kerusakan lingkungan, dan mutu kelembagaan petani yang dinilai rendah adalah kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan. Bila kondisi ini terus berlanjut tentu berdampak terhadap kemampuan produksi dalam negeri sekaligus menurunnya daya saing di pasar global.

Mengangkat realita kehidupan para pejuang pangan berikut problematikanya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merangkumnya dalam film dokumenter bertajuk "Srono Urip: Modernisasi dan Krisis Regenerasi Petani di Pedesaan." "Srono Urip" yang berarti sarana hidup sangat identik dengan pertanian terutama bagi masyarakat Jawa. Sebuah kisah nyata berdasarkan riset di beberapa daerah eks Karasidenan Surakarta yakni Sragen, Klaten dan Sukoharjo yang merupakan lumbung padi nasional.


Menyaksikan tayangan berdurasi 15 menit ini, rasanya menjadi sebuah ironi yang berujung tanda tanya besar. Bagaimana nasib ketahanan pangan Indonesia di masa depan, jika modernisasi yang kerap digadang-gadang membawa perubahan justru mengasingkan para pemuda desa nan lugu dari lingkungannya. Dalam film ini juga menunjukkan kegawatan problem di pedesaan yang sifatnya tidak kelihatan, tidak drastis, pelan-pelan, tapi pada ujungnya akan membawa dampak luar biasa. 

Urbanisasi pemuda desa menciptakan krisis regenerasi petani. Pertanian skala kecil yang selama ini menghasilkan kebutuhan pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia mengalami situasi krisis karena produktivitas pertanian ditopang tenaga kerja usia tua yang semakin kurang produktif.

Bisa dipahami, modernisasi, khususnya di pedesaan, yang telah jauh merambah bidang pendidikan, kesejahteraan keluarga, pertanian, dan mata pencaharian non-pertanian tentunya sangat berimbas pada kemajuan sebagian kehidupan penduduk pedesaan.  

Namun tak bisa dipungkiri, modernisasi yang kebablasan kerap ditengarai sebagai salah satu faktor penyebab generasi muda enggan bertahan dan menggarap tanah leluhurnya dan lebih memilih berkarya di sektor lain yang lebih menjanjikan secara materi.  

Jika dibiarkan, tentu saja hal ini akan berdampak pada struktur ketenagakerjaan. Dalam konteks kedaulatan pangan, fenomena keluarnya pemuda dari sektor pertanian akan menjadi permasalahan serius yang mengancam regenerasi petani.

Kementerian Pertanian mencatat, setiap tahun jumlah rumah tangga petani yang hilang sekitar 2 persen. Mereka beralih menekuni usaha lain di luar sektor pertanian. Jika dipetakan, dari sekitar 26,3 juta rumah tangga petani, 65 persen sudah di antaranya berusia di atas 45 tahun. 

Dari segi luas lahan, petani pada umumnya gurem. Tercatat 87,63 persen atau 22,9 juta rumah tangga adalah petani dengan kepemilikan luas lahan kurang dari 2 hektare. Sekitar 5 juta rumah tangga petani dilaporkan memiliki luas lahan sawah di bawah 0,5 hektare.

Tidak hanya di Indonesia, perubahan struktur ketenagakerjaan di sektor pertanian ternyata juga terjadi di negara-negara agraris lainnya di dunia, antara lain di Philipina, dimana rata-rata usia petani mencapai 57 tahun, dengan kecenderungan semakin sulit ditemukan pemuda yang kembali ke pertanian. 

Begitupun dengan negara maju seperti di Jepang dan Eropa, dimana umur petani mencapai rata-rata 65 tahun. Sedangkan di negara-negara Afrika, walaupun sekitar 65% pemudanya tinggal di daerah pedesaan namun mereka tidak tertarik bekerja di sektor pertanian.

Krisis regenerasi yang mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan bukan satu-satunya masalah yang menyebabkan sektor pertanian menjadi asing bagi generasi jaman now. Di saat yang bersamaan, petani kita masih harus dihadapkan pada masalah konflik agraria. 

Setengah abad lebih Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) diluncurkan dengan semangat menciptakan keadilan sosial di sektor agraris. Nyatanya, situasi agraria nasional dewasa ini belum sepenuhnya lepas dari feodalisme, kolonialisme, dan kapitalisme.

Pada peringatan HTN tahun 2017 lalu, aliansi puluhan serikat petani dan LSM bidang lingkungan hidup mengetengahkan tema Indonesia Darurat Agraria. Mereka menuntut pemerintah melaksanakan reformasi agraria sejati berlandaskan TAP MPR No IX/2001, UUPA 1960, dan UUD 1945. Ini sebagai pondasi dasar pengelolaan kekayaan agraria nasional yang berkeadilan dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), monopoli kekayaan agraria terjadi hampir di semua sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah darat Indonesia, 71 persen dikuasai korporasi kehutanan. Kemudian, 16 persen korporasi perkebunan, 7 persen para konlomerat. Sisanya baru rakyat kecil, 4 persen wilayah darat.

Di tengah mandek dan biasnya pelaksanaan reforma agraria, perampasan dan kriminalisasi petani justru kian marak. Tahun 2015 hingga 2016, telah terjadi 702 konflik agraria yang mengorbankan 195.459 KK petani. Jika dibagi dengan jumlah hari per tahuan, maka tiap hari ada petani yang dihadapkan dengan perebutan lahan (KPA, 2015 dan 2016). 

Dalam rentang waktu tersebut, KPA juga mencatat 455 petani dikriminalisasi atau ditahan, 229 mengalami kekerasan, dan 18 tewas di medan konflik agraria. Sedangkan reformasi agraria  masih jalan di tempat.

Tak sampai disitu, dibanding Upah nominal harian buruh bangunan, upah nominal harian buruh tani nasional masih jauh di bawah rata-rata kebutuhan hidup layak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, upah nominal harian buruh tani nasional Agustus 2017 naik sebesar 0,15 persen dari Juli 2017, namun masih sekitar 50.000 sehari.  

Ironisnya, kenaikan upah nominal buruh tani (yang juga masih dinilai rendah) diperparah dengan menurunnya upah riil buruh tani dari hari ke hari. Hal ini telah memperparah kemiskinan di desa yang selama ini tertutupi terutama dari rasio gini berlandaskan konsumsi masyarakat. Kemiskinan petani di desa tersebut telah menggeser masyarakat petani yang tidak berdaya untuk terdorong pergi ke kota untuk mencukupi kehidupannya yang tidak terpenuhi bila hanya mengandalkan sektor pertanian semata yang selama ini tidak mendatangkan kesejahteraan baginya. 

katadata.com
katadata.com

BPS juga mencatat penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) 0,21 persen pada Ma­ret 2019 dibanding dengan Februari 2019. Penu­runan itu berdasarkan hasil pemantauan harga-harga perdesaan di 33 provinsi di Indonesia. NTP merupakan indikator daya beli karena dapat melihat tingkat kemampuan petani menukar produk pertaniannya menjadi barang dan jasa yang dikonsumsi maupun digunakan kembali dalam biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani.

Sumber: BPS 
Sumber: BPS 

Tatkala menggarap sawah menjadi begitu melelahkan dengan hasil yang tak mencukupi, tak mengherankan banyak petani memilih berpasrah dan menyerahkan lahan pada pengembang.  Pun, hal ini membuat sektor pertanian menjadi tidak begitu menarik bagi angkatan kerja. 

https://twitter.com/hashtag/pembangunanpedesaan?src=hash
https://twitter.com/hashtag/pembangunanpedesaan?src=hash

Dalam beberapa permasalahan umum yang dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa pertanian pangan di Indonesia telah pada level yang begitu mengkhawatirkan. Gambaran masalah tersebut telah menjauhkan cita-cita Indonesia tidak hanya mencapai swasembada pangan, tetapi menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Maka dari itu, regenerasi penerus pelaku pertanian harus disiapkan secara masif dan integral. Menilai kembali bagaimana SDM muda pertanian dan peran yang dapat dimainkan adalah upaya vital yang sangat secara potensial dan aktual dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-persolan pertanian, produksi, maupun daya saing serta kedaulatan pangan.

Regenerasi akan diharapkan memberikan "energi' baru, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Bersifat fisik terkait dengan kebutuhan umur produktif yang secara jasmaniah mampu menopang kerja-kerja fisik dalam usaha tani. Bersifat non fisik terkait dengan kemampuan belajar untuk selanjutnya melakukan adopsi inovasi dalam menjalankan usaha tani. Kemampuan belajar terus menerus dan penguasaan terhadap teknologi khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi akan berdampak positif bagai peningkatan daya saing petani. Generasi muda yang tidak subsisten seperti generasi tua tetapi yang siap memiliki mental baja, tekat yang kuat, dan mewarisi jiwa kewirausahaan. Sehingga istilah yang cocok buat mereka adalah seorang agropreneur.

Berbagai dukungan dan kebijakan yang diberikan kepada agropreneur muda agar tertarik menggeluti pertanian akan efektif jika sektor pertanian dapat menghasilkan cukup pendapatan guna membiayai hidup keluarga, tersedia sumber daya dasar seperti tanah, modal, pelatihan, alat bertani, dan pasar, serta hasil karya mereka dihargai oleh masyarakat dan pemerintah.  Operasional dari kebijakan tersebut dapat direfleksikan dalam bentuk :

(a) menyediakan akses bagi pemuda tani atas kepemilikan atau hak pemanfaatan lahan; 

(b) menyediakan program pertanian secara terintegrasi dengan layanan pendukung lainnya,termasuk pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, pelatihan kepemimpinan, kredit, teknologi, input pertanian, teknologi dan perlengkapan tepat guna, subsidi, asuransi, dan pasar; 

(c) memberikan peluang bagi pemuda tani untuk saling belajar, berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dan perumusan kebijakan; 

(d) meningkatkan infrastruktur di daerah perdesaan, dan memberikan jaminan dan perlindungan sosial bagi petani muda; 

(e) memberikan dukungan bagi keluarga tani melalui kebijakan dan program yang komprehensif serta terintegrasi dengan reformasi agraria, pembangunan perdesaan dan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Semua upaya tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatkan pendapatan dan daya tahan petani, sehingga mengubah persepsi pemuda tentang pertanian ke arah penilaian yang lebih positif. 

Selain itu,  sesuai dengan karakteristik sebagian besar petani kecil dan kondisi di Indonesia, kebijakan untuk mendorong alih generasi petani melalui suksesi usaha pertanian keluarga merupakan alternatif yang lebih relevan dilakukan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan pendekatan secara sosio budaya sesuai dengan kearifan lokal di masing-masing daerah agar sistem warisan ke generasi berikutnya berjalan efektif untuk berlangsungnya regenerasi dan guna menghindari fragmentasi lahan. Keberhasilan kebijakan tersebut memerlukan diagnosis demografi secara benar. 

Memperlancar alih generasi melalui suksesi usaha pertanian keluarga merupakan kebijakan yang relevan dengan kondisi di Indonesia selain mengatasi hambatan masuk untuk petani muda ke sektor pertanian.  Dengan demikian, diharapkan akan berlangsung alih generasi petani dalam rangka mengurangai arus urbanisasi ke kota yang merupakan bentuk pengurasan tenaga kerja muda berkualitas di perdesaan.

Sekali lagi, perlu keberpihakan pemerintah untuk memberikan dukungan secara khusus kepada generasi muda petani. Melalui program-program tersebut, dukungan kepada generasi muda petani berpeluang untuk dilakukan dengan diikuti regulasi, aturan serta penegakan pelaksanaan aturannya (law enforcement).

Referensi :

URGENSI REGENERASI SDM PERTANIAN DALAM UPAYA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN

Krisis Regenerasi Petani

 LIPI: Krisis Regenerasi Petani, Masalah Serius di Perdesaan

Petani: Petani Muda dan Persepsi Bertani

KEBIJAKAN INSENTIF UNTUK PETANI MUDA: Pembelajaran dari Berbagai Negara dan Implikasinya bagi Kebijakan di Indonesia 

Peluang Agropreneur Muda

Kesejahteraan Petani dan Kedaulatan Pangan Indonesia (Strategi Pemerintah Dalam Mengentaskan Kemiskinan Petani di Perdesaan)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun