Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang hangat dengan seorang pakar herbalis tentang bermacam khasiat obat-obatan alami asli Indonesia. Tak lama, beliau yang asli Aceh Meulaboh bercerita tentang kondisi masyarakat serambi Mekkah pasca tsunami dahsyat yang menelan lebih dari 300.000 jiwa. Menurut bapak yang sudah lebih dua puluh tahun berpraktek sebagai herbalis ini, gempa berkekuatan 9 skala ritcher lebih dari satu dekade lalu benar-benar menyisakan trauma tak berkesudahan. Kehilangan salah satu kerabatnya, dan jasadnya tak diketemukan sampai sekarang cukup menyisakan luka dihatinya.Â
Kami sudah terbiasa merasakan guncangan diatas 5 SR. Bahkan kami masih bisa terlelap tidur walaupun ranjang seringkali bergetar hebat. Namun tsunami lalu benar-benar diluar kendali manusia. Cobaan ini bukan hanya guncangan bagi Aceh tapi juga dunia, ujarnya dengan mata menerawang. Saya hanya bisa menangis dalam hati mendengar penuturan beliau. Terbayang dalam benak saya, situasi yang kerap menyimpan misteri dan sewaktu-waktu siap mengancam jiwa mereka. Sementara di lokasi yang amanpun, sedikit saja getaran bumi sudah membuat saya panik luar biasa. Namun bagi saudara-saudara di aceh, tsunami menjadi bagian tapak hidup yang menyisakan sejarah kelam. Masih menurut beliau yang juga menjadi tim relawan terapy healing, sampai saat ini masih banyak korban tsunami yang belum mampu bangkit dari keterpurukan dan masih sangat membutuhkan rehabilitasi baik secara medis maupun kejiwaan.
***
Posisi geografis dan geodinamik Indonesia telah menempatkan tanah air kita sebagai salah satu wilayah yang rawan bencana alam (natural disaster prone region ). Tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu, proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang khas dan sangat bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan potensi ancaman banjir, penurunan tanah, dan tsunami.
Unsur kunci dari terjadinya bencana adalah resiko, yaitu kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta, gangguan kegiatan perekonomian, dan berbagai kerugian lainnya) karena suatu bahaya atau ancaman bencana terhadap suatu wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu. Tidak semua potensi bahaya alam akan menimbulkan resiko bencana. Apabila suatu peristiwa yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang rentan, maka daerah tersebut beresiko terjadi bencana. Jadi resiko dipengaruhi oleh faktor-faktor bahaya (hazards) dan kerentanan (vulnerability)
Hikmah atas peristiwa bencana yang selama ini terjadi, ternyata belum tercermin pada upaya penanganan bencana. Secara umum dapat dikatakan bahwa penanganan resiko bencana selama ini belum sistematis dilakukan dalam domain-domain bencana yang spesifik dan bervariasi. Penanganan umumnya dilakukan dalam kondisi darurat, reaktif ketika bencana terjadi, dengan data dan informasi sangat minim, belum dilakukan secara proaktif untuk mencegah dan mengurangi dampak resiko bencana. Â
Peningkatan kerentanan bencana ini akan lebih diperparah lagi apabila masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana di wilayahnya. Sementara tingkat kepekaan terhadap tanda-tanda bencana secara tradisional seperti sensitive terhadap perilaku binatang dan perubahan suhu sudah mulai menurun, sedangkan kemampuan membaca bencana secara modern masih belum memiliki. Untuk itu, upaya-upaya yang komprehensif dan berkesinambungan untuk mengurangi potensi dampak kerugian akibat bencana ini terus diupayakan pemerintah lewat berbagai perundangan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pendekatan proaktif dalam pengurangan resiko bencana merupakan salah satu bagian terpenting dari konsep penanggulangan bencana. Karena itulah muncul pengelolaan penanganan bencana atau yang lebih dikenal dengan mitigasi bencana. Mitigasi bencana pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu berupa korban jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Selain itu, mitigasi bencana umumnya juga dimaksudkan untuk mengurangi konsekuensi-konsekuensi dampak lainnya akibat bencana, seperti kerusakan infrastruktur, terganggunya kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kejadian bencana, yang seringkali datang lebih cepat dariwaktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.
Usaha mitigasi dapat berupa prabencana, saat bencana, dan pasca bencana. Prabencana berupa kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk mengantisipasi bencana, melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan kalau terjadi bencana serta langkah-langkah untuk memperkecil resiko bencana. Pada saat kejadian berupa tanggap darurat yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana untuk menanggulangi damepak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban, harta benda, evakuasi dan penguangsian. Pascabencana berupa pemulihan rehabilitasi dan pembangunan.
Untuk mendefinisikan rencana atau strategi mitigasi yang komprehensif, tepat dan akurat, perlu juga dilakukan kajian resiko, sehingga  gambaran potensi bahaya alam yang mungkin terjadi disuatu daerah dapat diketahui, prioritas-prioritas bahaya dan kerentanannya pun dapat diidentifikasi dengan tepat. Dengan demikian kesiapan bencana bertujuan untuk meminimalisir kerugian, melalui tindakan-tindakan yang cepat, tepat, dan efektif.
Selain untuk keperluan mitigasi, kajian resiko untuk bahaya dari berbagai jenis potensi bahaya alam lebih lanjut dapat juga dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan rencana tanggap darurat atau emergency operation plan (EOP) yang terjangkau (achievable/workable), sederhana, dan tepat (appropriate). Pada dasarnya EOP merupakan kerangka dasar dalam rencana tanggap darurat yang terkoordinasi dan efektif, karena di dalamnya umumnya telah mendefinisikan peranan dan tanggung jawab seluruh stakeholder seperti pemerintah, organisasi swasta dan sukarelawan, dan badan-badan lain yang terdapat di dalam suatu wilayah negara
Eksistensi Radio Sebagai Sarana Mitigasi Bencana
Radio dipandang sebagai "kekuatan kelima (the fifth estate) setelah lembaga pemerintahan ( eksekutif), parlemen (legislatif), lembaga peradilan (yudikatif) dan pers atau surat kabar. Â Hal tersebut terjadi karena sebuah radio mempunyai kekuatan yang langsung saat menyampaikan pesan atau informasi. Ada pula yang menyebut radio dengan Radio is the Now media. Pengertian now di sini adalah kesegarannya. Dibandingkan dengan media cetak dan televisi, selain lebih cepat dalam proses penayangan informasi dan lebih murah dalam proses operasionalnya, radio dimungkinkan untuk menyebarkan informasi seketika.
Seiring dengan munculnya berbagai stasiun radio, peran radio sebagai media massa semakin besar dan mulai menunjukkan kekuatannya dalam memengaruhi masyarakat "theatre of mind". Pada tahun 1938, masyarakat Manhattan, New Jersey, Amerika Serikat panik dan geger serta banyak yang mengungsi ke luar kota ketika stasiun radio CBS menayangkan drama radio yang menceritkaan makhluk ruang angkasa menyerang bumi. Meskipun sudah dijelaskan bahwa peristiwa serbuan itu hanya ada dalam siaran radio, namun kebanyakan penduduk tidak langsung percaya. Dalam sejarah siaran, peristiwa itu dicatat sebagai efek siaran paling dramatic yang pernah terjadi di muka bumi.
Begitu kuatnya efek audio ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai kepanjangan tangan pemerintah berupaya menghadirkan alternatif hiburan sebagai sarana edukatif terkait percepatan dan penyebaran informasi seputar kerentanan bencana. Terutama di daerah-daerah yang belum terjangkau media massa maupun elektronik. Mengangkat genre kolosal'' Asmara di Tengah Bencana'', pendengar serasa dibawa ke sebuah pusaran waktu, ketika sejarah mengabdikan kejayaan Mataram bertahta di tanah Jawa. Hembusan angin, derap langkah kuda, gemericik air kali membuat pendengar seperti terhipnotis dan serasa masuk kedalam babak demi babak cerita. Mengingatkan kita akan kejayaan Saur sepuh, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara di era 90-an. Dibalur dengan kisah kasih romantis dan dialog-dialog penuh intrik terutama saat terjadi gunung merapi meletus tentu akan semakin memikat dan membuka kesadaran, bahwa bahaya bisa datang kapan saja.
Dari Strategi pemberdayaan masyarakat dalam menaggulangi bencana via media radio maka dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut
(1) Pemanfaatan nilai-nilai lokal dan pengetahuan masyarakat setempat yang terkait dengan penanggulangan bencana alam
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana;
(3) pemberdayaan peran masyarakat dalam menghadapi bencana yang didapat dari pengalaman (proses belajar dari pengalaman sebelumnya)
(4) Dibangunnya kesamaan persepsi tentang kebencanaan dilingkungan masyarakat.
Peristiwa-peristiwa bencana alam di belahan dunia mana pun tidak saja menimbulkan korban jiwa, tetapi duka, serta ketakutan yang mendalam. Para korban merasa berada pada kondisi yang sangat tidak tenang, gelisah, serta kecemasan yang tidak berkesudahan.
Jika pemerintah sudah mempunyai kesadaran global dalam upaya penanganan bencana baik melalui eksistensi drama radio, maupun diterbitkannya UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang disusul terbitnya PP No. 8 Tahun 2007 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Benacana; PP No.22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; PP No. 23 Tahun 2008 Tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana; dan Perda serta berbagai SK Bupati/Walikota di daerah rawan bencana.
Sudah saatnya kegiatan mitigasi bencana kita lakukan secara mandiri (swakelola) dengan melibatkan lingkungan terdekat serta mampu mandiri dengan sumber daya yang ada (swadaya) secara lebih optimal.Â
Referensi :
28 Wilayah Rawan Gempa dan Tsunami
Radio Sebagai Sarana Media Massa Elektronik
Model Sosialisasi Mitigasi Pada Masyarakat Daerah Rawan Bencana di Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H