Tahun 2019 lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan pemberitaan kasus pembunuhan suami dan anak tiri yang terinspirasi dari sinetron. Seorang perempuan bernama Aulia Kusuma (AK) yang menjadi tersangka utama dari kasus ini mengaku bahwa hampir seluruh rencana pembunuhan yang dilakukan terinspirasi dari sinetron yang sering ia tonton.
Berdasarkan kronologi yang AK paparkan di Mapolda Metro Jaya Jakarta pada 3 September 2019 lalu, ia mengaku melakukan hal tersebut dikarenakan sudah tidak sanggup lagi terlilit hutang berjumlah 10 miliar dan sudah tidak memiliki cukup uang lagi untuk melunasi seluruh hutang tersebut.Â
Dalam kondisi yang sudah sangat terdesak untuk segera membayar hutang, AK berpikir bahwa dengan membunuh suaminya bisa membuatnya segera terbebas dari hutang yang menjeratnya untuk bisa menguasai seluruh aset yang suaminya miliki. AK mengaku mencoba berbagai cara untuk membunuh suami dan anak tirinya.Â
AK pun merencanakan sejumlah skenario dengan bantuan keponakan laki-lakinya yang berinisial KV serta menyewa dua pembunuh bayaran berinisial S dan A. AK mengaku mencoba menyantet hingga membeli pistol untuk menembak suami dan anak tirinya, sebelum akhirnya memutuskan untuk meracuni, membekap hingga tewas, serta membakar kedua jasad di dalam mobil setelah gagal mendorong kendaraan tersebut ke sebuah jurang di wilayah Sukabumi pada 25 Agustus 2019.
Kasus ini tentunya menghebohkan masyarakat luas, mengingat tayangan di televisi rupanya mempunyai dampak yang begitu besar dalam mempengaruhi perilaku dan pemikiran penontonnya. Walaupun jika ditelisik lebih dalam, sinetron sebenarnya bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi AK dalam melaksanakan perbuatan keji tersebut.Â
Tindakan pembunuhan dengan sengaja biasanya juga dipengaruhi oleh motif, profil psikologis, situasi dan kondisi yang mendesak, serta berbagai faktor pendukung lainnya, yang dalam hal ini adalah seringnya menonton sinetron.Â
Meski begitu, dengan skema pembunuhan yang sudah direncanakan oleh AK, dapat terlihat bahwa skema tersebut mirip dengan alur cerita yang biasa ada di sinetron Indonesia -- meracuni, membekap, membakar jasad hingga membuangnya ke jurang -- alur cerita yang sangat didramatisir dan hiperbola.
Harus diakui, bahwa sinetron-sinetron di Indonesia saat ini hanya memperdulikan rating dan mengabaikan kualitas dari alur cerita sinetron itu sendiri. Sinetron Anak Langit di SCTV dan Sinetron Azab di MNCTV merupakan salah satu diantara beberapa sinetron yang dijatuhkan sanksi teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat selama setahun terakhir.Â
Sinetron Anak Langit misalnya, diberikan teguran keras oleh KPI karena kedapatan menampilkan adegan kekerasan (pukulan dan tendangan dengan visualisasi eksplisit) dalam perkelahian beberapa orang pria, serta Sinetron Azab yang menurut analisis KPI terdapat potensi pelanggaran karena menampilkan mayat seorang pria dengan wajah hitam serta mayat seorang pria dengan bibir terbuka dan penuh luka. Â
Adegan tersebut dinilai KPI telah melanggar sejumlah pasal pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Menurut KPI, adegan perkelahian berupa pukulan dan tendangan dalam sinetron dengan klasifikasi R (Remaja), beresiko ditiru penonton Remaja dan Anak-anak. Mestinya untuk tontonan dengan klasifikasi R, adegan perkelahian atau kekerasan dalam bentuk lain sangat dibatasi atau diminimalisir. Jika harus ada adegan tersebut maka itu karena kebutuhan jalan cerita dan bukan sekedar bumbu yang terus menerus dimunculkan pada setiap episode.
Seringnya teguran yang disampaikan ditengarai karena dalam tayangan sinetron kerap mengumbar adegan kekerasan, amoralitas, sensualitas, dan vulgar dalam penyajiannya. Hal-hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri karena penggarapan sinetron sangat tergantung pada tema dan setting sosial yang dibangun atas "permintaan pasar", bahkan intervensi tersebut masuk ke ranah kreatif sampai ke penggunaan bintang pemerannya.Â
Selain itu, rendahnya kreativitas para pembuat sinetron kian memperburuk ide cerita yang dibuat sehingga alur cerita menjadi monoton dan hanya berkutat pada harta, tahta, wanita, dan cinta. Ditambah kini amat sulit untuk mendapatkan realitas sosial dalam sinetron Indonesia. Hal ini dikarenakan adegan serta alur cerita yang ditampilkan cenderung berrealitas semu (hiperealis) dan terlalu dihiperbolakan.
Di samping itu, orientasi bisnis terkait dinamika dan logika komersial lebih sering didahulukan oleh industri media saat ini, terlebih mengingat bisnis penyiaran televisi adalah bisnis yang memerlukan modal dalam jumlah yang sangat besar.Â
Sehingga wajar saja jika sinetron saat ini lebih sering memunculkan hal-hal yang tidak memiliki nilai edukasi bagi masyarakat dan sudah tidak memperdulikan apakah tayangannya memuat hal-hal yang berbau kekerasan, amoralitas, bahkan seks. Karena yang terpenting hanyalah tayangan sinetron Indonesia laku di masyarakat serta dapat mendongkrak rating di mana posisi tingginya rating yang didapat berbanding lurus dengan tingginya pundi-pundi rupiah yang didapat melalui iklan.
Lembaga survey AC Niesen dalam survei yang dilakukan pada 2015 mencatat, sampai dengan September program serial masih populer, di mana secara rata-rata harian genre program sinetron meraih poin rating tertinggi yaitu 1,7 poin rating. Program sinetron masih populer karena meski jam tayang hanya 10 persen dari total waktu siaran televisi, namun penonton di 11 kota di Indonesia menghabiskan 20 persen waktu menontonnya untuk program tersebut. Fakta yang cukup memilukan memang, tayangan yang tidak berkualitas justru adalah tayangan yang paling disukai bagi mayoritas masyarakat Indonesia.
Jika dikaitkan kembali dengan kasus AK, AK sepertinya kurang bisa membedakan realitas media yang dalam hal ini adalah sinetron yang kerap ia tonton dengan realitas yang sebenarnya ia hadapi. Bisa dibilang AK seakan-akan mencoba untuk "keluar dari kenyataan" ketika menonton sinetron yang ia sukai, menyukai alur cerita sinetron yang disajikan, kemudian mencoba untuk menerapkannya agar bisa terbebas dari kenyataan yang sesungguhnya, yang dalam hal ini adalah terbebas dari lilitan hutang.Â
Dugaannya adalah besar kemungkinan bahwa AK memiliki intensitas dan frekuensi tinggi dalam menonton sinetron favoritnya itu, serta paparan penayangan sinetron yang ditonton terjadi dalam waktu yang lama. Selain itu adegan-adegan dari sinetron yang sering AK tonton kemungkinan besar memiliki banyak adegan kekerasan, sehingga timbullah inspirasi bagi AK untuk berupaya melakukan pembunuhan berencana sesuai dengan adegan-adegan sinetron tersebut.Â
Sinetron yang pada awalnya dinikmati untuk memberikan hiburan pun perlahan "mencuci otak" AK hingga tidak bisa memilah mana yang harus ditiru dan mana yang tidak, sehingga AK menjadi terobsesi dengan alur cerita sinetron favoritnya yang membuat AK terinspirasi untuk merencanakan pembunuhan. Padahal realitas media bukanlah sesuatu yang nyata atau suatu obyek real di dunia ini. Realitas Media sejatinya adalah realitas empirik yang dikonstruksi media menjadi sebuah tayangan dengan berbagai format-format informasi, seperti berita, entertainment, dan lainnya.
Realitas Media yang terjadi, yang dalam hal ini adalah sinetron berdampak pula pada Realitas Sosialnya, yang dalam hal ini adalah penonton yang menonton sinetron tersebut. Dengan luasnya terpaan media (media exposure) yang dirasakan, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak informasi-informasi yang diperoleh dari media, baik berita maupun hiburan seperti sinetron. Adapun selama ini khalayak beranggapan bahwa media sudah sesuai dengan kenyataan yang terjadi.Â
Media membangun realitas media dengan simbol-simbol yang dilandasi nilai-nilai, etika, dan kaidah-kaidah teknis jurnalistik. Akan tetapi sebenarnya tidak semua hal yang dipaparkan di media adalah kenyataan secara sepenuhnya. Sebuah tayangan yang pada akhirnya bisa tayang di media telah dikemas sedemikian rupa agar mencapai tujuan utamanya yakni mendapatkan profit yang besar bagi perusahaan media. Sayangnya tidak semua khalayak menyadari dan tidak berpikir kritis mengenai hal ini, dan AK adalah salah satunya.
Oleh karena itu, hendaknya masyarakat Indonesia harus lebih kritis lagi terhadap tayangan-tayangan yang berseliweran di televisi. Masyarakat sebaiknya menerapkan gerakan melek media untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran dalam menjadi pengguna media. Karena yang dibutuhkan oleh publik tidak hanya mengatur media itu sendiri, melainkan juga menyadarkan masyarakat yang gemar menonton televisi untuk sadar akan pentingnya kemampuan melek media agar masyarakat mampu menghadapi konten-konten atau adegan-adegan dari tayangan berkualitas rendah.Â
Urgensi semacam ini sangat perlu untuk digencarkan agar masyarakat bisa lebih menyampaikan kritisi yang membangun, bukan hanya mengeluh dan memaki adegan-adegan di sinetron tanpa memberikan solusi. Jika masih belum bisa ditahap memberikan solusi, setidaknya masyarakat sudah mampu bersikap dan memilah mana yang dapat dijadikan contoh dan mana yang tidak, serta melakukan aksi terhadap tayangan sinetron tersebut minimal untuk pribadinya.Â
Dengan masyarakat yang melek media, secara tidak langsung masyarakat akan beralih menonton tayangan yang berkualitas saja dan meninggalkan tayangan-tayangan yang kurang bermutu. Hal ini tentunya akan berdampak pada rating dari tayangan kurang bermutu tersebut dan potensi berkurangnya tayangan-tayangan kurang bermutu tersebut akan meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H