Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menorehkan Ruh Asas Hukum Pidana (Pajak)

25 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:54 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam rangka melakukan pengkajian Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Undang-Undang KUP), pada tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak membentuk 3 (tiga) tim sekaligus yang tugas utamanya melakukan pengkajian terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) sebagai ius contitutum (Undang-Undang yang sedang berlaku) dan merumuskan Undang-Undang KUP dalam perspektif ius constetuendum (hukum yang dicita-citakan).

Tim pertama yang anggotanya dari berbagai direktorat, bertugas melakukan pengkajian Undang-Undang KUP secara menyeluruh untuk semua ketentuan. Tim kedua yang anggotanya sebagian besar para penyidik pajak yang berpengalaman, personil peraturan perpajakan dan personil dari direktorat intelijen dan penyidikan, bertugas melakukan pengkajian secara khusus untuk tindak pidana di bidang perpajakan (tindak pidana perpajakan). Sementara itu, tim ketiga yang anggotanya hampir semuanya para lulusan S2 perguruan tinggi luar negeri yang baru kembali, bertugas melakukan benchmarks  atau perbandingan hukum acara perpajakan di berbagai negara.

Pengkajian terhadap Undang-Undang KUP tersebut tidak hanya terbatas dilakukan oleh ketiga tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak, tetapi juga melibatkan berbagai pakar sebagai nara sumber dalam berbagai perspektif. Dalam pengkajian tersebut, topik tindak pidana perpajakan menjadi perhatian khusus dalam tim, hal ini dikarenakan ketentuan yang bersifat administratif melalui pemeriksaan dan penerbitan surat ketetapan pajak kadang-kadang beririsan dengan proses pidana yang dimulai dengan pemeriksaan bukti permulaan dan berujung dengan putusan pidana berdasarkan putusan pengadilan. Disamping itu pidana perpajakan menjadi perhatian khusus, karena alasan arah strategi politik hukum pidana pajak dan implementasi teori, prinsip atau asas hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan.

Prof Dr Muladi, Prof Dr Barda Nawawi Arief, Prof Dr Andi Hamzah dan Prof Dr Romli Atmasasmita sebagai guru besar sekaligus pakar hukum pidana yang sangat mengemuka di Indonesia, menjadi nara sumber utama untuk tindak pidana perpajakan, dan ditambah lagi Prof Dr Omar Sharif Hieriej (kini Wakil Menteri Hukum dan Perundang-Undangan), sebagai junior di bidang tindak pidana yang mulai naik daun. Sementara Dr Darmin Nasution, mantan Direktur Jenderal Pajak, menjadi nara sumber ketentuan umum secara keseluruhan dan kelembagaan. Sedangkan I Gde Made Erata yang sempat menjabat sebagai ketua tim punyusunan RUU Perpajakan dan ketua tim Modernisasi Administrasi Perpajakan, juga menjadi nara sumber ketentuan umum dan tata cara perpajakan secara umum.

Dalam artikel ini mengingat yang disajikan merupakan topik tentang tindak pidana perpajakan yang disarikan dari hasil pengkajian sebagaimana terurai diatas, karena itu dalam artikel ini lebih banyak menyajikan kumpulan catatan penting dari hasil diskusi dengan para nara sumber, pemikiran atau gagasan anggota tim, dan tentunya poin-poin penting dari berbagai buku atau literatur yang digunakan oleh anggota tim dalam rangka memperkokoh pandangan masing-masing yang bersifat akademik dan ilmiah.

 Berbagai catatan dari hasil pengkajian Undang-Undang KUP dalam artikel ini tentunya tidak mungkin dapat kami sajikan secara menyeluruh. Karena itu, dalam kesempatan ini kami hanya menyajikan berbagai prinsip atau asas hukum pidana (pajak) yang bersifat fundamental dan penting dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana perpajakan dalam jumlah yang sangat terbatas, yaitu sebagai berikut.

ASAS NULLUM DELICTUM...

Sesuai dengan prinsip atau asas hukum pidana, suatu perbuatan dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana apabila telah diatur dalam suatu Undang-Undang (atau Perpu), termasuk tentunya tindak pidana perpajakan. Tidak boleh diatur dalam perundang-undangan lainnya apalagi dibawah Undang-Undang. Hal ini pun diatur dalam Ketentuan Umum Buku I (Algemene Bepalingen) Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur bahwa suatu perbuatan hanya merupakan suatu tindak pidana jika telah ditentukan lebih dulu dalam suatu Undang-Undang.

Dalam bahasa Latin, asas tersebut dikenal dengan “nullum delictum, noella poena sine praevia lege poenali”, yang artinya bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah diatur dalam Undang-Undang. Berdasarkan asas hukum pidana tersebut, maka semua ketentuan pidana (termasuk perpajakan) harus diatur dalam Undang-Undang,  tidak dapat diatur dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau di bawah Undang-undang, baik itu Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

Berdasarkan asas hukum pidana “nullum delictum, noella poena sine praevia lege poenali” tersebut, terdapat 2 (dua) pengertian makna, yaitu pertama mengatur bahwa suatu perbuatan dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana apabila telah diatur dalam Undang-Undang. Kedua, ketentuan pidana walaupun diatur dalam suatu Undang-Undang sekalipun, ia tidak boleh berlaku surut. Memang dalam asas hukum pidana terdapat asas indubio pro reo, artinya yaitu apabila terdapat perubahan Undang-Undang sesudah perbuatan pidana dilakukan maka yang diberlakukan adalah hukum lama atau hukum baru yang lebih menguntungkan tersangka. Seolah-olah asas hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP ini, bagi suatu kalangan dianggap sebagai ketentuan yang dapat ‘berlaku surut’.

Alhamdulillah, semua ketentuan mengenai tindak pidana perpajakan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang. Misalnya ketentuan dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP, Pasal 25 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan (Undang-Undang PBB), Pasal 41A Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Undang-Undang PPSP), serta Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang Bea Meterai.

Pemahaman mengenai ketentuan tindak pidana perpajakan dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PBB, Undang-Undang PPSP dan Undang Undang Bea Meterai apakah semuanya atau hanya sebagian (besar) merupakan tindak pidana perpajakan sangatlah penting dan fundamental. Mengapa? Hal ini karena berimbas atau menyangkut kewenangan yang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Jika tindak pidana tersebut dimaknai sebagai tindak pidana perpajakan, maka yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana tersebut hanya penyidik pajak Direktorat Jenderal Pajak, demikian jika terjadi pemahaman yang lain atau sebaliknya. Sepengetahuan penulis, semua ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Perpajakan oleh pemerintah dimaknai dan dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan.

Memang sempat menyeruak suatu pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah semua ketentuan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan ataukah hanya ketentuan pidana yang terkait dengan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak an sich? Berkenaan dengan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana perpajakan adalah semua ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan, maka apabila terdapat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya karena tidak merahasiakan data Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang KUP, berarti penyidikannya dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Pajak.

Demikian halnya untuk tindak pidana perpajakan lainnya, baik itu yang diatur dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PBB, Undang-Undang PPSP maupun Undang-Undang Bea Meterai, tindakan penyidikannya pun dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang mengatur secara tegas dan jelas (expressive verbis) dan tidak dapat ditafsirkan lain (expressum facit cecare tacitum) bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

MALA PERSE DAN MALA PROHIBITA

Dalam mempelajari hukum pidana perpajakan tidaklah mungkin melewatkan diri dari makna mala perse dan mala prohibita, apalagi tindak pidana perpajakan dalam Undang-Undang KUP seringkali beririsan dengan tindakan yang bersifat administratif. Misalnya Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar, tidak selamanya diproses sebagai suatu perbuatan pidana, tetapi justru lebih sering diproses dengan tindakan administratif melalui pemeriksaan pajak dan penerbitan surat ketetapan pajak.

Pengertian makna mala perse atau seringkali disebut dengan malum inse atau mala inse, adalah suatu perbuatan yang secara moral, nilai atau pandangan masyarakat merupakan suatu perbuatan yang jahat atau buruk, dan berdasarkan Undang-Undang, perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Misalnya mencuri, memperkosa, menipu, menghina, berzina  merupakan suatu perbuatan jahat atau buruk apabila diukur dari moral atau nilai yang berkembang dalam masyarakat. Ketika perbuatan tersebut berdasarkan Undang-Undang dikategorikan sebagai perbuatan pidana, hal itu dinamakan mala perse (malum inse atau mala inse).

Sementara itu mala prohibita adalah suatu perbuatan yang berdasarkan moralitas atau pandangan nilai dalam masyarakat bukan merupakan suatu perbuatan yang jahat atau buruk, tetapi berdasarkan Undang-Undang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Misalnya kejadian yang terdapat di Perancis beberapa waktu lalu mengenai RUU Anti Jilbab. Jika RUU tersebut akhirnya menjadi Undang-Undang sehingga setiap orang yang mengenakan jilbab dapat dipidana, maka hal itu merupakan mala prohibita. Mengapa demikian? Karena mengenakan jilbab dalam ajaran Islam merupakan perbuatan yang mulia bahkan sebagai perintah agama, dan bagi masyarakat umum sebagai perbuatan yang baik-baik saja atau boleh-boleh saja, tetapi berdasarkan UU di Perancis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Bagaimana mala perse dan mala prohibita dalam konteks  tindak pidana perpajakan? Pada hemat kami, semua ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perpajakan juga termasuk dalam kategori mala perse atau mala prohibita. Tentu tidak semua orang mempunyai pandangan yang sama apakah suatu tindak pidana pajak tertentu termasuk dalam kategori mala perse atau mala prohibita. Hal ini tentu tergantung sudut pandang masing-masing dalam memberikan timbangan makna dan moralitas suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan. Namun demikian setiap orang seharusnya mempunyai pendapat yang sama apabila suatu perbuatan menurut Undang-Undang telah dikategorikan sebagai suatu perbuatan pidana, sehingga tidak boleh ada pandangan yang lain.

Penulis sendiri berpendapat dengan suatu contoh atau pemisalan, jika seseorang menerbitkan faktur pajak  yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya sehingga mendapatkan kelebihan pembayaran pajak atau pajak terutangnya menjadi lebih kecil, hal itu merupakan mala perse (bisa dilihat Pasal 39 dan Pasal 39A Undang-Undang KUP). Kenapa demikian? Karena perbuatan Wajib Pajak secara moral dan nilai merupakan perbuatan jahat dan atau buruk, apalagi dengan menerbitkan faktur pajak “palsu atau fiktif”, Wajib Pajak memperoleh pengembalian kelebihan pajak atau pajak terutangnya menjadi lebih kecil.

Sementara itu pidana bagi pejabat suatu instansi, asosiasi¸lembaga dan pihak lain yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 41C Undang-Undang KUP, pada hemat kami merupakan tindak pidana perpajakan yang termasuk dalam kategori mala prohibita. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut dari sisi moral dan nilai bukan merupakan perbuatan jahat dan masyarakat melihatnya sebagai perbuatan yang boleh-boleh atau baik-baik saja. Hanya karena diperintahkan atau diatur dalam Undang-Undang, sehingga perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan jahat (pidana).

Mengapa kewajiban bagi suatu instansi, asosiasi¸lembaga dan pihak lain yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak diancam pidana? Tentu menurut pembuat Undang-Undang  karena dalam sistem self assessment, data dan informasi perpajakan merupakan hal yang sangat penting dan fundamental. Sehingga pembuat Undang-Undang memaksakan dan mengkategorikannya sebagai perbuatan pidana bagi instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Melihat hal yang demikian, pada hemat kami, pidana Pasal 41C Undang-Undang KUP termasuk dalam kategori mala prohibita.

Secara konsep, menurut Jeremy Bentham, suatu perbuatan yang termasuk dalam kategori mala perse, tidaklah dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, perbuatan tersebut tetap sebagai perbuatan jahat dan dilarang Undang-Undang. Sedangkan suatu perbuatan yang tergolong mala prohibita dapatlah berubah (not immutable), artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, perbuatan tersebut tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang (dikategorikan perbuatan jahat) oleh Undang-Undang.

GEEN STRAFT ZONDER SCHULD

Salah satu prinsip atau asas hukum pidana yang sangat penting adalah geen straft zonder schuld. Menurut Prof Dr Wirjono Prodjodikoro, Ketua Mahkamah Agung 1952 - 1966, asas geen straft zonder schuld ini terlahir pada tanggal 14 Februari 1916 yaitu ketika terdapat putusan Pengadilan Tertinggi di Belanda (Hoge Raad) yang secara tegas membenarkan semboyan tiada hukuman (pidana) tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld).

Kisah geen straf zonder schuld sebagaimana ditulis Prof Dr Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Ketiga, 2003) adalah sebagai berikut...

Di Amsterdam terdapat suatu peratuan daerah yang melarang dengan ancaman hukuman pidana bagi orang pengusaha susu perah untuk menyerahkan kepada para langganan susu sapi rnurni yang sebenarnya dicampuri dengan bahan lain, biasanya dengan air. Terjadi pelanggaran peraturan itu, dan yang terlibat adalah dua orang, yaitu pengusaha susu A dan seorang pembantu    yang in concreto menyerahkan susu kepada para pelanggan. 

Oleh Pengadilan Arrondissements - Rechtbank di Amsterdam dalam pemeriksaan banding atas putusan Kantonrechter, diputuskan bahwa pembantu B dibebaskan karena ia dianggap tidak tahu-menahu tentang pencampuran susu dengan air tersebut, dan pengusaha A dihukum sebagai doen plegen (menyuruh berbuat) si B untuk menyerahkan susu yang dicampuri air itu. 

Doen plegen (menyuruh berbuat) termuat dalam pasal 55 ayat (1) nomor 1 KUHP berarti bahwa si pelaku yang disuruh (si pembantu B) tidak dapat dihukum. Lain dengan “membujuk” (uitloken) dari pasal 55 ayat (1) nomor 2 KUHP dimana orang yang dibujuk dapat dihukum juga. Jadi, kini Pengadilan Arrondissments-Rechtbank di Amsterdam terhadap pembantu B melakukan prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld) oleh karena di pihak B sama sekali tidak ada kesalahan. 

Pengusaha A yang dihukum tadi meminta kasasi kepada Hoge Raad dan mengutarakan bahwa B harus dapat dihukum karena peraturan hukum pidana yang bersangkutan (peraturan daerah) tidak mensyaratkan adanya suatu kesalahan dari B. Dengan demikian, pengusaha A menganut prinsip materieel feit. Sebagai konsekuensi dari penghukuman si B, maka si A tidak dapat dipersalahkan doen plegen (menyuruh berbuat) si  B, maka si A harus bebas secara ontslag van rechtsvervolging atau dilepaskan dari segala tuntutan karena perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana.

Hoge Raad menolak permohonan kasasi dari A dan menegaskan bahwa sudah benar si B tidak dapat dihukum karena pada si B sama sekali tidak ada kesalahan sedikit pun. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa putusan ini berdasar atas prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld) yang harus diturut dalam menjalankan hukum pidana, kini aturan mengenai tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran". Putusan Hoge Raad ini oleh para penulis Belanda dianggap sebagai patokan untuk membenarkan prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan".

Pada hemat kami, prinsip dan paradigma dalam geen straf zonder schuld ini sangatlah tepat jika menjadi paradigma dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk tentunya dalam penegakan hukum pajak, baik itu dalam perspektif administratif maupun pidana pajak dalam rangka mewujudkan keadilan berdasarkan Pancasila, termasuk juga semangat dalam menegakkan hak-hak asasi manusia.

Dalam dunia perpajakan termasuk sistem perpajakan di Indonesia, asas geen straf zonder schuld sangatlah penting untuk dipahami bagi semua stakeholder di bidang perpajakan. Tentu tidak hanya bagi fiskus, tetapi juga bagi Wajib Pajak, hakim pajak, konsultan pajak, advokat pajak¸ dan para stakeholder lainnya. Karena konsep hukum ini memberi inspirasi dan cara pandang bagi seseorang apakah seseorang dalam kesendirian atau bersama pihak lain termasuk korporasi –melakukan kesalahan atau tidak, baik itu dalam perspektif pidana maupun administratif.

Beberapa waktu lalu seorang pejabat kantor pusat DJP menghubungi dan mengajak penulis berdiskusi  tentang ketentuan Tindak Pidana Pasal 39 dan 39A Undang-Undang KUP, khususnya terkait dengan penerbit dan pengguna faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Berapa layer atau tingkat Wajib Pajak yang diproses pidananya? Mengingat dalam kasus tersebut terdapat beberapa kali transaksi (layer) yang menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya. Penulis pun menjawab dengan sederhana, yaitu mengambil langkah dengan cara mengimplementasikan Undang-Undang KUP sesuai dengan putusan Hoge Raad 14 Februari 1916, yaitu geen straf zonder schuld.    

CONCURSUS (GABUNGAN TINDAK PIDANA)          

Concursus atau samenloop van strafbare feiten merupakan merupakan salah satu asas atau terminilogi dalam ilmu hukum pidana yang mempunyai makna gabungan tindak pidana dalam waktu tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Dalam bahasa yang sederhana yang  dimaksud dengan Concursus atau samenloop van strafbare feiten adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang atau beberapa orang dimana tindak pidana yang dilakukan baik yang pertama kali dan yang berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan atau diantara tindak pidana tersebut belum diputus oleh pengadilan.

Pemahaman makna concursus atau samenloop van strafbare feiten tentu juga berlaku untuk gabungan tindak pidana di bidang perpajakan. Jadi tidak ada bedanya dengan pemahaman makna gabungan tindak pidana non perpajakan, baik itu pidana umum maupun pidana khusus. Karena tidak ada perbedaan dengan makna pemahaman gabungan tindak pidana secara umum, maka gabungan tindak pidana perpajakan pun terdiri dari  3 (tiga) penggolongan, yaitu eendaadsche samenloop (gabungan berupa satu perbuatan), meerdaadsche samenloop (gabungan beberapa perbuatan),dan voortgezette handeling (satu perbuatan yang dilanjutkan).

A. Concursus Idealis (Endaadse Samenloop)

Concursus idealis atau eendaadsche samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam Undang-Undang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana yang  demikian disebut dengan perbarengan peraturan. Contoh misalnya seseorang yang meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai Asli, tidak palsu atau sah, diancam pidana berdasarkan ketentuan Dalam Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dan Pasal 253 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).

Selanjutnya bagaimana sistem pengenaan sanksi jika seseorang melakukan tindak pidana dalam perspektif concursus idealis atau eendaadsche samenloop? Pengenaan pidana yang dipakai dalam concursus idealis atau eendaadsche samenloop adalah sistem absorbsi, yaitu bahwa sistem pengenaan sanksi hanya dikenakan untuk pidana pokok yang terberat, dalam konteks lex spesialis derogat legi generali. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 63 KUHP, yang mengatur:

(1). Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Berkenaan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 KUHP, maka seseorang yang meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai Asli, tidak palsu atau sah, dia dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal  Pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Keberlakuan Undang-Undang Bea Meterai dalam kasus tersebut  juga sesuai dengan asas hukum lex spesialis derogat legi generali.

B. Concursus Realis (Meerdaadse Samenloop)

Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan tindak pidana sekaligus sedangkan masng-masing perbuatan itu berdiri sendiri atau hubungan antara delik yang satu dengan lainnya berdiri sendiri sebagai  suatu tindak pidana, dan tindak pidana yang dilakukan baik yang pertama kali maupun yang berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan atau diantara tindak pidana tersebut belum ada yang diputus oleh pengadilan.

Contoh concursus realis atau eerdaadse samenloop dalam Undang-Undang Perpajakan pada hemat kami dapat terjadi misalnya Wajib Pajak pada suatu ketika melakukan tindak pidana berupa menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, dalam waktu yang lain melakukan tindak pidana berupa menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP, dan tidak lama kemudian melakukan tindak pidana berupa meniru atau memalsu Meterai yang dikeluarkan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 24 huruf a Undang-Undang Bea Meterai. Jika Wajib Pajak tersebut dilakukan penyidikan dan penuntutan (belum ada satupun pelanggaran pidana yang diputus pengadilan), berarti Wajib Pajak tersebut melakukan 3 (tiga) tindak pidana perpajakan. Berkenaan dengan hal tersebut, bagaimanakah kemudian sistem pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan mengenai penerapan sanksi pidana dalam kasus pidana diatas dalam perspektif concursus realis atau meerdaadse samenloop, pada hemat kami antara lain telah diatur dengan menggunakan sistem absorbsi dan sistem komulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 KUHP, yaitu sebagai berikut.

Pasal 65 KUHP mengatur:

1. Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka dijatuhkan hanya satu pidana;

2. Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Pasal 66 KUHP mengatur:

Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga;

Sederhananya, sistem pemidanaan atau penerapan sanksi pidana dalam perspektif concursus realis atau meerdaadse samenloop sebagaimana diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 KUHP adalah sebagai berikut:

  • Jika seseorang melakukan 3 (tiga) perbarengan tindak pidana, misalnya tindak pidana A dengan ancaman pidana 1 (satu) tahun, tindak pidana B diancam pidana 1 (satu) tahun, dan tindak pidana C  dengan ancaman pidana 9 tahun, maka ancaman pidana perbarengan tindak pidana dalam konteks concursus realis ini adalah 1 tahun + 1 tahun + 9 tahun = 11 tahun (pidananya lebih ringan). Mengapa tidak menggunakan skema pidana terberat + 1/3 pidana terberat?  Karena jika menggunakan rumusan pidana terberat + 1/3 ancaman pidana terberat = 12 tahun (pidananya lebih berat).
  •  
  •  Jika seseorang melakukan 3 (tiga) perbarengan tindak pidana, misalnya tindak pidana A dengan ancaman pidana 3 (satu) tahun, tindak pidana B diancam pidana 4 (satu) tahun, dan tindak pidana C  dengan ancaman pidana 9 tahun, maka ancaman pidana perbarengan tindak pidana dalam konteks concursus realis ini adalah 9 tahun + 1/3 x 9 tahun = 12 tahun (pidananya lebih ringan). Mengapa tidak menggunakan skema 3 tahun + 4 tahun + 9 tahun? Karena jika menggunakan rumusan komulasi, 3 tahun + 4 tahun + 9 tahun = 16 tahun (pidananya lebih berat).

C. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama atau seiring beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan- perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:

1. Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan;

2. Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya;

3. Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Batas tenggang waktu dalam perbuatan berlanjut tidak di atur secara jelas dalam undang-undang. Meskipun demikian jarak antara perbutan yang satu dengan yang berikutnya dalam batas wajar yang masih menggabarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si pembuat tersebut ada hubungan baik dengan tindak pidana (sama) yang di perbuat sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula.

Wajib Pajak badan yang melakukan tindak pidana perpajakan berupa tidak menyelengarakan pembukuan, maka dengan sendirinya Wajib Pajak tersebut juga melakukan tindak pidana berupa tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), hal ini dikarenakan salah satu persyaratan bagi Wajib Pajak badan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan pembukuan bahkan untuk Wajib Pajak tertentu, pembukuannya harus telah diaudit oleh Akuntan Publik. SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak tetapi tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP bukan merupakan SPT sehingga hanya diberlakukan sebagai data perpajakan.

PENUTUP

Salah satu tantangan besar perubahan Undang-Undang KUP kedepan adalah mengenai desain atau arsitektur pengaturan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan. Pertama, sebaiknya tindak pidana di bidang perpajakan (pajak pusat) diatur dalam 1 (satu) Undang-Undang, tidak tersebar di berbagai Undang-Undang. Hal ini bisa diatur dalam Undang-Undang KUP atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur khusus tindak pidana perpajakan.

Kedua, arsitektur ketentuan tindak pidana perpajakan seyogianya juga mengikuti berbagai dinamika pemikiran pemidanaan masa kini dan masa depan, misalnya terkait dengan restorative justice, perspektif kultural,  spiritual legalistik, paradigma baru ultimum remedium maupun primum remedium, dan skema sanksi pidana yang diperluas tidak sekedar pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.

Ketiga, perlunya dilakukan pengikisan atau peniadaan dualisme keberlakuan ketentuan terhadap suatu kesalahan yang bersifat “mendua’’ dimana terhadap suatu kesalahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan dapat diproses secara administratif maupun pidana.  Hal ini memang membutuhkan pemikiran yang mendalam mengingat pidana perpajakan merupakan pidana yang bersifat administratif (administrative penal law).

Keempat, tetap mengacu pada teori-teori/ilmu hukum dan asas atau prinsip hukum pidana yang berlaku umum, karena hal ini juga untuk menunjukkan kewibawaan dan marwah Undang-Undang  yang mengatur tentang pidana pajak,  termasuk juga menjalankan salah satu amanah konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika Undang-Undang disusun dengan berlandaskan ilmu pengetahuan yang berkelindan dengannya, tentu juga akan melahirkan kepercayaan masyarakat terhadap Undang-Undang, pembuat Undang-Undang, dan institusi yang menginisiasi suatu peraturan-perundangan.

Kelima, perlu meluruskan paradigma bahwa tujuan pemidanaan hanya sekedar sebagai deterend effect dan sebagai suatu penderitaan bagi Wajib Pajak, tetapi tujuan pemidanaan juga untuk mewujudkan keadilan dan memberikan pendidikan bagi Wajib Pajak. Sangatlah penting mendidik Wajib Pajak yang sebelumnya jahat sehingga dipidana karena tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar atau mengambil uang rakyat (uang negara) yang bukan menjadi haknya, kemudian berubah menjadi sadar dan bertobat sehingga selanjutnya Wajib Pajak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar yang tentunya hal ini membawa kebaikan bagi negara dan bangsa melalui kontribusinya membayar pajak dengan baik dan benar.

*). Penulis Subarkah Centre.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun