Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menorehkan Ruh Asas Hukum Pidana (Pajak)

25 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:54 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Agung: mahkamahagung.go.id

Mengapa kewajiban bagi suatu instansi, asosiasi¸lembaga dan pihak lain yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak diancam pidana? Tentu menurut pembuat Undang-Undang  karena dalam sistem self assessment, data dan informasi perpajakan merupakan hal yang sangat penting dan fundamental. Sehingga pembuat Undang-Undang memaksakan dan mengkategorikannya sebagai perbuatan pidana bagi instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya yang tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Melihat hal yang demikian, pada hemat kami, pidana Pasal 41C Undang-Undang KUP termasuk dalam kategori mala prohibita.

Secara konsep, menurut Jeremy Bentham, suatu perbuatan yang termasuk dalam kategori mala perse, tidaklah dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, perbuatan tersebut tetap sebagai perbuatan jahat dan dilarang Undang-Undang. Sedangkan suatu perbuatan yang tergolong mala prohibita dapatlah berubah (not immutable), artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, perbuatan tersebut tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang (dikategorikan perbuatan jahat) oleh Undang-Undang.

GEEN STRAFT ZONDER SCHULD

Salah satu prinsip atau asas hukum pidana yang sangat penting adalah geen straft zonder schuld. Menurut Prof Dr Wirjono Prodjodikoro, Ketua Mahkamah Agung 1952 - 1966, asas geen straft zonder schuld ini terlahir pada tanggal 14 Februari 1916 yaitu ketika terdapat putusan Pengadilan Tertinggi di Belanda (Hoge Raad) yang secara tegas membenarkan semboyan tiada hukuman (pidana) tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld).

Kisah geen straf zonder schuld sebagaimana ditulis Prof Dr Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Ketiga, 2003) adalah sebagai berikut...

Di Amsterdam terdapat suatu peratuan daerah yang melarang dengan ancaman hukuman pidana bagi orang pengusaha susu perah untuk menyerahkan kepada para langganan susu sapi rnurni yang sebenarnya dicampuri dengan bahan lain, biasanya dengan air. Terjadi pelanggaran peraturan itu, dan yang terlibat adalah dua orang, yaitu pengusaha susu A dan seorang pembantu    yang in concreto menyerahkan susu kepada para pelanggan. 

Oleh Pengadilan Arrondissements - Rechtbank di Amsterdam dalam pemeriksaan banding atas putusan Kantonrechter, diputuskan bahwa pembantu B dibebaskan karena ia dianggap tidak tahu-menahu tentang pencampuran susu dengan air tersebut, dan pengusaha A dihukum sebagai doen plegen (menyuruh berbuat) si B untuk menyerahkan susu yang dicampuri air itu. 

Doen plegen (menyuruh berbuat) termuat dalam pasal 55 ayat (1) nomor 1 KUHP berarti bahwa si pelaku yang disuruh (si pembantu B) tidak dapat dihukum. Lain dengan “membujuk” (uitloken) dari pasal 55 ayat (1) nomor 2 KUHP dimana orang yang dibujuk dapat dihukum juga. Jadi, kini Pengadilan Arrondissments-Rechtbank di Amsterdam terhadap pembantu B melakukan prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld) oleh karena di pihak B sama sekali tidak ada kesalahan. 

Pengusaha A yang dihukum tadi meminta kasasi kepada Hoge Raad dan mengutarakan bahwa B harus dapat dihukum karena peraturan hukum pidana yang bersangkutan (peraturan daerah) tidak mensyaratkan adanya suatu kesalahan dari B. Dengan demikian, pengusaha A menganut prinsip materieel feit. Sebagai konsekuensi dari penghukuman si B, maka si A tidak dapat dipersalahkan doen plegen (menyuruh berbuat) si  B, maka si A harus bebas secara ontslag van rechtsvervolging atau dilepaskan dari segala tuntutan karena perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana.

Hoge Raad menolak permohonan kasasi dari A dan menegaskan bahwa sudah benar si B tidak dapat dihukum karena pada si B sama sekali tidak ada kesalahan sedikit pun. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa putusan ini berdasar atas prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan" (geen straf zonder schuld) yang harus diturut dalam menjalankan hukum pidana, kini aturan mengenai tindak pidana yang masuk golongan “pelanggaran". Putusan Hoge Raad ini oleh para penulis Belanda dianggap sebagai patokan untuk membenarkan prinsip "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan".

Pada hemat kami, prinsip dan paradigma dalam geen straf zonder schuld ini sangatlah tepat jika menjadi paradigma dalam penegakan hukum di Indonesia, termasuk tentunya dalam penegakan hukum pajak, baik itu dalam perspektif administratif maupun pidana pajak dalam rangka mewujudkan keadilan berdasarkan Pancasila, termasuk juga semangat dalam menegakkan hak-hak asasi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun