Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU Pajak Baru: Istimewa

6 Oktober 2020   21:09 Diperbarui: 15 Desember 2020   16:54 2703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertepatan dengan Hari Lahir Tentara Nasional Indonesia, pada tanggal 5 Oktober 2020, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi telah menyetujui tiga Rancangan Perubahan Undang-Undang Perpajakan menjadi Undang-Undang (UU). Ketiga UU tersebut, yaitu UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan UU Pajak Penghasilan.

Perubahan ketiga UU Perpajakan tersebut tidak dilakukan melalui perubahan UU Perpajakan, tetapi dilakukan melalui UU Cipta Kerja, yang sering disebut sebagai ‘omnibus law’. Dalam ketentuan yang mengatur mengenai ruang lingkup (berdasarkan RUU Final yang didapatkan penulis dari media), pajak tidak termasuk yang disebut secara eksplisit dalam ketentuan. Walaupun tidak disebutkan dalam ruang lingkup secara eksplisit, tetapi ketentuan dalam tiga UU Perpajakan tersebut senantiasa berkelindan dengan ruang lingkup yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

 Adapun ruang lingkup yang diatur dalam UU Cipta Kerja tersebut yaitu, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan umkm, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi¸ pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.

Perjalanan RUU Cipta Kerja yang penuh dinamika, khususnya untuk UU Perpajakan, pada hemat kami bisa menjadi topik yang spesial atau istimewa untuk dibahas. Mengingat antara lain karena di berbagai media massa beberapa waktu lalu seringkali diberitakan mengenai omnibus law di bidang perpajakan yang menjadi RUU tersendiri, bukan yang termasuk diatur dalam RUU Cipta Kerja.

Namun demikian dalam artikel ini penulis tidak membahas mengenai cerita menarik tentang perjalanan ketiga UU tersebut termasuk materinya, walaupun sempat memberikan sedikit masukan. Tetapi penulis akan menyajikan sedikit kajian tentang prinsip-prinsip hukum keberlakuan ketiga UU Perpajakan sehubungan dengan terbitnya UU Cipta Kerja, yang tentunya saat ini sedang dalam proses penandatangan oleh Presiden dan Menteri Hukum dan HAM.

IUS CONSTITUTUM UU PERPAJAKAN

Dengan berlakunya UU Cipta Kerja yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan sampai dengan saat ini belum kita ketahui kapan diundangkan, maka keberlakuan ketiga UU Perpajakan baru pun belum kita ketahui kapan berlakunya. Namun belajar dari penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, proses pengesahan UU sampai dengan diundangkan terhitung hanya membutuhkan waktu 6 (enam) hari.

Dalam perspektif Ius Constitutum (hukum yang sedang berlaku), jika UU Cipta Kerja kita asumsikan mulai berlaku tanggal 12 Oktober 2020 maka sejak tanggal itu setidaknya kita mempunyai 7 (tujuh) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983, UU 9/1994, UU 16/2000, UU 28/2007, UU 16/2009, UU 2/2020, dan UU Cipta Kerja), 8 (delapan) UU Pajak Penghasilan (UU 7/1983, UU 7/1991, UU 10/1994, UU 17/2000, UU 36/2008, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 2/2020, UU Cipta Kerja), dan 7 (tujuh) UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU 8/1983, UU 11/1994, UU 18/2000, UU 42/2009, UU 25/2007, UU 2/2020, dan UU Cipta Kerja).

Beberapa stakeholder di bidang perpajakan sempat mendiskusikan keberlakuan asas hukum atau prinsip hukum sehubungan dengan berlakunya UU Cipta Kerja. Ada yang mempertanyakan UU manakah yang bersifat lex specialis dan UU manakah yang bersifat lex generali. Ada juga yang menanyakan apakah dengan berlakunya UU Cipta Kerja berarti menghilangkan UU Perpajakan? Dan ada juga yang mempertanyakan materi UU tersebut.

Keberlakuan UU Cipta Kerja dalam perspektif UU Perpajakan tidaklah ada kendala dan memang harus berlaku dan diberlakukan, karena alasan legal formal (kini menunggu pengundangan). Bagaimana cara memberlakukan materinya? Tentu tidak dapat mengesampingkan asas atau prinsip hukum yang berlaku umum. Pada hemat kami keberlakuan UU tersebut  dari sisi asas hukum sangatlah sederhana, yaitu cukup menerapkan asas lex posteriori derogate legi priori (hukum yang belakangan mengesampingkan hukum yang terdahulu). Hal ini sudah terbukti ‘ampuh’ dalam pemberlakuan UU Nomor 2 Tahun 2020. Tentu ‘keampuhan’ tersebut juga berlaku untuk UU lain di luar UU Perpajakan, atau UU pada umumnya.

Bagaimanakah jika ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja diberlakukan dalam konteks asas lex specialis derogate legi generali, UU Cipta Kerja sebagai lex specialis, sedangkan UU Perpajakan sebagai lex generalis? Atau sebaliknya UU Perpajakan sebagai lex specialis, sementara UU Cipta Kerja sebagai lex generalis?

Pada hemat kami jika yang diterapkan adalah asas hukum lex specialis derogate legi generali, akan menimbulkan perdebatan dan bisa saja tidak mencapai kesepakatan. Mengapa? Karena pasti ada banyak yang berpandangan bahwa UU Cipta Kerja sebagai lex specialis, sedangkan UU Perpajakan sebagai lex generalis. Tentu tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa UU Perpajakan sebagai lex specialis, sementara UU Cipta Kerja sebagai lex generalis.

Hal yang sangat penting dicermati justru dengan berlakunya UU Cipta Kerja adalah mengenai ‘saat-saat kritis’ terjadinya peralihan atau perubahan berlakunya UU Perpajakan, mengingat UU Cipta Kerja tersebut mulai berlaku saat diundangkan. Sementara disisi lain dalam UU tersebut tidak mengatur mengenai ketentuan peralihan bagi UU Perpajakan, khususnya yang mengalami perubahan (dari RUU Cipta Kerja Final yang kami dapatkan dari berbagai media).

Karena itu para stakeholder perpajakan, baik itu regulator perpajakan, fiskus, Wajib Pajak, hakim pajak, konsultan pajak, advokat pajak, harus amat sangat berhati-hati di masa peralihan ketentuan ini, mengingat dalam ketentuan peralihan kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman. Meskipun dalam UU Cipta Kerja maupun dalam UU Perpajakan mengamanahkan juga pengaturan dalam Peraturan Pemerintah, tetapi hal itu pasti ada jarak waktu antara berlakunya UU Cipta Kerja yang mengatur perpajakan dengan Peraturan Pemerintah yang juga mengatur perpajakan.

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sesuai dengan asas hukum yang baik tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU karena terdapat asas lex superiori derogate legi inferiori.(hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Dan perlu membangun pardigma glossatorisme (melaksanakan ketentuan yang sesuai ketentuan yang mengamanahkan) bukan gladiatorisme (melaksanakan ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang mengamanahkan).

IUS CONSTITUENDUM

 Jika kembali membaca uraian di atas khususnya terkait dengan jumlah ketiga UU Perpajakan diatas (KUP 7 UU, Pajak Penghasilan 8 UU, dan PPN 7 UU), sangatlah wajar jika nantinya kita dalam praktek jarang sekali menemukan stakeholder perpajakan dalam melaksanakan ketentuan perpajakan dengan cara membaca naskah UU yang ditandatangani Presiden, walaupun itu hanya foto kopi.

Kebanyakan yang dibaca adalah buku UU yang merupakan unifikasi pasal-pasal yang terdapat dalam UU yang sejenis (biasanya disebut Susunan Dalam Satu Naskah), yang kadang-kadang berbeda dengan UU yang ditandatangani Presiden. Bahkan penulis pernah menemukan buku UU yang menyajikan UU KUP hanya sampai Pasal 44B, pasal sesudahnya tidak ada. Padahal buku tersebut diterbitkan oleh instansi pemerintah.

Saat ini saja, kita temukan sebagian besar bahkan hampir semua stakeholder perpajakan ketika mencari ketentuan perpajakan melakukannya dengan cara membaca buku UU Perpajakan, bukan naskah UU yang ditandatangani Presiden. Kecuali ketika hendak menyusun peraturan perundang-undangan atau beracara di lembaga peradilan, termasuk di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jadi dengan masing-masing jumlah UU yang seperti itu, tentu akan semakin jarang stakeholder dalam mencari peraturan dengan membaca naskah yang ditandatangani Presiden walaupun itu hanya foto kopi.

Kemudian bagaimanakah sebaiknya UU Perpajakan dalam konteks Ius Constituendum (hukum yang kita cita-citakan)?  Pada hemat kami seyogianya kita mulai memikirkan dan menyusun UU (dan peraturan perundang-undangan lainnya) yang paling ideal dan juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan Negara dalam Pembukaan Konstitusi kita, baik dari sisi arsitektur peraturannya maupun materi yang diatur.

Menyatukan semua UU Perpajakan menjadi satu UU merupakan suatu keharusan, baik itu konteksnya satu jenis UU maupun beberapa UU menjadi satu UU. Misalnya UU KUP yang jumlahnya 7 (tujuh) UU harus digabungkan menjadi satu UU, UU Pajak Penghasilan yang jumlahnya 8 (delapan) UU juga harus disatukan dalam satu UU, UU PPN yang jumlahnya tersebar di 7 (tujuh) UU juga harus digabungkan menjadi satu UU, demikian juga UU Perpajakan lainnya yang terdiri dari beberapa UU agar dibuat menjadi satu UU.

Disamping hal diatas, bisa saja dilakukan penggabungan diantara UU Perpajakan yang mempunyai ‘species’ yang berdekatan atau hampir sama. Bahkan bisa saja semua UU Perpajakan pusat digabungkan menjadi satu UU, sehingga jika kita membuka UU Perpajakan cukup membaca satu UU. Atau bisa saja dibuat satu UU yang bersifat formil dan satu UU yang bersifat materiil, seperti halnya KUHP dan KUHAP. Demikian juga dalam konteks hukum perdata, terdapat Hukum Perdata dan KUHAPerdata. Sehingga UU Perpajakan menjadi sederhana apalagi tujuan berhukum adalah social engineering (agar masyarakat bertindak sesuai hukum) dan social control (alat kontrol apakah masyarakat sudah bertindak sesuai hukum).

PENUTUP

 Banyak hal yang istimewa dengan perubahan UU Perpajakan kali ini. Keistimewaan tersebut antara lain, walaupun bukan untuk yang pertama kalinya (perubahan) UU Perpajakan diatur tidak dalam UU Perpajakan, tetapi pengaturan perubahan UU Perpajakan dalam UU Cipta Kerja memberikan getaran tersendiri bagi para stakeholder di bidang perpajakan.

 Sejalan dengan gagasan yang pernah disampaikan oleh otoritas pajak mengenai omnibus law di bidang perpajakan, pada hemat kami perlu kiranya segera dipikirkan bagaimana menyatukan UU di bidang perpajakan yang saat ini jumlahnya terlalu banyak. Setidaknya KUP mempunyai 7 (tujuh) UU, Pajak Penghasilan terdiri 8 (delapan) UU, PPN 7 (tujuh) UU. Masih ada lagi UU lainnya yaitu UU PBB dan UU PPSP, yang jumlahnya masing-masing 2 (dua)  UU. Sementara UU Bea Meterai baru saja selesai pembahasan di DPR.

 UU Perpajakan yang menyajikan keadilan, peradaban (modern), keIndonesiaan, perkembangan internasional, kemajuan, kepastian hukum, nilai-nilai kemanusiaan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, profesionalitas dan nilai kebaikan yang lain, tentu terus dibangun oleh otoritas Perpajakan untuk senantiasa menjadi lebih baik dan istimewa, dalam rangka mewujudkan UU Perpajakan yang kita cita-citakan bersama.

*). Penulis adalah Peneliti Subarkah Center.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun