Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pajak Internasional Indonesia

1 Oktober 2020   19:32 Diperbarui: 15 Desember 2020   16:51 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar dua dekade lalu ketika penulis berkunjung ke suatu book store yang cukup terkemuka di Jakarta, sempat dibuat tertegun sejenak dengan buku karya seorang guru besar Universitas Indonesia Prof. Mr. Dr. S. Gautama yang berjudul “Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Dalam hati kala itu penulis berkata, bahwa buku itu tentu sangat spesial, menarik dan memberikan inspirasi baru karena adanya gabungan kata Internasional dan Indonesia yang tergabung dalam kata hukum perdata.

Dalam buku itu, S. Gautama antara lain bercerita tentang beberapa koleganya yang juga tertegun dengan judul bukunya dan sempat mempertanyakan, “Apakah saudara tidak khilaf memakai istilah Hukum Perdata Internasional Indonesia?”. Mana mungkin, kata kolega S. Gautama, hukum perdata internasional sekaligus ditambahkan istilah Indonesia yang berarti bersifat nasional.

Masih dalam buku itu, S. Gautama pun menjelaskan dan menegaskan bahwa hukum perdata internasional (internationales privatrechts atau private international law) bukanlah diartikan sebagai “internationes” atau bukan berarti bahwa sumber hukum perdata internasional adalah hukum internasional, tetapi merupakan hukum nasional belaka. Karena itu sangat tepat jika digunakan istilah Hukum Perdata Internasional Indonesia mengingat ia merupakan sistem hukum nasional Indonesia dan bukan termasuk dalam kategori hukum internasional (hukum antar Negara).

Selanjutnya, S. Gautama pun menguraikan bahwa sangatlah tepat jika Van Brakel menulis buku berjudul Hukum Perdata Internasional Belanda (Grondslagen en behinselen van Nederlandsch Internationaal Privatrecht, 1950), demikian halnya Niboyet yang menulis buku tentang Hukum Perdata Internasional Perancis (Traite de droit International Prive Francais, 1947), dan juga Martin Wolff yang menulis buku Hukum Perdata Internasional Jerman (das internationals Privatrecht Deutschlands, 1950).

Namun demikian sebelum kita membahas mengenai hukum (pajak) internasional, perlu kiranya kita bersama-sama memiliki kesepahaman terlebih dahulu mengenai sumber hukum formil domestik yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, perjanjian internasional (traktat, konvensi, pakta, charter, protokol, dan lainnya), kebiasaan, pendapat para ahli dan jurisprudensi. Hal ini penting, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman atau overlapping diantara sumber hukum itu karena masing-masing merupakan rumah hukum yang berbeda atau berdiri sendiri.

HUKUM INTERNASIONAL

Dalam hukum internasional terdapat dua ketentuan yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber-sumber hukum  dalam arti formil, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 7 konvensi Den Haag tanggal 18 Oktober 1907 yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16 Desember 1920, yang saat ini tercantum dalam Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice Charter) sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB tanggal 26 Juni 1945. (Mochtar Kusumaatmadja, 1976).

Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional mengatur bahwa dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional menggunakan:

1. perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus;
2. kebiasaan internasional sebagai suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
3. prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
4. putusan pengadilan dan ajaran-ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaedah-kaedah hukum.

Sebagaimana halnya hukum domestik, dalam hukum internasional pun terdapat sumber hukum yang mengatur hubungan hukum diantara masyarakat hukum internasional, termasuk di dalamnya masyarakat perpajakan internasional. Sumber hukum internasional tersebut terdiri dari kebiasaan (convention), traktat (treaty), putusan pengadilan atau badan arbitrase, karya-karya hukum dan keputusan atau ketetapan organ-organ lembaga internasional. Sumber-sumber hukum internasional tersebut dalam praktek digunakan oleh pengadilan untuk mengadili perkara-perkara hukum internasional. (JG Starke, 1991).

Bahasan tentang sumber hukum internasional, pada hemat kami merupakan salah satu topik yang fundamental dalam hukum internasional. Disamping sumber hukum internasional, terminologi atau istilah hukum internasional juga merupakan bahasan yang fundamental, disamping tentunya masih banyak  topik fundamental hukum internasional lainnya, misalnya ratifikasi, keberlakuan hukum internasional, pihak yang turut serta dalam perjanjian dan seterusnya.

Tentang istilah dalam hukum internsasional, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia yang juga begawan hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, menjelaskan bahwa salah satu kesulitan yang ditemui dalam mempelajari perjanjian internasional adalah banyaknya istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional, diantaranya: traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dll.

Kata Mochtar Kusumaatmadja, walaupun dalam perjanjian internasional terdapat berbagai istilah atau terminologi, namun demikian jika dicermati secara juridis, semua istilah tersebut tidak mempunyai arti tertentu atau dengan kata lain semuanya merupakan perjanjian internasional. Hanya saja, bagi kita yang tidak biasa berkelindan dengan dunia hukum internasional, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman atau overlapping.

Mengingat begitu penting dan spesialnya topik tentang hukum internasional, perlu kiranya penulis menyajikan terlebih dahulu beberapa teori, konsep, atau makna tentang perjanjian internasional yang dikutip dari beberapa ahli hukum internasional untuk memberikan cakrawala dan wawasan yang lebih luas bagi kita apalagi diantara para ahli hukum internasional tersebut tidak selamanya mempunyai kesamaan pendapat, meskipun dari pendapat mereka dapat ditarik suatu garis persamaan yang dapat menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional.

G. Schwarzenberger dalam bukunya “A Manual of International Law” sebagaimana dikutip Edy Suryono (1988) berpendapat bahwa, “Treaties are agreements between subjects of international law creating binding obligation in international law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilataral (i.e. concluded more than contracting parties).

Sementara Mochtar Kusumaatmaja, dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional” (1976) mengemukakan bahwa,” Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan  untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”. Dalam buku itu, Mochtar juga menjelaskan bahwa dalam perjanjian internasional walaupun terdapat beberapa istilah, tetapi semuanya merupakan perjanjian internasional.

Sedangkan Oppenheim dan Lauterpacht dalam bukunya, “International Law” mengatakan bahwa, “Treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. Dalam definisi tersebut, Oppenheim dan Lauterpacht menegaskan bahwa perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

Dari beberapa definisi tersebut kita dapat memetik unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian internasional, yaitu: pertama, perjanjian internasional merupakan persetujuan para pihak yang melakukan perjanjian. Kedua, ada hal atau objek yang diperjanjikan dalam perjanjian internasional. Ketiga, terdapat dua atau lebih negara yang ikut dalam perjanjian internasional.

Berkenaan dengan jumlah peserta dalam perjanjian internasional dapat dicontohkan treaty yang terdiri dari dua negara (bilateral) antara lain adalah perjanjian penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Jepang, perjanjian dwi kewarganegaraan antara Indonesia dengan China. Sedangkan contoh treaty yang terdiri dari banyak negara (multilateral) antara lain adalah North Atlantic Treaty Organization (NATO), Pakta Warsawa, Atlantic Charter.

Berdasarkan teori yang dipaparkan di atas, pada hemat kami beberapa pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud tax treaty adalah perjanjian pajak antara dua negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu negera treaty partner atau kedua negara treaty partner (both contracting states) adalah suatu definisi yang didasarkan pada praktek atau pengalaman dalam pembentukan, perubahan, atau pencabutan tax treaty..

Apalagi pada saat ini sudah terdapat beberapa perjanjian atau hukum internasional di bidang perpajakan yang bersifat multilateral, misalnya Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters dan Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures. Jenis perjanjian internasional dengan nama apapun, baik itu konvensi, charter ataupun yang lain pada prinsipnya mempunyai makna yang sama, yaitu perjanjian internasional. Karena itu treaty haruslah dipahami sesuai dengan pengertian dalam ilmu hukum internasional, yaitu perjanjian antara dua Negara atau lebih apapun bidang yang diperjanjikan, termasuk dalam bidang perpajakan.

Selanjutnya bagaimanakah dengan penggolongan perjanjian internasional (treaty, pact, charter, protocol, dan sejenisnya)? Pada prinsipnya hukum internasional tidak mengenal penggolongan perjanjian internasional secara formil. Namun demikian menurut doktrin yang dikemukakan para sarjana atau ahli hukum internasional, terdapat klasifikasi tradisional yang mempunyai ciri-ciri yang membedakan treaty. Klasifikasi tersebut biasanya menyangkut jumlah peserta perjanjian, objek perjanjian, struktur perjanjian dan berlakunya perjanjian.

Penggolongan dari jumlah peserta yang ikut dalam perjanjian dapat dibedakan antara treaty bilateral dan treaty multilateral. Treaty bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara untuk mengatur kedua belah pihak, misalnya perjanjian perpajakan antara Indonesia dengan Jepang, perjanjian dwi kewarganegaraan antara Indonesia dengan China. Sedangkan treaty multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak negara dan sebagian di bawah pengawasan organisasi internasional seperti PBB, ILO, WHO, IMF, World Bank, dan lain-lain. (Edy Suryono, 1988).

Dari perjanjian internasional yang bersifat bilateral maupun multilateral, masing-masing dapat mempunyai objek sendiri-sendiri dimana objek tersebut dapat diperjanjikan dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Objek perjanjian itu wujudnya apa dan bagaimana, hal itu sangat tergantung pada para pihak yang membuat perjanjian. Ia dapat berupa perjanjian di bidang politik, ekonomi, perbankan, keuangan, pertahanan, perpajakan dan atau bidang lainnya.

Penggolongan yang lebih penting dari hukum internasional adalah penggolongan dari strukturnya sebagai hukum formil, yaitu penggolongan dalam treaty contract (treite-contract) dan law making treaties (treite lois). Treaty contract adalah suatu perjanjian yang dimaksudkan seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata hanya mengakibatkan hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh dari treaty contract adalah perjanjian dwi kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan, perjanjian perpajakan.

Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bahwa treaty contract bukan merupakan sumber langsung hukum internasional, tetapi ia merupakan hukum khusus bagi para peserta yang menandatanganinya. Oleh karena itu dalam Pasal 38 ayat (1a) Statuta Mahkamah Internasional digunakan perkataan konvensi khusus (particular convention). Traktat seperti ini juga dapat membentuk hukum melalui penerapan asas-asas yang mengatur perkembangan hukum kebiasaan. (JG Starke, 1991)

Sementara itu, law making treaties adalah suatu perjanjian yang dimaksudkan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Contoh perjanjian ini antara lain: Konvensi Vienna 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi 1949 tentang Perlindungan Korban Perang, Konvensi Vienna 1969 tentang Hukum Traktat, dan lain-lain.

Perbedaan antara treaty contract (treite-contract) dan law making treaties (treite lois) jelas nampak bila dilihat dari pihak-pihak yang tidak turut serta pada perundingan-perundingan yang melahirkan perjanjian. Pihak ketiga pada umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract yang diadakan antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu semula. Perjanjian itu hanya mengatur persoalan yang semata-semata mengenai kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu.

Suatu perjanjian yang dinamakan law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur dalam perjanjian itu merupakan masalah-masalah umum yang mengenai semua anggota masyarakat internasional. Misalnya negara-negara seperti Ghana, Guinea, Tanzania, Bangladesh, Brunai Darussalam dapat turut serta dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang walaupun negara-negara itu tidak turut serta dalam konferensi Jenewa 1949, bahkan negara-negara itu pada waktu itu belum ada.

Apabila ditinjau dari aspek juridis, maka menurut bentuknya setiap perjanjian treaty contract (treite-contract) maupun law making treaties (treite lois) adalah suatu contract, yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi pesertanya. Dan apabila dilihat dari fungsinya, keduanya adalah law making, artinya menimbulkan hukum. (Mochtar Kusumaatmadja, 1976).

Hal yang tidak kalah penting dari penggolongan perjanjian internasional adalah apabila dipandang dari sudut berlakunya. Berlakunya treaty dapat dibagi atas self executing treaty dan non self executing treaty. Jika perjanjian internasional itu berlaku setelah diratifikasi yang berwenang, maka hal itu dinamakan self executing treaty. Sementara itu apabila perjanjian berlaku sesudah ada perundang-undangan atau legislasi maka disebut non self executing treaty.

Dari semua hal yang menyangkut perjanjian internasional sebagaimana diuraikan di atas dengan nama dan apapun istilahnya, maka ia akan melahirkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak). Kekuatan mengikat tersebut terletak pada suatu adagium hukum internasional yang sangat terkenal, yaitu: “pacta sunt servanda”, yang artinya negara-negara harus melaksanakan dengan itikad baik kewajiban-kewajibannya yang telah disepakati.

HUKUM NASIONAL Vs HUKUM INTERNASIONAL

Dalam perspektif hukum internasional, apakah benar kita harus menempatkan hukum internasional lebih tinggi dan atau lebih khusus dari hukum domestik? Untuk menjawab pertanyaan yang demikian dalam perspektif hukum internasional bukanlah sesuatu yang mudah. Tentu diperlukan alasan yang kuat mengapa kita mempunyai pandangan yang demikian. Apalagi dalam sejarah perkembangan hukum internasional, pandangan seperti ini dalam kasus-kasus tertentu ternyata tidak berlaku.

Oleh karena itu di bawah ini perlu disajikan teori yang berhubungan dengan pandangan terhadap hukum internasional. Pandangan yang pertama adalah voluntarisme, yaitu suatu pandangan yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau tidak adanya hukum internasional bergantung pada kemauan negara. Sementara pandangan yang kedua adalah objektifitas, yaitu yang menganggap bahwa ada dan berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.

Kedua pandangan yang berbeda itu, tentunya membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandang voluntarisme akan mengakibatkan adanya hukum  internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan sudut pandang objektifitas menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkap hukum.

Erat kaitannya dengan apa yang diuraikan tersebut adalah menyangkut persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik ia merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakekatnya merupakan bagian-bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.

Sementara itu teori utama mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang sangat dikenal adalah teori dualisme dan monisme. Menurut ajaran dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda sama sekali dimana hukum internasional mempunyai sifat yang berbeda secara intrinsik dari hukum nasional.  (JG Starke, 1991).

Akibat terpenting dari teori dualisme yaitu: kaedah-kaedah perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada perangkat hukum yang lain (tak ada hirarki antara hukum internasional dan hukum nasional), tidak mungkin adanya pertentangan antara hukum internasional dan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional memerlukan suatu trasformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam hukum nasional (misalnya melalui ratifikasi).

Sementara itu menurut ajaran monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem, yaitu hukum pada umumnya. Akibatnya, hubungan hukum internasional dan nasional terdapat suatu hirarki, yang selanjutnya melahirkan beberapa sudut pandang yang berbeda mengenai hukum mana yang yang utama dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional.

Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang utama adalah hukum nasional, faham ini adalah faham monisme dengan primat hukum nasional. Menurut pandangan faham ini, hukum internasional tidak lain hanya merupakan lanjutan hukum nasional belaka atau tidak lain hanya hukum nasional untuk urusan luar negeri.

Sementara itu faham yang lain, yaitu faham monisme dengan primat hukum internasional berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, yang utama adalah hukum internasional. Menurut faham ini hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat hukum yang secara hirarki lebih tinggi, sehingga hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakekatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing faham, baik itu faham monisme dengan primat hukum nasional maupun faham monisme dengan primat hukum internasional, keduanya sangat mungkin terjadi. Relevan dengan itu, Inggris dan Amerika Serikat merupakan contoh negara yang menganut suatu doktrin inkorporasi (incorporation doctrine) yang artinya bahwa hukum internasional adalah hukum negara (international law is the law of the land).  Doktrin ini merupakan doktrin yang pada mulanya dikemukakan oleh ahli hukum di Inggris yang sangat terkenal pada abad 18, yakni Blackstone.

Indonesia sendiri dalam perspektif teori di atas, ternyata tidak selamanya menempatkan hukum internasional menjadi ‘supreme’ dibandingkan hukum domestik. Hal ini pun ditegaskan dalam Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mengatur bahwa perjanjian internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Dalam sejarah negara Indonesia pun pernah terjadi suatu ’penyimpangan’ terhadap hukum internasional, yaitu tatkala pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan Belanda dan kemudian menasionalisasi. Padahal mengenai perlakuan terhadap orang asing dan hak milik orang asing merupakan salah satu wujud hukum internasional yang harus ditaati dan dihormati.

Uniknya dalam sengketa nasionalisasi perkebunan dan perusahaan lainnya milik Belanda yang kemudian dikenal dengan ”Perkara Tembakau Bremen” pada tahun 1958, Pengadilan Bremen (Landesgericht Bremen) yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Bremen (Oberlandesgericht Bremen), secara tidak langsung membenarkan tindakan pengambilalihan perusahaan Belanda dan tindakan melakukan nasionalisasi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, bagaimana kita menyimpulkan posisi hukum nasional (Indonesia) terhadap hukum internasional? Jawabnya, penulis sangat sependapat dengan Mochtar Kusumaatmadja (1976) yang menyimpulkan bahwa "Hukum nasional itu mau tidak mau harus tunduk pada hukum internasional apabila kita mengakui adanya hukum internasional”. Namun demikian mantan Menlu RI itu pun memberikan catatan, ”Pendirian bahwa pada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional.”

Terkait dengan beberapa konsepsi diatas, penulis perlu juga memberikan catatatan, bahwa tunduknya hukum nasional terhadap hukum internasional harus digugurkan atau dikesampingkan apabila bertentangan dengan kepentingan nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL INDONESIA

Dalam suatu perkuliahan, pendidikan dan latihan, seminar, simposium, lokakarya, dialog, diskusi bahkan pembahasan peraturan perundang-undangan, seringkali kita menemukan pandangan seseorang termasuk bahkan narasumber yang mengemukakan bahwa hubungan hukum antara perjanjian perpajakan internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex specialis derogate legi generali. Hukum pajak internasional sebagai lex specialis, sedangkan hukum pajak domestik sebagai lex generali.

Disamping banyaknya yang punya pandangan bahwa hubungan antara perjanijian pajak internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex specialis derogate legi generali, terdapat pula sebagian kalangan yang punya pendapat bahwa hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak domestik adalah lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Perjanjian pajak internasional bersifat lex superiori, sedangkan hukum pajak domestik sebagai lex inferiori

 Berdasarkan pemikiran atau pandangan hukum di atas, berarti apabila terdapat suatu benturan antara hukum pajak domestik dengan hukum pajak internasional maka yang berlaku adalah hukum pajak internasional. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang sangat fundamental, yang diantaranya adalah lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) dan  atau lex specialis derogat legi generali (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum).

Tetapi, haruskah hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak domestik diberikan makna bahwa hukum pajak internasional bersifat lex spesialis atau lex superiori jika dibandingkan dengan hukum pajak domestik? Untuk menjawab pertanyaan yang demikian dalam perspektif hukum internasional bukanlah sesuatu yang mudah karena harus bisa menyajikan alasan kuat yang bersifat ilmiah akademis dan argumentatif mengapa kita mempunyai pandangan yang seperti ini.

Ketua Mahakamah Agung periode 2001-2008, yang juga guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Prof Dr Bagir Manan, SH mengatakan bahwa ketentuan lex spesialis harus sederajat  dengan ketentuan lex  generalis, jika Undang-Undang ya dengan Undang-Undang. Demikian halnya untuk peraturan perundang-undangan lainnya, jika Peraturan Pemerintah ya disandingkan dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan juga harus disandingkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, dan seterusnya.

Sementara dalam konteks lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) juga harus dimaknai dalam konteks sesama peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah. Jika terdapat ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah bertentangan dengan Undang-Undang, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang.

Mengingat bahwa hubungan hukum antara perjanjian pajak internasional dengan hukum pajak  domestik tidak berada dalam kamar sumber hukum yang sama, maka tidaklah mungkin kita mengatakan keduanya mempunyai atau ‘berhubungan khusus’. Sehingga sangatlah beralasan jika kita berpandangan bahwa hukum pajak internasional yang bukan termasuk dalam kamar sumber hukum perundang-undangan tidaklah dapat dikatakan bersifat lex spesialis atau lex superiori jika disandingkan dengan hukum pajak domestik.

Bila kita menelaah judul tulisan ini ‘Pajak Internasional Indonesia’, tentu wajar jika menimbulkan pertanyaan bagi kita, yaitu bagaimanakah maksud dan relevansi judul tersebut dengan hukum pajak domestik? Jika tulisan S. Gautama tentang Hukum Perdata Internasional Indonesia dimaknai antara lain sebagai hukum perdata Indonesia yang juga berlaku bagi orang asing atau badan asing, bukan berarti yang dimaksud dalam judul ini adalah hukum perpajakan domestik yang juga berlaku bagi orang asing atau badan asing.

Tetapi yang dimaksud Pajak Internasional Indonesia dalam tulisan ini adalah bagaimanakah kita memberikan makna dan menempatkan hukum pajak internasional jika disandingkan dengan hukum pajak domestik. Tentu sesuai dengan teori perjanjian internasional diatas, kita haruslah memberikan makna dalam konteks  teori monisme atau teori dualisme, baik dalam konteks primat hukum internasional maupun primat hukum nasional.

Sejalan dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional, kedudukan pajak internasional jika disandingkan dengan hukum pajak domestik tidaklah tepat atau tidak relevan jika dikaitkan dengan asas hukum lex specialis derogate legi generali ataupun lex superiori derogat legi inferiori. Pada hemat kami lebih tepat jika ditempatkan dalam perspektif teori monism dengan primat hukum internasional, namun dalam konteks tertentu tetap dapat berpegang pada teori monism dengan primat hukum nasional.

Jadi pada prinsipnya jika terdapat suatu perjanjian internasional termasuk perjanjian di bidang perpajakan, baik itu bersifat bilateral maupun multilateral, maka sikap hukum Indonesia haruslah menghormati, patuh dan mengikuti dengan suatu ketaatan. Namun tetap mengingat prinsip bahwa dengan kita melakukan pengakuan supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional yang berlaku, sebagaimana dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja.

Jika terdapat suatu pertanyaan, bagaimanakah hak dan kewajiban perpajakan warga negara Indonesia yang kebetulan bertugas di suatu lembaga internasional dan terdapat ‘hukum internasional perpajakan’ yang mengatur bahwa atas penghasilan di lembaga internasional tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan di Negara asal? Bagaimanakah keberlakuan hukum pajak domestik?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya tidak sekedar melihat ada tidaknya hukum internasional, tetapi yang juga penting untuk dilihat adalah bagaimana paradigam negara. Mengapa? Karena pada hemat kami walaupun ketentuan tersebut merupakan perjanjian internasional (perjanjian antar subjek hukum internasional), tetapi urusan substansialnya bukanlah antara hukum perpajakan Indonesia dengan lembaga internasional tersebut (apapun lembaganya), tetapi urusan utamanya adalah hubungan antara negara Indonesia dengan warga negaranya yang kebetulan bertugas di lembaga internasional.

Warga Negara Indonesia yang diberikan amanah untuk bertugas di lembaga internasional, tentu adalah warga Negara yang taat dan patuh kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, mempunyai rasa kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi, selalu mencintai Indonesia dan ingin selalu menjadi bagian yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara, serta menjadi salah salah putra/putri terbaik bangsa Indonesia.

Sementara disisi yang lain, dalam hukum Internasional terdapat konsep teori monism dengan primat hukum nasional, Pasal 18 huruf h Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur bahwa perjanjian internasional berakhir apabila terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, dan tentunya terdapat suatu nilai-nilai keadilan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dalam implementasi Undang-Undang Pajak Penghasilan bahwa setiap terdapat tambahan ekonomis merupakan objek pajak penghasilan.

Jika kita memperhatikan hal tersebut di atas, tentu warga negara Indonesia yang diberikan amanah untuk bertugas di lembaga internasional adalah warga negara yang selalu bahagia bila bisa mendapatkan kesempatan untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membayar pajak sebagai wujud partisipasinya bergotong-royong membangun Indonesia. Karena itu otoritas pajak dan otoritas regulator perpajakan perlu memfasilitasi warga Negara yang bertugas di lembaga internasional dalam melaksanakan (hak dan kewajiban) perpajakannya khususnya atas penghasilan yang diperoleh dari lembaga internasional, dengan memperhatikan kebijakan, kebajikan dan regulasi di bidang perpajakan. 

Gagasan cara berhukum pajak bagi warga negara Indonesia yang bertugas di lembaga internasional tersebut, pada hemat kami sejalan dengan cara berhukum bangsa Amerika Serikat ketika mulai membangun bangsa dan negaranya dengan penuh semangat. Kata Prof Dr Satjipto Rahardjo, bahkan kala itu Mahkamah Agung Amerika banyak membuat putusan yang monumental untuk membantu pembangunan Amerika dengan berbagai cara termasuk melakukan berbagai rule breaking (terobosan hukum).

Ketika terdapat beragam kritik tentang cara berhukumnya Amerika,  Negeri Paman Sam itu pun dengan gagah perkasa mengatakan, “This is the American development” dan “This is the American concept of law”. Akankah ada yang mengkritik hukum perpajakan kita jika terdapat suatu kebijakan yang memberikan kesempatan kepada WNI yang bertugas di lembaga internasional untuk membayar pajak? Jawabnya tentu mudah dan mengingatkan kita dengan kata-kata Hernando De Soto tatkala menjawab pertanyaan terkait ekonomi kecil menengah, “Anjing menggonggong pun bisa menjawab”.  

 

PENUTUP

Sehubungan dengan berbagai pandangan hukum tentang kedudukan atau posisi hukum nasional (Indonesia) terhadap hukum internasional, paradigma yang dibangun dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional, dan pandangan Mochtar Kusumaatmadja (1976) yang menyimpulkan bahwa; hukum nasional itu mau tidak mau harus tunduk pada atau mengakui supremasi hukum internasional, dan juga bahwa pengakuan terhadap supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional, pada hemat kami seyogianya juga menjadi paradigma kita dalam Berhukum Pajak Internasional Indonesia.

Warga negara Indonesia yang diberikan amanah bertugas di lembaga internasional sangatlah berbahagia apabila bisa mendapatkan kesempatan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membayar pajak sebagai wujud partisipasinya bergotong-royong membangun Indonesia. Sejalan dengan itu¸ perlu kiranya otoritas pajak dan otoritas regulator perpajakan memfasilitasi warga Negara Indonesia tersebut agar dapat melaksanakan (hak dan kewajiban) perpajakannya khususnya atas penghasilan yang diperoleh dari lembaga internasional dengan adil, bijaksana dan berperadaban.

Otoritas pajak dan otoritas regulasi perpajakan Indonesia melalui ‘diplomat-diplomat’nya di bidang perpajakan, pada hemat kami dalam berbagai forum internasional seharusnya dapat memperkenalkan hal-hal spesial dari dunia perpajakan Indonesia termasuk organisasinya kepada masyarakat internasional perpajakan. Jika para ‘diplomat’ perpajakan kita mampu menyajikan sesuatu yang spesial di forum perpajakan internasional, tentu masyarakat internasional akan lebih mempertimbangkan atau menyegani Indonesia dalam pergaulan internasional, terutama di bidang perpajakan.

Penulis sendiri ketika mengikuti training di National Tax Agency (NTA) Jepang pada tahun 2015, berkesempatan menyampaikan sistem promosi pegawai DJP melalui seleksi mengemban amanah. Penulis bercerita bahwa DJP memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai yang memenuhi persyaratan formil untuk mengikuti seleksi dalam rangka promosi. Mereka diseleksi melalui unit eselon III, yang lolos kemudian diseleksi di unit eselon II. Bagi yang lolos seleksi di unit eselon II, terakhir diseleksi di kantor pusat DJP. Ternyata apa yang kami sampaikan, memberikan kesan tersendiri dan spesial bagi mereka, “Kalau promosinya seperti itu bagus, fair dan objektif. NTA seharusnya bisa juga seperti itu (DJP)”, kata pegawai pajak NTA.

*). Penulis adalah Peneliti Subarkah Center.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun