Jika terdapat Wajib Pajak yang telah terdaftar di suatu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tidak melaksanakan kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan kemudian dikenai sanksi administrasi berupa denda, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat mengelak untuk dikenai sanksi administrasi dengan alasan tidak mengetahui ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).
Contoh lain misalnya, ada seseorang yang mempunyai penghasilan yang sangat besar (ribuan kali di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak) tidak pernah membayar pajak dan tidak pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan. Kemudian terhadapnya dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan dilanjutkan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Wajib Pajak tersebut tidak dapat mengelak dengan alasan tidak tahu UU Perpajakan.
Beberapa asas hukum penting lainnya yang berlaku umum di antaranya ”point d’interet point d’action” (siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan). Apabila Wajib Pajak menganggap fiskus tidak benar dalam menetapkan surat ketetapan pajak, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum dengan melakukan keberatan kepada Dirjen Pajak. Selanjutnya apabila Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan dimaksud, ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Bagi fiskus, asas hukum yang termasuk penting dan perlu menjadi pegangan dalam melaksanakan tugas adalah asas hukum administrasi negara yang berupa freiss ermessen atau diskresi, yaitu kebebasan bertindak yang dimiliki pejabat administrasi negara yang dimungkinkan secara hukum dalam rangka bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan antara lain persoalan penting dan mendesak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Sementara itu bagi fiskus yang juga menjadi regulator, perlu ditambah lagi dengan menerapkan asas pseudo wetgeving (perundang-undangan semu), yaitu membuat ketentuan yang mengatur hal-hal yang tidak diatur atau diperintahkan perundang-undangan untuk menyelesaikan persoalan penting dan mendesak. Misalnya dengan adanya bencana covid-19, pemerintah bisa membuat peraturan yang tidak diamanahkan oleh ketentuan yang lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Disamping itu terdapat asas hukum presumptio iustea causa atau sering dikenal vermoeden van rechtmatigheid, artinya bahwa setiap keputusan tata usaha negara yang diterbitkan harus dianggap benar menurut hukum dan harus tetap dilaksanakan selama belum dibuktikan sebaliknya (dicabut) atau dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang melawan hukum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas ini termasuk asas yang sangat penting bagi fiskus.
Contoh berlakunya asas hukum presumptio iustea causa misalnya fiskus menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) karena Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan badan. Tidak lama setelah penerbitan STP tersebut kemudian fiskus menyadari bahwa terjadi kesalahan dalam penerbitan STP karena Wajib Pajak ternyata menyampaikan SPT Tahunan tepat waktu.
Walaupun fiskus telah megetahui dan menyadari bahwa STP tersebut salah dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tetapi STP tersebut berdasarkan asas hukum presumptio iustea causa atau vermoeden van rechtmatigheid masih tetap berlaku dan sah secara hukum sepanjang belum dibatalkan atau dicabut oleh yang berwenang, baik itu dilakukan fiskus maupun pengadilan.
Selain asas hukum di atas, masih banyak asas hukum yang berlaku umum antara lain lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum), lex posteriori derogat legi priori (hukum yang belakangan/baru mengesampingkan hukum yang terdahulu), lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah), yang selama ini telah banyak kita kenal, dengar dan pahami dalam keseharian.
Hakim pengadilan pajak dan hakim lembaga peradilan lainnya bagaimana? Hakim pengadilan pajak maupun yang lain dalam melaksanakan tugas tentu harus menganut asas negatief wattelijk, yaitu bahwa hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan peraturan yang berlaku dan juga harus berdasarkan keyakinannya. Hakim tidak dapat memutus perkara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal yang dapat dilakukan hakim pengadilan pajak terbatas pada tindakan menemukan hukum (rechtsvinding).
Berkait dengan penemuan hukum yang dilakukan hakim, Baron de Charles de Montesquieu (1689-1755) dan Immanuel Kant (1724-1804), mempunyai pandangan la bouche de la loi, yaitu bahwa hakim adalah corong atau mulut Undang-Undang. Pandangan ini adalah pandangan klasik normatif dan sejalan dengan pandangan klasik lainnya lex dura sed tamen scrypta (hukum itu kaku atau keras, tetapi begitulah yang tertulis).