Mohon tunggu...
YASIR
YASIR Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Mengajarkan berfikir kritis untuk masyarakat indonesia, dan berbagi pengetahuan lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

ketika agama tidak lagi menjadi jalan kemaslahatan

16 Januari 2025   20:53 Diperbarui: 16 Januari 2025   20:50 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarah Islam di Indonesia. [Suara.com/Muhaimin A Untung] 

Agama sejatinya adalah pedoman hidup yang mengarahkan manusia untuk mencapai keseimbangan, kedamaian, dan kemaslahatan bersama. Namun, kenyataan di Indonesia sering kali menunjukkan bahwa agama lebih digunakan sebagai simbol atau bahkan alat kepentingan pribadi. Ironisnya, praktik keagamaan ini kerap kali berujung pada tindakan yang merugikan orang lain atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri.

Religiusitas Simbolik: Antara Teks dan Realita

Masyarakat Indonesia sering kali menampilkan diri sebagai religius dengan berbagai atribut dan kegiatan keagamaan. Namun, pertanyaannya, apakah nilai-nilai agama benar-benar diterapkan untuk menciptakan kemaslahatan bersama?

Contohnya, larangan seorang ustaz untuk membantu kebutuhan saudara kita yang berbeda agama dalam perayaan tertentu, dengan dalih bahwa hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Padahal, dalam Al-Qur'an, tolong-menolong adalah nilai universal yang diajarkan kepada umat manusia. Dalam QS Al-Ma'idah ayat 101, Allah memperingatkan umat-Nya untuk tidak mempertanyakan hal-hal yang justru dapat menyulitkan diri mereka sendiri. Ayat ini menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang membawa kebaikan, bukan mempersulit kehidupan.

Sayangnya, pemahaman agama yang tekstual sering kali membuat individu menolak konteks zaman dan kebutuhan manusia modern. Pemahaman seperti ini tidak hanya membatasi ruang gerak agama dalam memberikan solusi, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat luas.

Agama untuk Kepentingan Pribadi

Praktik keagamaan di Indonesia juga sering digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, alih-alih untuk kebaikan bersama. Salah satu contohnya adalah kegiatan keagamaan yang mengganggu fasilitas umum, seperti mengadakan pengajian di jalan raya yang menyebabkan kemacetan. Hal ini sering kali dilakukan dengan alasan bahwa acara tersebut hanya berlangsung sesaat. Namun, adakah refleksi mengenai bagaimana tindakan ini berdampak pada orang lain?

Bukankah agama mengajarkan adab dan kepedulian terhadap orang lain? Islam, misalnya, mengajarkan pentingnya menjaga hak orang lain dan tidak menyulitkan mereka, sebagaimana hadis Nabi SAW yang mengatakan, "Tidaklah beriman seseorang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya."

Krisis Pemahaman Nilai-Nilai Agama

Akar permasalahan ini adalah kurangnya pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai agama. Banyak orang lebih sibuk mempertahankan tradisi atau simbol-simbol agama yang turun-temurun tanpa menganalisis relevansinya di zaman modern. Misalnya, mereka menolak segala sesuatu yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan hadits, tanpa mempertimbangkan prinsip kemaslahatan yang juga diajarkan oleh agama.

Pemahaman agama yang kaku ini tidak hanya membatasi ruang gerak inovasi, tetapi juga menciptakan perpecahan di masyarakat. Agama yang seharusnya menjadi jembatan menuju kedamaian justru berubah menjadi sekat pemisah.

Mengembalikan Agama Sebagai Jalan Kemaslahatan

Untuk mengatasi masalah ini, masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap agama. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Memahami Esensi Agama
    Agama tidak hanya soal aturan dan ritual, tetapi juga nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama. Fokus pada esensi ini akan membantu menciptakan kemaslahatan bersama.

  2. Menyesuaikan Pemahaman dengan Konteks Zaman
    Nilai-nilai agama harus dikontekstualisasikan dengan kebutuhan zaman. Hal ini tidak berarti mengubah agama, tetapi memahami bahwa Islam, misalnya, adalah agama yang rahmatan lil alamin, yang berarti membawa rahmat bagi seluruh alam.

  3. Mengedepankan Adab dan Kepentingan Umum
    Kegiatan keagamaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain. Kepentingan umum harus didahulukan, sebagaimana diajarkan oleh agama.

  4. Melawan Fanatisme dan Tekstualisme Berlebihan
    Pemahaman agama yang terlalu tekstual dan fanatik sering kali menjadi penghalang kemajuan. Pendidikan agama perlu diarahkan untuk membuka wawasan dan mendorong toleransi.

Agama seharusnya menjadi jalan kemaslahatan, bukan alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Jika masyarakat Indonesia mampu memahami esensi agama dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, maka agama tidak lagi hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar menjadi pedoman untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bersama.

Mari kita renungkan: Apakah kita sudah memahami agama kita untuk menciptakan kemaslahatan bersama, ataukah kita masih terjebak dalam simbol dan kepentingan pribadi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun