Ketika menyaksikan video tentang seekor kuda nil yang diberi makanan oleh seorang pengunjung hingga mendekati buaya, saya tergugah untuk merenungkan hubungan manusia dengan hewan dan bagaimana rantai makanan berjalan. Dalam video tersebut, kuda nil yang mendekati makanan tiba-tiba diserang oleh buaya, memperlihatkan hukum alam yang berjalan tanpa kompromi. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah rasa kasihan memiliki tempat dalam hukum alam?
Hukum Alam yang Berjalan
Dalam ekosistem, makan dan dimakan adalah mekanisme yang menjaga keseimbangan. Setiap makhluk hidup memiliki perannya masing-masing, baik sebagai predator, mangsa, maupun penyebar benih. Peristiwa seperti buaya memangsa kuda nil bukanlah kejahatan, melainkan bagian dari siklus alam.
Namun, saat manusia campur tangan---seperti dalam video tersebut---hukum alam bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit. Lemparan makanan yang menarik kuda nil ke dekat buaya adalah tindakan yang disengaja oleh manusia, yang memanfaatkan hewan sebagai hiburan. Inilah yang mengundang rasa kasihan, bukan hanya pada kuda nil, tetapi juga pada kondisi alam yang sering kali terganggu oleh tindakan manusia.
Apakah Kasihan Relevan?
Sebagai makhluk dengan akal budi, manusia memiliki empati yang sering kali tidak dimiliki oleh hewan lain. Empati inilah yang membuat sebagian orang merasa kasihan ketika melihat kuda nil diserang buaya. Namun, jika kita merenungkan hukum alam, rasa kasihan ini mungkin tidak relevan.
Di alam liar, tidak ada empati antara predator dan mangsa. Seekor buaya tidak berpikir dua kali untuk memangsa kuda nil muda, sebagaimana seekor singa tidak akan merasa bersalah memburu rusa. Begitu pula manusia, sebagai bagian dari ekosistem, memanfaatkan tumbuhan dan hewan untuk bertahan hidup. Bedanya, manusia sering kali melampaui kebutuhan dasar dan memanfaatkan hewan serta tumbuhan dengan cara yang berlebihan.
Manusia sebagai Konsumen Puncak
Manusia adalah makhluk omnivora yang memakan hampir semua jenis makanan, mulai dari hewan hingga tumbuhan. Dalam perjalanan evolusi, manusia telah belajar untuk berburu, bercocok tanam, dan mengolah makanan. Namun, kemampuan ini juga membuat manusia menjadi konsumen yang sangat dominan dalam rantai makanan.
Kita tidak hanya memakan untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk memenuhi keinginan, budaya, dan gaya hidup. Kita menikmati daging ayam, sapi, ikan, bahkan hewan eksotis seperti buaya atau ular. Namun, ini tidak hanya tentang makan untuk bertahan hidup---ini adalah bentuk eksploitasi yang sering kali melampaui apa yang sebenarnya diperlukan.
Menemukan Keseimbangan
Meskipun hukum alam berjalan tanpa empati, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan. Kita bisa memilih untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak, tanpa merusak ekosistem atau mengeksploitasi hewan secara berlebihan.
Rasa kasihan terhadap hewan yang menjadi korban hukum alam mungkin tidak relevan di mata predator atau mangsa, tetapi bagi manusia, itu adalah cerminan dari empati yang seharusnya memandu tindakan kita. Sebagai makhluk yang berpikir, kita harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan tanggung jawab terhadap alam.
Kesimpulan
Makan memakan di alam liar adalah hukum alam yang tak mengenal empati. Namun, sebagai manusia, kita memiliki pilihan untuk memanfaatkan alam secara bijak dan etis. Kasihan mungkin tidak relevan dalam hukum alam, tetapi sebagai makhluk yang  mempunyai akal, dari hewan lain, manusia harus bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan demi kelangsungan hidup semua makhluk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H