Mohon tunggu...
YASIR
YASIR Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Saya adalah seorang mahasiswa jurusan komunikasi dan saya ingin memberikan opini, pendapat atau bisa juga pengalaman hidup saya kepada anda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Keyakinan Agama Masih Relevan di Zaman Sekarang?

25 November 2024   09:07 Diperbarui: 25 November 2024   09:39 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama telah memainkan peran penting dalam membentuk moralitas manusia sepanjang sejarah. Di masa lalu, saat norma dan nilai belum terbentuk dengan baik, banyak masyarakat yang hidup dalam kebiasaan barbar, seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup atau melakukan perbuatan amoral lainnya. Dalam konteks ini, agama muncul sebagai sumber pencerahan dan panduan untuk menyempurnakan akhlak. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pernyataan ini menunjukkan bahwa agama pada dasarnya bertujuan untuk membangun moralitas dan kebaikan dalam kehidupan manusia.

Namun, ketika kita melihat perkembangan agama dari waktu ke waktu, kita juga menemukan bahwa agama sering disalahgunakan. Pada masa lalu, konflik antara kelompok agama atau bahkan di antara sesama umat beragama sering terjadi. Hal ini sering kali dipicu oleh pemahaman yang sempit dan sikap berlebihan terhadap perintah agama. Bukannya menekankan kebaikan universal, fokus pada benar dan salah secara kaku sering kali mengabaikan dimensi baik dan buruk dalam konteks sosial dan moral.

Pergeseran Relevansi Agama

Di era modern ini, beberapa tantangan terhadap relevansi agama muncul. Berikut beberapa hal yang menjadi sorotan:

1. Pemahaman yang Berlebihan
Banyak orang masih terjebak dalam pemahaman agama yang ekstrem atau sempit. Misalnya, ada yang menganggap bahwa mengikuti setiap perintah agama secara literal adalah mutlak, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan sosial. Pemahaman ini dapat menciptakan konflik baru, baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Sebagai contoh, orang tua yang terlalu mencampuri urusan pribadi anak-anaknya dengan dalih agama sering kali menciptakan masalah baru, seperti tekanan emosional atau hilangnya rasa percaya diri pada anak.

2. Ritual vs. Manfaat Sosial
Fokus berlebihan pada ritual seperti shalat sunnah, zikir panjang, atau puasa tambahan sering kali membuat kita lupa pada nilai utama agama: memberi manfaat bagi sesama manusia. Rasulullah SAW juga bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." Namun, sering kali ajaran ini dilupakan. Misalnya, alih-alih membantu orang yang membutuhkan, sebagian orang lebih sibuk dengan ritual yang sebenarnya bersifat opsional.

3. Pola Pikir Dunia dan Akhirat
Banyak orang masih terjebak pada pemahaman bahwa kesuksesan duniawi tidak penting dibandingkan kesuksesan akhirat. Padahal, dengan menjadi sukses secara duniawi, kita bisa membantu lebih banyak orang dan membawa manfaat lebih besar bagi masyarakat. Pemikiran seperti ini sering menjadi alasan mengapa kemiskinan terus bertahan di Indonesia, karena orang-orang lebih memilih hidup sederhana tanpa berupaya meningkatkan kualitas hidupnya, dengan alasan "mencari akhirat."

4. Kurangnya Toleransi
Sikap intoleransi terhadap agama atau keyakinan lain juga menjadi tantangan besar. Alih-alih fokus pada apakah seseorang memiliki perilaku yang baik, banyak yang sibuk mempersoalkan keyakinan orang lain, seperti apakah mereka kafir atau tidak. Padahal, hal yang lebih penting adalah bagaimana seseorang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, bukan agamanya.

Kembali ke Inti Ajaran Agama

Agama tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi alat penghakiman terhadap orang lain. Sebaliknya, agama menekankan kebaikan universal, seperti toleransi, empati, dan keadilan. Dalam konteks modern, relevansi agama dapat tetap terjaga jika kita mengedepankan aspek moralitas dan manfaat sosial daripada sekadar ritualisme atau ekstremisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun