Film horor Indonesia kerap kali menyajikan cerita yang lebih dari sekadar hantu dan adegan menegangkan. Banyak film horor, seperti Marni: The Story of Wewe Gombel, mengangkat tema sosial yang mencerminkan realitas di masyarakat---salah satunya adalah tema anak yang diabaikan atau kurang diperhatikan oleh orang tuanya. Mengapa tema ini begitu sering muncul di film horor Indonesia?
Artikel ini akan membahas alasan-alasan di balik fenomena tersebut dan bagaimana kisah-kisah ini mencerminkan kenyataan sosial di Indonesia.
1. Refleksi dari Realitas Sosial
Tema anak yang terabaikan atau kurang perhatian dalam film horor Indonesia sering kali muncul sebagai bentuk refleksi dari situasi nyata di masyarakat. Di Indonesia, ada banyak kasus di mana anak-anak merasa tidak mendapatkan perhatian atau kasih sayang yang cukup dari orang tua mereka. Tekanan ekonomi, beban pekerjaan, atau masalah pribadi sering kali membuat orang tua sulit meluangkan waktu untuk anak-anak mereka. Hal ini dapat menyebabkan jarak emosional yang tidak hanya merugikan anak, tetapi juga memengaruhi hubungan keluarga secara keseluruhan.
Film horor yang mengangkat tema ini, seperti dalam Wewe Gombel, berusaha menggambarkan bahaya dari sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anak. Wewe Gombel adalah kisah tentang makhluk gaib yang dipercaya menculik anak-anak yang terabaikan oleh orang tua mereka. Melalui tokoh makhluk gaib ini, film tersebut ingin menunjukkan bahwa perhatian dan kasih sayang terhadap anak adalah hal yang sangat penting. Dengan menceritakan makhluk mistis yang hadir untuk "mengambil" anak-anak yang tidak diperhatikan, film ini secara tidak langsung memberikan peringatan bagi orang tua tentang pentingnya kehadiran mereka dalam hidup anak-anak.
2. Membangun Ketegangan dan Emosi Penonton
Menggunakan tema anak yang diabaikan juga memiliki efek psikologis yang kuat untuk membangun ketegangan dalam cerita. Anak-anak yang diceritakan sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya, apalagi ketika tidak ada orang tua yang memperhatikan, menciptakan rasa empati yang dalam dari penonton. Dalam film seperti Aan, karakter anak yang kurang perhatian dari orang tuanya menjadi pusat cerita horor. Ketika anak tersebut berinteraksi atau "diganggu" oleh makhluk gaib, penonton secara emosional ikut merasa takut dan cemas. Tema ini membantu menciptakan horor yang lebih dalam, karena ketakutan penonton tidak hanya berasal dari makhluk gaib, tetapi juga dari rasa kasihan terhadap anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya.
3. Menggunakan Mitos dan Budaya Lokal sebagai Pesan Moral
Di Indonesia, kepercayaan pada mitos dan cerita rakyat masih sangat kuat. Banyak film horor, seperti Wewe Gombel, mengaitkan tema anak yang diabaikan dengan cerita rakyat. Dalam legenda Wewe Gombel, disebutkan bahwa makhluk ini menculik anak-anak yang merasa tidak disayangi atau diabaikan. Cerita rakyat ini digunakan dalam film sebagai simbol bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya yang sangat peduli dengan hubungan antara orang tua dan anak. Pesan moral dari cerita ini adalah bahwa orang tua harus selalu menjaga dan memberikan perhatian kepada anak-anaknya, jika tidak, "hukuman" berupa gangguan gaib akan datang.
Penggunaan mitos dan cerita rakyat ini memberikan dimensi budaya yang kuat dalam film horor Indonesia. Selain menghadirkan ketakutan, film ini juga berfungsi sebagai alat edukasi moral yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya peran keluarga. Dalam budaya Jawa dan banyak daerah lainnya, kisah-kisah tentang Wewe Gombel, Genderuwo, atau makhluk-makhluk mistis lain selalu memiliki pesan tentang kasih sayang, perhatian, dan kewajiban keluarga.