konflik agama di masyarakat kita saat ini?
Di era modern, isu agama sering kali memicu konflik yang tidak sedikit menarik perhatian publik. Mungkin kita sering mendengar berita tentang kasus penistaan agama. Fenomena ini menunjukkan bahwa sikap masyarakat terhadap agama di zaman sekarang semakin sensitif, dan cenderung memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Lantas, apa saja faktor yang mendorong meningkatnya1. Masyarakat yang Mudah Dipengaruhi oleh Doktrin
kecenderungan masyarakat untuk mudah menerima doktrin atau pandangan tertentu, terutama jika doktrin tersebut datang dari sosok yang memiliki gelar seperti lulusan madinah atau dianggap memiliki otoritas agama. ada kecenderungan untuk mempercayai tokoh yang terlihat berilmu tanpa menguji kebenaran tetsebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman kritis terhadap ilmu agama dan cenderung menerima informasi tanpa memverifikasi sumbernya. orang yang terjebak dalam doktrin sering kali tertipu oleh pernyataan bahwa kita harus sepenuhnya mengikuti petunjuk Nabi, dan para ulama dan dia beranggapan bahwa yang tidak mengikuti petunjuk nabi maka, dianggap menyesatkan atau menyimpang. dan juga argumen yang mendukung suatu pandangan dan menolak atau bahkan memboikot pendapat lain.
Sebenarnya pernyataan tersebut tidak salah, tetapi pemahaman mereka terhadap ayat ini keliru, karena memahaminya secara kaku dan berlebihan tanpa melihat konteksnya. akibatnya, mereka menganggap pandangan ulama lain atau sumber ilmu selain dari Islam sebagai sesuatu yang menyesatkan, atau menyebabkan kita jauh dari ajaran agama yang benar.
Contohnya, perdebatan tentang cara minum apakah harus duduk atau boleh berdiri sering kali memicu perdebatan yang panjang. Mereka yang memilih satu pendapat ulama merasa bahwa pendapat yang lain salah, dan menganggap golongan lain menyimpang. situasi seperti ini menunjukkan bahwa toleransi terhadap perbedaan dalam hal kecil masih sangat kurang, dan kurangnya toleransi ini mudah memicu konflik.
2. Pola Asuh Otoriter yang Mengajarkan Taat Tanpa Pertanyaan
Pola asuh otoriter yang sudah lama diterapkan di masyarakat Indonesia juga memainkan peran besar dalam masalah ini. Dari kecil, banyak anak-anak Indonesia dibiasakan untuk tunduk dan patuh tanpa banyak bertanya, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Sikap seperti ini membuat mereka tumbuh dewasa dengan sedikit ruang untuk berpikir kritis atau mempertanyakan dogma yang mereka terima. Akibatnya, ketika mereka berhadapan dengan pandangan agama yang berbeda atau kritik terhadap pemahaman agama mereka, mereka cenderung bereaksi keras karena merasa bahwa pandangan mereka yang benar dan mutlak.
3. Kemalasan dalam Menggunakan Akal dan Rasionalitas
Salah satu alasan lain yang membuat masyarakat kita lebih rentan terhadap konflik agama adalah kecenderungan untuk malas menggunakan akal dan rasionalitas. Beberapa orang meyakini bahwa agama tidak dapat atau tidak perlu dipahami dengan logika manusia, dan oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan. Hal ini sering kali diungkapkan dengan alasan bahwa Al-Qur'an dan Hadis adalah wahyu yang bersifat mutlak dan tidak boleh ditafsirkan berdasarkan pemahaman akal. Padahal, Islam sendiri sebenarnya sangat mendorong penggunaan akal sebagai alat untuk memahami wahyu dan berperan sebagai makhluk yang berakal. Sayangnya, pemahaman yang keliru ini justru membuat banyak orang enggan untuk berpikir kritis terhadap ajaran yang mereka terima.
4. Dampak Globalisasi dan Penyebaran Informasi yang Cepat
Di zaman sekarang, globalisasi dan kemajuan teknologi informasi mempercepat penyebaran berita atau pandangan agama dari berbagai penjuru dunia. Setiap kali ada peristiwa atau komentar yang dianggap menyinggung agama tertentu, informasi ini dengan cepat menyebar dan memicu reaksi besar-besaran. Ini berbeda dengan zaman dulu, di mana akses informasi sangat terbatas dan respon terhadap isu agama pun lebih tenang. Teknologi informasi ini, meskipun memberikan banyak manfaat, juga berperan dalam membuat isu-isu agama semakin sensitif dan rentan konflik.