belajar di kalangan siswa Indonesia bukanlah hal yang baru. Di berbagai jenjang pendidikan terutama di SMA, sering kali kita menemukan siswa yang cenderung malas untuk belajar, hanya mengikuti arus, atau sekadar meniru pekerjaan teman. Fenomena ini tentu tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang mendasari kenapa banyak siswa merasa enggan untuk belajar dan berpikir kritis. Berikut adalah beberapa faktor utama yang memengaruhi rendahnya semangat belajar di Indonesia.
Masalah rendahnya motivasi
1. Pelajaran yang Tidak Relevan dengan Kehidupan Nyata
Salah satu alasan utama mengapa siswa malas belajar adalah karena mereka merasa bahwa apa yang mereka pelajari tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari atau masa depan mereka. Pelajaran seperti matematika, fisika, dan kimia sering kali dianggap tidak akan digunakan di dunia kerja. Akibatnya, siswa kehilangan motivasi untuk mempelajari hal-hal yang menurut mereka tidak akan berguna.
Ini menjadi semakin jelas ketika banyak siswa berkata, "Untuk apa kita belajar ini? Toh nanti kita tidak akan menggunakannya saat bekerja." Pandangan ini membuat mereka memprioritaskan lulus sekolah untuk langsung bekerja, bukan untuk memahami atau menguasai pelajaran.
2. Metode Pengajaran yang Tidak Menarik
Guru memiliki peran penting dalam membangkitkan minat belajar siswa. Namun, jika metode pengajaran terlalu monoton dan hanya berfokus pada hafalan atau sekadar menyelesaikan kurikulum, siswa bisa merasa bosan dan kehilangan minat. Kurangnya interaksi, diskusi, atau contoh praktis yang relevan dengan dunia nyata membuat pelajaran terasa membosankan dan tidak berharga bagi mereka.
Seharusnya, metode pengajaran dapat lebih inovatif, mengintegrasikan minat siswa dengan pelajaran. Misalnya, bagi siswa yang menyukai olahraga, matematika bisa diajarkan melalui konteks perhitungan dalam pertandingan bola. Ini membuat siswa merasa bahwa pelajaran memiliki hubungan dengan minat mereka dan lebih termotivasi untuk belajar.
3. Budaya Meniru dan Malas Berpikir
Salah satu masalah yang sering ditemui di sekolah adalah banyak siswa yang hanya meniru pekerjaan teman atau menjiplak tanpa berpikir sendiri. Ini sering kali terjadi karena kebiasaan sejak kecil, di mana siswa diajarkan untuk mengikuti otoritas dan menelan informasi tanpa diajarkan untuk mempertanyakan atau berpikir kritis.
Budaya ini diperparah oleh kurangnya dorongan untuk berpikir mandiri. Akibatnya, siswa cenderung malas berpikir, bahkan untuk hal-hal sederhana. Jika dasar-dasar materi saja tidak dipahami, tentu akan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal yang lebih kompleks.
4. Tekanan Sosial dan Fokus pada Pekerjaan
Banyak siswa yang datang ke sekolah dengan tujuan utama untuk mendapatkan ijazah dan langsung bekerja. Tekanan sosial ini membuat mereka melihat sekolah sebagai sekadar langkah formal untuk masuk ke dunia kerja, bukan sebagai tempat untuk belajar atau mengembangkan kemampuan berpikir. Hal ini membuat mereka hanya melakukan "yang penting lulus," tanpa ada niat untuk benar-benar memahami materi.
Fokus pada pekerjaan sebagai tujuan utama juga menyebabkan siswa tidak terlalu peduli dengan kualitas pendidikan mereka, selama mereka bisa menyelesaikan sekolah dengan nilai yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan.
5. Metode Pengajaran yang Tidak Disesuaikan dengan Minat Siswa
Sering kali, siswa dipaksa untuk mempelajari semua mata pelajaran tanpa mempertimbangkan minat dan potensi mereka. Misalnya, seorang siswa yang sangat menyukai olahraga mungkin dipaksa untuk terus mempelajari matematika, padahal minatnya tidak ada di sana. Pemaksaan semacam ini membuat siswa merasa frustasi dan semakin tidak menyukai proses belajar.
Sebaliknya, jika guru bisa memahami dan mendukung minat siswa, pembelajaran bisa menjadi lebih efektif. Guru dapat mencari cara untuk menghubungkan pelajaran dengan minat siswa, sehingga siswa merasa lebih terlibat dan termotivasi.
6. Toleransi dari Guru terhadap Kemalasan Belajar
Terkadang, guru juga ikut berperan dalam memupuk kemalasan belajar siswa dengan mentoleransi sikap malas atau memberikan standar yang terlalu rendah. Beberapa guru mungkin berpikir, "Tidak masalah asalkan mereka tidak membuat masalah, mereka tetap akan naik kelas," sehingga tidak mendorong siswa untuk mencapai potensi penuh mereka.
Jika guru terus mentoleransi perilaku ini, siswa akan semakin terbiasa dengan kemalasan dan kehilangan semangat belajar. Seharusnya, guru memberikan tantangan yang sesuai dengan kemampuan siswa dan mendorong mereka untuk berpikir serta berkembang.
7. Trauma Belajar di Masa Kecil
Pengalaman belajar di tingkat dasar juga berperan penting dalam membentuk sikap siswa terhadap pendidikan. Jika sejak SD siswa dipaksa untuk belajar dengan cara yang tidak mereka sukai, seperti terlalu banyak menghafal atau dipaksa menguasai materi yang sulit tanpa bimbingan yang tepat, mereka bisa mengalami trauma belajar. Akibatnya, ketika mereka tumbuh, mereka menjadi enggan menghadapi pelajaran yang dianggap sulit, seperti matematika atau fisika.
8. Guru yang Mendukung Tindakan Menyontek
Salah satu hal yang memperburuk kemalasan belajar adalah sikap beberapa guru yang secara tidak langsung mendukung tindakan menyontek. Beberapa guru mungkin berkata, "Tidak apa-apa menyontek pekerjaan teman, yang penting tugas selesai," atau, "Kalian bisa bekerja sama satu kelas, asalkan tugas selesai untuk nilai rapor." Sikap seperti ini memberikan pesan bahwa proses belajar tidak penting, yang penting adalah menyelesaikan tugas dan mendapatkan nilai yang baik.
Dengan pernyataan seperti itu, siswa kehilangan motivasi untuk berpikir sendiri dan merasa bahwa mereka bisa "berhasil" tanpa harus benar-benar belajar atau menguasai materi. Akhirnya, mereka cenderung bergantung pada pekerjaan teman dan malas untuk berpikir kritis, karena tahu bahwa guru tidak mempermasalahkan hal tersebut
Penutup
Pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangkitkan semangat belajar siswa. Salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini adalah dengan merancang metode pengajaran yang lebih relevan, interaktif, dan sesuai dengan minat siswa. Selain itu, guru harus mampu mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mandiri, bukan sekadar mengejar nilai atau lulus tanpa benar-benar belajar. Dengan begitu, semangat belajar bisa kembali hidup di kalangan siswa, dan pendidikan bisa menjadi sarana untuk membangun generasi yang lebih cerdas dan mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H