gelar akademis atau asal lulusan masih sangat kuat. Fenomena ini terlihat jelas di berbagai bidang, seperti pendidikan, pekerjaan, bahkan agama. Banyak yang merasa bahwa untuk mendapatkan ilmu yang benar, seseorang harus belajar dari mereka yang memiliki gelar atau lulusan universitas terkenal, tanpa memperhatikan isi atau kualitas dari ilmu itu sendiri.
Di Indonesia, kecenderungan menilai seseorang berdasarkanBudaya Hierarki yang Mengutamakan Otoritas
Salah satu penyebabnya adalah budaya hierarki yang kuat di Indonesia. Masyarakat cenderung memberikan penghargaan tinggi pada gelar akademis sebagai tanda kesuksesan atau kecerdasan. Di dunia kerja, misalnya, lulusan dari universitas ternama sering kali mendapat prioritas meskipun kemampuannya belum terbukti. Hal yang sama terjadi dalam dunia keagamaan, di mana hanya ustaz atau tokoh agama dengan gelar resmi yang dipandang sebagai sumber yang sah untuk memperoleh pengetahuan agama.
Fenomena ini diperkuat oleh bias otoritas, yaitu kecenderungan mempercayai seseorang hanya karena memiliki status yang dianggap lebih tinggi atau terpelajar. Di masyarakat kita, gelar kerap dianggap sebagai bukti keahlian dan kemampuan seseorang, padahal tidak selalu demikian. Gelar hanyalah salah satu indikator, bukan penentu utama kualitas ilmu.
Sistem Pendidikan yang Mengutamakan Gelar
Di Indonesia, pendidikan formal sering kali dipandang sebagai alat untuk mendapatkan gelar daripada memperdalam pemahaman. Sistem ini mendorong siswa untuk mengejar gelar demi status sosial atau peluang kerja, bukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Akibatnya, masyarakat terbiasa menilai kemampuan seseorang hanya dari gelarnya, bukan dari cara berpikirnya atau bagaimana mereka memecahkan masalah.
Sayangnya, sikap ini bisa membatasi kemampuan masyarakat untuk menerima perspektif atau solusi baru. Padahal, ilmu tidak hanya datang dari mereka yang memiliki gelar formal, tetapi juga dari orang-orang yang berpikir kritis dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang.
Mengabaikan Fakta dan Data
Salah satu dampak buruk dari kecenderungan ini adalah mengabaikan fakta dan data yang datang dari individu yang dianggap kurang berotoritas. Dalam diskusi agama, misalnya, seseorang dengan pemahaman mendalam bisa diabaikan hanya karena tidak memiliki gelar formal. Padahal, kebenaran harusnya dinilai berdasarkan fakta dan argumen, bukan dari siapa yang menyampaikannya.
Untuk menghadapi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk mulai menilai ilmu dari substansi yang disampaikan, bukan semata-mata dari gelar atau asal institusi. Data dan logika yang kuat harus menjadi dasar dalam menilai kebenaran, bukan otoritas seseorang.
kesimpulan
Masyarakat Indonesia perlu belajar untuk lebih menghargai pemikiran kritis dan tidak hanya terpaku pada gelar akademis atau otoritas formal. Gelar memang penting, tetapi bukan satu-satunya penentu kualitas ilmu. Dengan lebih terbuka terhadap data, fakta, dan argumen yang valid, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inovatif dan berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H