Kita hidup di era di mana informasi mengalir dengan cepat dan mudah diakses. Namun, ironisnya, alih-alih menjadi lebih kritis dan terbuka terhadap berbagai perspektif, banyak orang justru semakin terjebak dalam sikap dogmatis, menolak pandangan yang berbeda, dan bersandar pada otoritas tertentu tanpa mempertanyakan validitas informasi. Hal ini menghambat perkembangan pemikiran kritis yang sebenarnya sangat dibutuhkan di tengah arus informasi yang masif.
Apa Itu Dogmatisme?
Dogmatisme adalah sikap di mana seseorang mempertahankan keyakinannya secara kaku dan tidak terbuka terhadap sudut pandang lain, bahkan ketika dihadapkan pada bukti atau argumen yang lebih kuat. Sikap ini sering muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari keyakinan religius hingga pandangan politik, dan sering kali berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk berpegang teguh pada otoritas tertentu, seperti tokoh masyarakat, pemimpin, atau pakar di bidang tertentu.
Dogmatisme tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat yang kurang berpendidikan atau akses informasi terbatas, tetapi juga dapat ditemui pada orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Meski memiliki pengetahuan yang luas, mereka sering kali terjebak dalam pola pikir tertutup, terutama ketika informasi yang diterima bertentangan dengan keyakinan mereka.
Dogmatisme dan Bias Otoritas di Era Informasi
Salah satu faktor yang memperkuat dogmatisme adalah bias otoritas, di mana seseorang cenderung menerima informasi atau pendapat hanya karena datang dari tokoh yang dianggap lebih berkompeten atau berotoritas. Meskipun di era informasi saat ini kita dapat dengan mudah mencari dan memverifikasi informasi, banyak orang masih memilih untuk menerima pandangan dari otoritas yang mereka percayai tanpa mempertanyakan atau mengkritisi argumennya.
Sebagai contoh, dalam dunia politik, seseorang mungkin mempercayai apa pun yang dikatakan oleh pemimpin partai atau tokoh yang mereka dukung, tanpa mempertimbangkan apakah argumen tersebut didukung oleh fakta yang valid. Hal ini menciptakan keterbelahan pandangan yang semakin tajam, di mana kelompok-kelompok masyarakat menjadi sulit berdialog karena masing-masing terjebak dalam dogma yang mereka anut.
Mengapa Banyak Orang Menolak Pemikiran Kritis?
Ada beberapa alasan mengapa banyak orang cenderung menolak berpikir kritis dan lebih memilih sikap dogmatis, meskipun kita hidup di era yang sangat terbuka dengan berbagai sumber informasi:
1. Kenyamanan dalam Keyakinan Lama
Berpikir kritis memerlukan usaha, termasuk membuka diri terhadap kemungkinan bahwa keyakinan kita mungkin salah. Bagi banyak orang, ini adalah proses yang tidak nyaman. Lebih mudah untuk tetap dalam keyakinan yang sudah dikenal dan nyaman, bahkan jika hal itu berarti menutup diri dari fakta atau perspektif baru.
2. Pengaruh Sosial dan Budaya
Dalam masyarakat yang sangat menghormati otoritas atau memiliki struktur sosial yang hierarkis, seperti Indonesia, sering kali ada tekanan untuk menerima pandangan yang berasal dari sumber otoritatif tanpa mempertanyakannya. Hal ini mendorong sikap dogmatis, di mana pendapat yang berbeda dianggap tidak sah atau kurang berharga.
3. Takut Terlihat Salah atau Bodoh
Ketakutan akan kehilangan muka atau terlihat bodoh di hadapan orang lain bisa membuat seseorang enggan mempertanyakan informasi dari sumber yang dianggap lebih berotoritas. Sikap ini membuat orang lebih memilih untuk mengikuti arus daripada mengambil risiko untuk berpikir mandiri.
4. Bias Konfirmasi
Dalam era media sosial, bias konfirmasi menjadi sangat kuat. Algoritma platform digital sering kali hanya menampilkan informasi yang sejalan dengan keyakinan pengguna, sehingga seseorang terus-menerus dikonfirmasi dalam pandangannya dan menjadi semakin dogmatis. Pandangan yang berbeda jarang sekali muncul dalam lingkup mereka, sehingga mereka merasa tidak perlu mempertanyakan keyakinannya.
Dampak Dogmatisme pada Masyarakat
Sikap dogmatis memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan masyarakat. Pertama, dogmatisme menghambat inovasi dan kemajuan. Ketika orang menolak berpikir kritis dan mempertahankan pandangan lama tanpa mempertimbangkan fakta baru, mereka juga menolak kemungkinan solusi baru untuk masalah yang ada.
Selain itu, dogmatisme memperparah polarisasi dalam masyarakat. Ketika kelompok-kelompok yang berbeda saling terjebak dalam dogma mereka, dialog menjadi semakin sulit. Masyarakat yang terpecah cenderung tidak dapat bekerja sama untuk mencari solusi bersama, baik itu dalam hal politik, sosial, atau ekonomi.
Bagaimana Mengatasi Dogmatisme?
Membangun budaya berpikir kritis adalah solusi untuk melawan dogmatisme. Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mendorong pemikiran kritis:
1. Mendorong Pendidikan Kritis Sejak Dini
Pendidikan yang tidak hanya berfokus pada hafalan, tetapi juga pada kemampuan berpikir kritis dan analitis, sangat penting. Anak-anak harus diajarkan untuk mempertanyakan informasi, mencari bukti, dan terbuka terhadap perspektif lain.
2. Meningkatkan Literasi Media
Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi yang valid dari yang tidak, terutama di era di mana berita palsu dan misinformasi begitu mudah tersebar.
3. Mendorong Dialog yang TerbukaÂ
Penting untuk menciptakan ruang di mana orang merasa aman untuk berbicara, bertanya, dan menyampaikan pendapat tanpa takut dihakimi. Dialog yang terbuka dan konstruktif dapat membantu mengurangi dogmatisme dan mempromosikan pemahaman bersama.
Kesimpulan
Dogmatisme di era informasi merupakan tantangan besar bagi perkembangan masyarakat yang sehat dan kritis. Dengan membangun budaya berpikir kritis, masyarakat bisa lebih terbuka terhadap perbedaan pandangan, lebih mampu menghadapi tantangan masa depan, dan lebih siap untuk menemukan solusi kreatif terhadap berbagai masalah. Perubahan ini tidak hanya membutuhkan usaha individu, tetapi juga dukungan dari sistem pendidikan, media, dan pemimpin masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H