Di banyak masyarakat Muslim, terdapat kecenderungan untuk menolak ilmu pengetahuan yang datang dari Barat atau tradisi non-Islam. Hal ini sering didorong oleh keyakinan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna telah menyediakan segala pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan, baik di dunia maupun akhirat.Â
Banyak orang menganggap bahwa ulama yang memahami Al-Qur'an dan Sunnah dengan baik adalah satu-satunya sumber yang sah untuk semua jenis ilmu, termasuk ilmu yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, dan perkembangan peradaban.
Namun, pandangan semacam ini telah mengakibatkan stagnasi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk teknologi, ekonomi, dan inovasi. Sementara dunia luar bergerak cepat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak negara Muslim tampak tertinggal.Â
Salah satu penyebab utamanya adalah resistensi terhadap pengetahuan yang berasal dari luar tradisi Islam, khususnya dari dunia Barat.
Islam Mendorong Pencarian Ilmu dari Berbagai Sumber
Sebelum kita lebih jauh membahas resistensi terhadap ilmu dari Barat, penting untuk diingat bahwa Islam sebenarnya tidak mengajarkan umatnya untuk menolak pengetahuan dari sumber-sumber non-Islam. Sebaliknya, Islam mendorong pencarian ilmu tanpa memandang batas-batas budaya atau agama.Â
Banyak tokoh besar dalam sejarah Islam, seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi, mengambil pengetahuan dari berbagai peradaban, termasuk Yunani, Persia, dan India, lalu mengembangkan dan menyelaraskannya dengan ajaran Islam.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, banyak masyarakat Muslim telah bergeser ke arah yang lebih eksklusif, hanya mengakui ilmu yang berasal dari ulama yang dianggap memahami Al-Qur'an dan Sunnah dengan baik. Hal ini mengakibatkan pengabaian terhadap ilmu yang berkembang pesat di luar dunia Islam, terutama di Barat, yang telah menjadi pusat inovasi teknologi, sains, dan ekonomi.
Dampak dari Menolak Ilmu dari Barat
Resistensi terhadap ilmu dari Barat tidak hanya berdampak pada keterlambatan perkembangan teknologi dan ekonomi, tetapi juga menyebabkan keterbelakangan intelektual yang luas.Â
Di banyak negara Muslim, kemajuan teknologi berjalan lambat karena penolakan terhadap pengetahuan yang dianggap "tidak Islami" atau berasal dari orang non-Muslim.
Penolakan ini sering kali didorong oleh kekhawatiran bahwa mengambil ilmu dari Barat bisa membuka pintu terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, seperti sekularisme atau hedonisme.Â
Namun, penolakan semacam ini bisa menyebabkan dampak yang jauh lebih merugikan. Tanpa membuka diri terhadap inovasi dan pengetahuan dari luar, peradaban akan tertinggal, yang pada akhirnya akan memperburuk masalah kemiskinan, ketidaksetaraan, dan stagnasi sosial.
Sebagai contoh, dalam bidang teknologi, negara-negara yang terbuka terhadap inovasi dan pengetahuan dari Barat telah mampu mengembangkan infrastruktur yang lebih maju, industri yang berkembang pesat, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak. Sementara itu, negara-negara yang menolak pengetahuan luar sering kali menghadapi tantangan dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan teknologinya.
Kebenaran Harus Diukur dari Data dan Fakta, Bukan Identitas
Salah satu masalah mendasar yang sering terlihat adalah kecenderungan untuk menilai kebenaran berdasarkan siapa yang berbicara, bukan pada argumen atau fakta yang disampaikan. Dalam banyak diskusi di kalangan masyarakat, ketika seorang ulama atau tokoh agama berbicara, pendapatnya sering kali diterima tanpa pertanyaan, sedangkan jika seseorang dari luar tradisi Islam atau Barat memberikan pandangan yang serupa, pendapatnya cenderung ditolak.
Kebenaran, bagaimanapun, harus diukur berdasarkan data, fakta, dan argumen yang kuat, bukan identitas orang yang menyampaikannya. Dalam ilmu pengetahuan modern, kebenaran diuji melalui metode empiris dan rasional, bukan melalui kepercayaan personal.Â
Jika seorang ilmuwan, baik dari Barat, Timur, atau dunia Muslim, menyampaikan fakta atau pengetahuan yang didukung oleh bukti yang kuat, maka pengetahuan tersebut seharusnya diterima tanpa mempermasalahkan latar belakangnya.
Contoh kasus yang sering terjadi adalah ketika seorang pemikir atau ilmuwan kalah dalam debat atau diskusi, mereka sering kali tidak hanya dikritik, tetapi juga dihakimi secara pribadi.Â
Mereka dianggap sesat atau pemikirannya dianggap rusak sepenuhnya hanya karena satu kesalahan atau ketidaksepakatan dalam satu topik. Hal ini sangat tidak produktif, karena menutup pintu bagi dialog dan diskusi yang sehat.
Pentingnya Membuka Diri Terhadap Pengetahuan yang Lebih Luas
Sikap menutup diri terhadap pengetahuan dari Barat atau sumber-sumber non-Islam hanya akan memperlambat perkembangan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Dalam era globalisasi ini, keterbukaan terhadap berbagai ide, pengetahuan, dan inovasi sangat penting untuk memajukan peradaban.
Kita bisa belajar dari siapa pun yang memiliki pengetahuan, asalkan kita memiliki kerangka yang kuat untuk menyaring informasi tersebut berdasarkan prinsip-prinsip moral dan agama yang kita anut. Islam sendiri memberikan kebebasan dan dorongan kepada umatnya untuk terus belajar dan berkembang.Â
Pengetahuan dari Barat tentang teknologi, sains, dan ekonomi bisa dipadukan dengan nilai-nilai Islam untuk menciptakan solusi yang lebih baik bagi umat.
Kesimpulan
Menolak ilmu hanya karena berasal dari Barat atau luar tradisi Islam adalah sikap yang merugikan. Umat Islam harus membuka diri terhadap pengetahuan yang lebih luas, memanfaatkan fakta, data, dan argumen logis untuk menentukan kebenaran, bukan semata-mata melihat siapa yang menyampaikannya.Â
Dengan sikap yang lebih terbuka dan rasional, umat Islam dapat memajukan peradaban mereka, mengembangkan teknologi dan ekonomi, serta berkontribusi lebih besar dalam kancah global tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip keimanan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H