Banyak anak zaman sekarang merasa tidak nyaman untuk tinggal lama di rumah bersama orang tua mereka. Fenomena ini sering disebabkan oleh pola komunikasi yang salah dan nasihat berlebihan dari orang tua. Meski niat orang tua mungkin baik, perhatian yang berlebihan kerap kali membuat anak merasa tidak dihargai, terkekang, dan kehilangan harga diri. Alhasil, banyak anak memilih untuk bekerja jauh dari rumah atau mencari kebebasan di luar pengawasan orang tua.
Nasihat yang Berlebihan: Antara Perhatian dan Penjara
Salah satu alasan utama mengapa anak tidak betah di rumah adalah karena overdosis nasihat dari orang tua. Dalam upaya untuk melindungi, orang tua sering kali memberikan terlalu banyak nasihat dalam segala hal. Orang tua melihatnya sebagai bentuk perhatian, tetapi anak merasa seperti dikritik dan tidak dipercaya untuk mengambil keputusan sendiri.
Situasi ini menciptakan rasa terkekang, seolah-olah anak tidak memiliki kebebasan untuk belajar dari kesalahan atau membentuk jati diri mereka sendiri. Ketika kritik dan arahan datang terus-menerus, anak-anak cenderung menghindari rumah dan lebih memilih mencari pekerjaan atau aktivitas di luar yang memungkinkan mereka mendapatkan ruang pribadi dan otonomi.
Kritik yang Berlebihan Membunuh Harga Diri Anak
Data menunjukkan bahwa banyak anak di Indonesia kehilangan harga diri di depan orang tua mereka karena kritik yang berlebihan. Orang tua tanpa sadar sering kali menghakimi pilihan anak dalam hal karier, pendidikan, atau bahkan hobi. Misalnya, anak yang ingin menekuni alat musik mungkin dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keluarga atau agama.
Kritik semacam ini meruntuhkan rasa percaya diri anak dan membuat mereka merasa tidak mampu. Akibatnya, anak-anak menjadi enggan untuk berkomunikasi dengan orang tua, merasa bahwa pendapat atau keputusan mereka tidak pernah dianggap benar. Ketika ini terjadi secara berulang, hubungan orang tua dan anak menjadi renggang.
Doktrin "Patuh Tanpa Bantah": Beban yang Membingungkan Anak
Di Indonesia, sejak kecil, anak-anak diajarkan untuk selalu patuh dan tunduk terhadap perintah orang tua. Doktrin bahwa anak harus berbakti tanpa boleh menyakiti hati orang tua atau membantah keputusan mereka sering kali ditanamkan kuat. Meskipun niat dari ajaran ini adalah baik, dalam praktiknya hal ini menimbulkan masalah serius.
Doktrin ini memberikan kesan bahwa orang tua selalu benar dalam segala hal, termasuk dalam menentukan karier anak. Anak dipaksa untuk mematuhi keinginan orang tua meskipun itu bertentangan dengan minat atau bakat mereka. Akibatnya, banyak anak merasa tertekan karena tidak dapat mengembangkan potensinya secara mandiri. Ketidakpastian ini membuat mereka bingung, dan komunikasi dengan orang tua justru semakin memburuk karena anak takut untuk berbicara jujur.
Orang Tua yang Lebih Terbuka: Sebuah Contoh Positif
Namun, tidak semua orang tua di Indonesia memiliki pola pikir yang kaku seperti ini. Banyak orang tua yang sudah memahami pentingnya memberi kebebasan pada anak untuk menentukan jalan hidup mereka. Orang tua yang mendukung minat anak, seperti membiarkan anak memilih karier atau hobi sesuai dengan keinginan mereka, memberikan contoh yang baik bagaimana hubungan antara orang tua dan anak bisa lebih sehat.
Contoh seperti ini lebih sering ditemukan di kota-kota besar, tetapi juga tidak sedikit orang tua di desa yang mulai memberi ruang lebih bagi anak untuk berkembang. Mereka memahami bahwa anak perlu menemukan jati diri dan belajar mandiri. Meskipun demikian, masih banyak orang tua di berbagai daerah yang tetap berpegang teguh pada pola asuh lama, di mana anak dipaksa untuk mengikuti rencana yang dianggap "terbaik" oleh orang tua.
Pendidikan yang Tidak Relevan: Beban Tambahan bagi Anak
Selain masalah komunikasi dengan orang tua, pendidikan di sekolah yang tidak relevan dengan dunia kerja juga menjadi faktor lain yang memperburuk situasi. Sekolah masih berfokus pada nilai akademik dan mengabaikan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia nyata. Hal ini sering tidak dipahami oleh orang tua, yang masih menganggap bahwa ijazah adalah segalanya.
Namun, dunia kerja saat ini menuntut lebih dari sekadar nilai akademik. Anak-anak membutuhkan keterampilan praktis seperti komunikasi yang baik, pemecahan masalah, dan adaptasi yang sering kali tidak diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, orang tua harus menyadari bahwa pendidikan formal saja tidak cukup untuk mempersiapkan anak menghadapi tantangan di masa depan.
Kesimpulan
Anak-anak yang tidak betah di rumah sering kali merasa terjebak dalam pola komunikasi yang kaku, nasihat berlebihan, dan kritik tanpa henti dari orang tua. Selain itu, doktrin yang mengharuskan anak patuh tanpa boleh membantah menambah tekanan pada anak, yang akhirnya membuat mereka kehilangan kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.
Namun, ada juga contoh orang tua yang sudah lebih terbuka dan memahami pentingnya memberikan kebebasan kepada anak dalam memilih karier dan mengejar minat mereka. Orang tua seperti ini lebih paham akan tantangan zaman sekarang dan memberikan dukungan yang relevan. Hubungan yang sehat antara orang tua dan anak harus dibangun atas dasar saling memahami dan menghargai. Orang tua perlu mengubah cara berkomunikasi agar anak-anak merasa lebih dihargai dan mampu berkembang tanpa rasa takut atau tertekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H