Apa yang kita cari di dunia ini? Apa yang kita kejar sampai ngotot menghabiskan banyak waktu dengannya? Kemewahan? Penampilan? Atau, kenyamanan?
Jika untuk kemewahan, apa yang mau kita mewahkan di diri kita? Perhiasan? Bukankah space untuk perhiasan sangat sedikit di tubuh kita? Rumah mewah? Bukankah bagian yang membuat kita nyaman di dalamnya adalah kehangatan bersama keluarga? Atau---jika pada fisik---bukankah hanya tidur yang membuat kita nyaman, dan bukankah space tempat tidur kita tak begitu luas? Kemewahan apa sebenarnya yang kita cari?
Jika yang kita cari adalah penampilan, penampilan yang seperti apa? Bukankah waktu kita untuk menampilkan diri tak begitu banyak dalam sehari? Dan jika kita pun tampil, kita cari apa dari penampilan itu? Cari pujian? Pengakuan? Atau cuma sekadar pamer? Untuk apa semua itu?
Jika kenyamanan yang kita cari, apakah kita sudah paham dengan kenyamanan yang sesungguhnya? Yang mana yang kita sebut nyaman? Apakah dengan keluar bekerja saat hari masih gelap, lalu pulang pun ketika hari kembali gelap? Apakah dengan keluar bekerja saat anak masih tertidur, lalu pulang juga saat anak sudah lelap?
Coba kita pikirkan. Salah satu bagian terpenting saja di tubuh kita, tak menuntut terlalu banyak. Perhatikan lambung kita. Ukurannya tidak besar, dan semua orang memiliki ukuran lambung yang (rata-rata) sama. Hanya bisa diisi dengan makan maksimal 3 kali sehari.
Anda pegawai biasa, makannya 3 kali sehari. Yang pejabat makan juga 3 sehari. Yang manajer, yang bos, pemilik perusahaan, politikus, selebriti, menteri, bahkan presiden; semuanya pun makan maksimal 3 sehari.
Tidak sampai di situ. Kenikmatan makanan pun dirasakan sama. Enaknya hanya sebatas di lidah, setelah lewat tenggorokan, tak akan terasa lagi. Tidak ada perbedaan. Tak ada pengelompokan bahwa, yang gajinya kecil hanya bisa merasakan enaknya makanan sebatas di lidah saja, sementara yang gajinya besar enaknya makanan akan terasa sampai ke lambung hingga ke usus. Tak ada begitu. Semuanya sama, diberi porsi yang sama.
Itulah sebabnya dengan berbagai latarbelakang kehidupan manusia di dunia ini, secara umum, kebutuhannya selalu terpenuhi. Ukuran tubuh manusia tak berbeda jauh, terutama lambung. Ukurannya rata-rata sama, dan kita kebanyakan berusaha untuk memenuhi kebutuhan tubuh ini.
Dengan mengetahui semua itu, seharusnya kita tak terlalu memaksakan diri. Tidak perlu terlalu berambisi dengan segala hal-hal keduniaan. Kita berusaha dan penuhi sewajarnya saja.Â
Kita berusaha dengan maksimal berdasarkan porsi yang kita butuhkan saja. Yang perlu kita ingat adalah, kita memiliki banyak kebutuhan yang jauh lebih penting dari sekadar mengejar kemewahan.
Ingatlah, kita punya wajah yang perlu kita biasakan untuk tersenyum, bukan membuatnya murung dengan memikirkan bagamana caranya agar orang lain memuji-muji kita. Kita juga punya badan yang harus diistirahatkan dengan rutin setiap hari, bukan memaksanya bekerja tak mengenal lelah hanya untuk membuatnya enak dipandang tapi payah dengan kondisinya.Â
Ingat lagi ya, tubuh itu yang paling utama kondisinya, bukan penampilannya. Boleh berpenampilan menarik selama kondisinya telah terjamin. Dan yang pasti, jangan pernah memaksakan tampil menarik tapi cara mengusahakannya dengan merusak kondisi tubuh.
Kita renungi lagi, ukuran lambung kita rata-rata sama. Hanya bisa diisi dengan makanan maksimal 3 sehari. Semoga ini bisa menjadi tolok ukur agar kita mampu menakar seberapa besar sebenarnya kebutuhan kita. Agar kita bisa mengetahui untuk apa sebenarnya kita bekerja. Agar kita bisa paham, untuk apa saja waktu kita digunakan. Agar kita bisa disiplin dan membedakan, yang mana kebutuhan kita dan yang mana keinginan kita.
Dengan menyadari semua itu, kita akan lebih bijaksana dalam hidup. Bisa mengerti tujuan hidup. Bisa berbagi saat berlebih, dan tidak berlebihan dalam membagi porsi bekerja dan istirahat. Semuanya dikerjakan secara adil, semuanya dijalankan dengan bijaksana.
"Kerusakan seringkali terjadi pada sesorang yang begitu memaksakan diri untuk hal-hal yang tidak penting, tapi terlihat santai pada kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya."
Wallahu A'lam
Yasir Husain, Penulis Buku SETIA (Selagi Engkau Taat & Ingat Allah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H