Gender masih sering menjadi pembahasan yang menghiasi laman berita kita hingga saat ini, baik dalam dalam segi keamanan, pendidikan, sampai ekonomi. Harapan-harapan akan adanya kesetaraan masih terus dijunjung. Perjuangan dalam memerangi diskriminasi masih terus berlanjut, tapi apakah perjuangan dan harapan itu sudah cukup ?
Permasalahan mengenai gender yang masih termasuk dalam studi keamanan manusia (human security) Â yang pada hakikatnya keamanan manusia tidak hanya mengenai kekerasan. Artinya, banyak pandangan atau perspektif mengenai isu keamanan manusia itu sendiri. Konsepsi keamanan berawal dari perspektif realisme sebagai salah satu teori yang mendominasi teori-terori realisme seringkali digunakan sebagai alat atau kacamata dalam menafsirkan fenomena keamanan internasional.
Tapi apakah hadirnya semua itu maka diskriminasi dan kesataraan terhadap gender sudah tercapai ?
Dalam dunia Sepak Bola ,yang dimana olaharaga tersebut dimainkan dan digemari oleh semua kalangan, baik dari segala kasta dan tingat ekonomi, ras, agama dan juga gender. Gender? iyaa gender karena sepak bola juga tidak hanya dimainkan oleh pria namun juga perempuan.
 Mungkin selama ini ketika kita mendengar sepak bola maka yang terbesit di dalam pikiran kita adalah sepak bola yng dimainkan oleh pria, nama -nama besar yang telah menghiasi layer kaca dan juga sosmedia kita seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi yang dimana kedua pemain tersebut termasuk dalam 10 Atlet berpengahsilan tertinggi di dunia. Dengan segudang prestasi yang telah mereka torehkan tentu hal tersebut adalah sesuatu yang wajar bukan? dimana banyak club-club top Eropa dan juga penggemar yang menginginkan jasa mereka di dalam tim kesayanganya. Hal ini tentu menjadi sorotan yang hanya tertuju pada sepakbola yang dimainkan oleh pria.
Dengan pendapatan yang fenomenal serta kesempatan untuk dikenal oleh orang banyak, dmaka siapa yang tidak ingin menjadi pemain professional sepak bola?
Sayangnya hal ini tidak dialami oleh Tim Nasional Sepak Bola Wanita Amerika Serikat (AS) yang dimana mereka sempat mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan AS dengan tudingan diskrimnasi gender yang dilembagakan selama bertahun-tahun.
Dengan segudang prestasi yang telah mereka torehkan yang dimana salah satunya ada menjuarai salah satu tournament sepak bola terbesar dengan membawa nama negara,mereka berhasil menjadi juara dunia dan  dan empat gelar Olimpiade kerap diperlakukan dengan buruk. Menurut otoritas keuangan sepak bola AS, tim wanita itu menghasilkan lebih banyak pendapatan daripada rekan-rekan pria selama tiga tahun terakhir. Para pemain ini mencari upah yang sama dengan rekan-rekan mereka pesepak bola pria yang gagal untuk dapat bermain di Piala Dunia 2018. Gugatan tersebut diajukan di pengadilan federal di Los Angeles, dimana mereka mencari upah serta perlakuan yang sama. Kelompok ini diisi oleh beberapa pemain bintang dan pemain terbaik di dunia yaitu Megan Rapinoe, Alex Morgan, dan Carli Lloyd.
"Kami masing-masing sangat bangga mengenakan jersey Amerika Serikat, dan kami juga menganggap serius tanggung jawab yang menyertainya. Kami percaya bahwa memperjuangkan kesetaraan gender dalam olahraga adalah bagian dari tanggung jawab itu," ucap Morgan dalam sebuah pernyataan dilansir dari laman Guardian, Sabtu (9/3).
Pada akhirnya kedua belah pihak menyetujui penyelesaian pada tahun 2017. Dengan persyaratan yang tidak dipublikasikan akan tetapi hal ini diyakini mencakup kenaikan gaji, dan fasilitas-fasilitas lainya.
Selain permasalahan ini, Diskrminasi gender dan seksisme yang merupakan masalah yang tak kunjung usai. Dilansir dari gantigol.com yang menjelaskan Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Women in Football (WIF) dan Sports Marketing Surveys,menyatakan dua pertiga Wanita yang berkarir di sepak bola pernh mengalami diskriminasi gender di tempat kerja. Survei ini ditujukan kepada 4,200 anggota WIF dan Ketua Organisasi Ebru Koksal mengatakan bahwa hasil surbey yang telah dilakukan sanat memilukan. Diskriminasi gender yang paling sering dialami oleh para perempuan yang Sebagian besarnya ada Seksisme, Janie Frampton dan Wendy Toms adalah dua wasit pertama yang dapat terlibat di pertandingan sepakbola professional pria pada era 90an.