Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Struktur Sosial Masyarakat Sumba Timur

14 Maret 2022   07:05 Diperbarui: 14 Maret 2022   07:07 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Sumba (Foto: kompas.com)

Setiap suku bangsa di Nusantara ini memiliki kekhasan atau keunikannya masing-masing. Hal ini mudah dijumpai di setiap pelosok Nusantara. Pada kesempatan ini akan disajikan cerita tentang keunikan salah satu suku bangsa di Provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya di Kabupaten Sumba Timur.

Setelah kurang lebih enam belas tahun menetap di Sumba Timur, penulis menjumpai aneka kekhasan masyarakatnya mulai dari bahasa, adat perkawinan, adat kematian, tenun ikat dan motifnya, tarian dan alat musiknya, padang sabana, pertanian, peternakan, perikanan, dan pembagian kelompok sosial masyarakatnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin menceritakan tentang pembagian kelompok sosial orang Sumba. Apa yang diceritakan di sini murni sebagai pengalaman pribadi saat berinteraksi dan melebur diri dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur.

Tulisan ini tentu bukanlah sebuah analisis sosial yang sistematis berdasarkan teori tertentu. Artikel ini hanya berupa cerita mentah yang digarap apa adanya, sesuai keadaannya yang asli dengan cara yang sederhana.

Ceritanya dimulai dari saat menghadiri acara pada salah satu keluarga. Ada yang aneh dalam penglihatan saya. Saat mendapat suguhan minuman kopi atau teh, gelas setiap orang berbeda-beda. Ada yang cangkir dan ada yang berupa gelas biasa dengan bentuk atau ukuran yang berbeda-beda pula.

Spontan suara hati berbisik lirih dalam tanya, mengapa harus berbeda? Namun pada saat itu saya tidak langsung mencari jawabannya. Sebagai tamu tentu saja harus tetap menjaga sopan santun dengan menghargai kenyataan yang ada.

Setelah menggali informasi dari beberapa rekan guru yang mengerti tentang kebudayaan Sumba Timur, ternyata kenyataan yang diungkapkan di atas menggambarkan tentang struktur sosial masyarakatnya. Dituturkan bahwa  ada tiga kelompok sosial masyarakat Sumba Timur.

Kelompok pertama disebut Maramba atau raja. Kelompok ini merupakan tuan tanah, penguasa wilayah dan pemimpin mayarakat. Hingga saat ini, kelompok ini berada di wilayah tertentu di Kabupaten Sumba Timur, antara lain di Pau tepatnya di kecamatan Umalulu, Rende di kecamatan Rindi, Prailiu di kecamatan Kambera, Kapunduk di kecamatan Kanatang, Karera di kecamatan Karera dan Tabundung di kecamatan Tabundung.

Kelompok kedua disebut Kabihu atau Suku. Kelompok ini disebut juga sebagai orang merdeka artinya mereka bukan marimba atau Raja dan bukan juga Ata atau Hamba. 

Kelompok ini ada disetiap wilayah di sumba Timur. Kelompok ini juga dipercayakan sebagai pemimpin. Bahkan ada kabihu tertentu bisa menjadi penasehat Raja, misalnya kabihu Watuwaya di Melolo kecamatan Umalulu.

Kelompok yang ketiga disebut Ata atau Hamba. Kelompok ini berada langsung di bawah kekuasaan Maramba atau Raja. Kelompok ini juga dibagi dua yakni kelompok Ata Bokul dan kelompok Ata Kudu.

Kelompok Ata Bokul merupakan orang terdekat Maramba atau Raja. Mereka juga menjadi orang kepercayaan Raja (asisten). Dan kempok Ata Kudu merupakan para pembantu Raja yang bertugas sebagai penggarap kebun atau ladang milik Raja dan juga peternak yang menjaga atau memelihara hewan ternak milik Raja.

Seluruh kehidupan para hamba diatur dan dijamin oleh raja dan tentu saja mereka tidak boleh melawan kehendak raja. Semua anak cucu atau keturunan hamba status sosialnya tetap sebagai hamba dan tidak akan berubah.

Rupanya pembagian kelompok atau struktur sosial seperti ini turut mempengaruhi pola relasi sosial masyarakatnya. Dan hal ini terbawa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.  Semuanya biasa-biasa saja dan tidak ada yang mempersoalkannya.

Akhir cerita, setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang bernilai luhur. Namun tidak semua kebiasaan yang ada perlu atau patut dipertahankan. Kebiasaan yang berpotensi merendahkan harkat dan martabat  manusia sudah selayaknya ditinggalkan atau dibiarkan sebagai hanya tinggal cerita. 

Namun harus tetap diakui bahwa mengubah kebiasaan atau kebudayaan yang sudah tertanam tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun