Kini, hal itu hanyalah bayangan berlalu. Semuanya tak akan mungkin terulang lagi. Misel berusaha untuk ceria walau hati diliputi kesedihan. Ia benar-benar sendiri dengan hanya menikmati gado-gado kesukaannya.
Perjalanan berlanjut. Hati dan pikirannya serba kalut. Ia tidak tahu bagaimana mempertanggungjawabkan keputusan di hadapan ibunya yang telah banyak berkorban. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan jalan panggilan khusus yang menjadi hasrat, keinginan, dan idealisme ibunya. Dan kini, ia mencoba memilih jalan lain yang ia sendiri tidak tahu harus memulainya dari mana.
Dalam kekalutan itulah, Misel berbelok arah. Ia tidak langsung kembali ke rumah menjumpai ibunya. Ia malah memilih untuk menjauhinya. Ia pun memulai petualangan yang penuh tantangan.
Ia berjalan kian kemari mencari pekerjaan yang sesuai. Suatu usaha yang hanya menuai peluh air mata. Malang baginya. Ia gagal fokus sehingga tak satu pun pekerjaan yang pas di hati dan pikirannya.
Dalam situasi yang tak menentu itu, ia juga sungguh terbebani oleh kuatnya perasaan bersalah. Ia benar-benar ingat dan selalu membayangkan ibunya. Ia sungguh yakin kalau ibunya menghendaki agar secepatnya ia kembali. Sebab, kabar tentang keberadaan dirinya sudah diketahui ibunya. Misel pun kembali larut dalam kesedihan. Ia mengambil notebook dan menuliskan curahan hatinya:
"ibu..., bila kita kembali bersama kan kuceritakan isi hatiku padamu. Tentang usaha dan perjuangan tiada akhir, tentang sesuatu yang tidak kita duga, tentang kasih yang lintas batas, tentang bahasa hati dari semua orang yang berkehendak baik.
Ibu..., engkau sendiri tak pernah berhenti berdoa demi keberhasilanku. Kini aku tahu engkau sangat menderita karena ulahku yang pergi menjauh, menanggalkan jubah putih dan meninggalkan rumah karantina yang ibu impikan.
Ibu..., aku janji bila kita kembali bersama 'kan kukisahkan pergulatan jiwaku saat berhadapan dengan situasi batas. Ada banyak hal yang kita cita-citakan. Tapi, sayangnya kita tak punya apa-apa.
Keadaan ini mendorongku 'tuk pergi jauh sebagai protes di hadapan situasi tak menentu. Aku melakukan semuanya dengan penuh kesadaran. Telah memikirkan konsekwensi terburuk yang bakal aku alami.
Ibu..., situasi itu sedang aku jalani meski ada setitik cahaya remang tengah menerangiku. Kuyakin, ini berkat doamu.
Kini, aku hidup dalam kerinduan mencekam. Inginnya aku berteriak memanggilmu dengan kepasrahan seorang anak  walau cuma dalam keheningan doa dengan kata yang rapuh"