Pemimpin dengan karakter yang kuat dan berjiwa wira usaha sudah pasti menjadi dambaan seluruh rakyat Indonesia. Keriduan ini tentu bertolak dari pengalaman yang dirasakan selama kepemimpinan yang ada. Ada kemajuan, tentu harus diakui. Namun tidak sedikit kegagalan yang dijumpai hingga ke pelosok negeri. Sebut saja salah satu daerah tertinggal yakni Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selama 4,5 tahun memimpin, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap perbaikan nasib warga. Masalah kemiskinan, perdagangan manusia, rendahnya kualitas pendidikan serta minimnya akses informasi menjadi masalah klasik yang selalu didengungkan.
Lebih menyakitkan lagi ketika calon petahana mengadakan kampanye terbuka di NTT, masalah-masalah di atas lolos dari perhatian. Seakan-akan masyarakat NTT hidup makmur, berkecukupan. Padahal faktanya masih jauh dar harapan. Memang ini tidak terlepas dari peran kepala daerah masing-masing kabupaten di NTT. Tetapi hemat saya, suara perhatian dari seorang yang akan menjadi nomor satu di negeri ini haruslah dikumandangkan.
Calon petahana hanya menyampaikan keberhasilannya dalam membangun bendungan. Namun tidak melihat lebih mendalam tentang sejauh mana dampak yang bisa dirasakan masyarakat NTT pada umumnya dari pembangunan bendungan tersebut. Nyata, masih banyak masyarakat NTT yang mengadu nasib di negeri seberang entah dengan cara legal maupun illegal.
Media online VoxNtt.com, memberitakan: "...pada tahun 2015 terdapat 28 buruh migran asal NTT yang meninggal. Tahun 2016 terdapat 46 korban. Trend ini semakin naik dua tahun belakangan yakni 2017 dan 2018.Â
Pada tahun 2017, terdapat 62 korban dan di tahun 2018 jumlahnya sangat tinggi yakni 105 korban. Sementara di Tahun 2019 hingga 31 Maret, jumlah buruh migran asal NTT yang meninggal di luar negeri sudah mencapai 31 orang."
Data ini mestinya mendapat perhatian serius oleh calon petahana. Karena sejatinya beliau mengetahui masalah sesungguhnya yang dihadapi warga. Fakta ini semestinya membangunkan rakyat NTT untuk melihat kenyataan lebih jernih. Namun apalah daya sumber daya manusia yang kritis-cerdas guna "menggonggong" kenyataan masih tergolong minor. Masyarakat NTT cenderung melihat kenyataan sebagai situasi terberi.
Mayoritas masyarakat NTT cenderung pasrah ketika berhadapan dengan keadaan yang tidak bisa diatasinya. Misalnya kalau hidup berkekurangan atau mendapat perlakuan yang tidak adil secara struktural, mereka terima saja: "ya memang begitu su, mau bagaimana lagi. Kita terima su". Ini tentu menunjukkan lemahnya karakter masyarakat.
Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, sesungguhnya masyarakat NTT merindukan pemimpin baru yang  berkarakter kuat yang sanggup membagunkan rakyat dari ketidakberdayaannya serta menyadari potensi yang ada dalam dirinya untuk diberdayakan dan dikembangkan.
Hemat saya pemimpin baru yang sanggup melakukan itu tampak dalam diri Prabowo-Sandi. Isu politik identitas yang menerpa pasangan ini bagi saya hanyalah manufer politik dari pihak lawan. Sebab sesungguhnya siapa pun yang menjadi pemimpin di negeri ini pasti nasionalis dan mengedepankan keutuhan bangsa.
Prabowo-Sandi hadir memberikan angin segar bagi rakyat Indonesia umumnya dan NTT khususnya. Kepribadian yang kuat dalam diri Prabowo dan diikuti oleh jiwa kewirausahawan seorang Sandi, menjadi modal apik bagi perbaikan nasib bangsa. Ada optimisme yang dibangun dari pasangan ini. Upaya memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia untuk memperbaiki kehidupan bangsa menjadi hal yang seharusnya digalakan.
Memang Prabowo tidak mengadakan kampanye terbuka di NTT. Namun Sandi selaku calon wakil presiden telah menyapa rakyat NTT dari hati ke hati melalui blusukan ke beberapa kabupaten/kota di NTT.Â
Saya yakin jiwa kewirausahawannya sanggup membaca apa yang menjadi kerinduan warga NTT untuk lima tahun ke depan. Salam dua jari untuk pemilu damai dan Indonesia Menang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H