Salah satu sikap dasar manusia adalah selalu menginginkan hal-hal yang baru. Sesuatu yang sudah lama terkadang membosankan, sudah kehabisan kreativitas dan tidak menjanjikan hal-hal yang bisa memberi manfaat berarti.Â
Sehububungan dengan pesta demokrasi, tentu saja setiap warga negara mendambakan sosok pemimpin baru yang tegas, kuat serta bijak. Dalam konteks ini, Indonesia butuh pemimpin yang akan membangun bangsa dengan cara baru.
Ada semangat dan gairah baru yang ditawarkan yang bukan cuma diukur oleh adanya pembangunan infrastruktur. Tetapi yang paling pertama dimulai adalah membangun infrastruktur mental dan akhlak anak negeri.
Ada fakta miris yang selalu saja tersaji di hadapan publik yakni murid dilecehkan gurunya, guru ditantang muridnya bahkan sampai meregang nyawa. Guru tidak lagi memiliki wibawa, tidak dihargai dan dinilai sebagai pekerjaan yang diremehkan. Semuanya terjadi karena secara ekonomi pekerjaan sebagai guru honorer sama sekali tidak menjanjikan materi berlimpah serta jauh dari hidup layak.
Fakta ini nyaris hanya menjadi abrolan empuk bagi para warga net yang mencoba mengais keuntungan di balik viralnya situasi. Anak-anak negeri kian bobrok secara akhlak. Indikator pemicunya adalah karena nasib pelaku pendidikan dalam hal ini guru yang berstatus honorer tidak dihiraukan. Guru yang berstatus PNS mendapat gaji ke 13 beserta THRnya sementara yang honorer dengan gaji seadanya hanya bisa menarik nafas panjang.
Munculnya kebijakan tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang sedianya bisa memperbaiki dan mengubah nasib para honorer, malah mencederai rasa keadilan bagi para honorer yang sudah lama mengabdi. Alhasil para honorer tetap menjadi yang terbelakang. Inilah yang menjadi salah satu pemicu mengapa kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah.
Secara pribadi saya mengapresiasi keberhasilan yang telah diraih oleh calon petahana, terutama berkaitan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang memang dirasakan oleh seluruh rakyat. Meski demikian BPJS kesehatan yang menangani hal ini mengeluh karena mengalami defisit anggaran.Â
Selain itu masih banyak lagi kegagalan yang tersaji dimata publik antara lain kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan sebagai akibat dari tidak diperhatikannya nasib guru honorer yang beban kerjanya juga sama dengan PNS, serta korupsi yang masih meraja lela, penegakan hukum yang masih tebang pilih.
Semua kegagalan ini tentu saja tidak boleh dipelihara terus. Ada pasangan baru dengan optimisme yang baru. Ya, siapa lagi kalau bukan Prabowo-Sandi. Dalam dirinya keduanya terciptala kolaborasi antara generasi tua dan muda. Generasi dengan kaya pengalaman dan kaya inovasi baru. Ada janji yang memberi harapan bagi perbaikan nasib bangsa, melanjutkan yang baik dan mengatasi aneka kegagalan yang ada.
Isu-isu miring memang selalu akrab dengan kedua pasangan ini, mulai dari pendudung radikalisme agama hingga hoaks. Namun hemat saya, semuanya tidak benar. Nyata, keduanya bukan dari kalangan alim ulama atau agamawan. Â Ada penolakan yang kasar maupun yang halus, bahkan dalam pentas debat capres pun diserang habis-habisan.Â
Itu semua mereka alami tetapi tidak menyurutkan semangat untuk menunjukkan itikad baik demi perubahan nasib anak negeri. Prabowo-Sandi tetap profesional dalam menghadapinya. Nyaris tak ada penolakan tandingan ataupun serangan balik saat debat. Ibarat dilempari batu tetapi dibalas dengan kapas.
Prabowo yang temparemental itu tidak ada sebab yang ada hanyalah Prabowo yang tegas dan bijak.Â
"Yang baik kita dukung sedangkan yang salah kita perbaiki dan kita luruskan".
Inilah pernyataan yang menunjukkan kekuatan, ketegasan serta kebijaksanaan. Urusan persatuan nomor satu, urusan presiden nomor dua. Salam dua jari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H