Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenal "Pahilir", Tradisi Bertata Krama antara Menantu dan Mertua di Sumba Timur

9 Mei 2018   11:19 Diperbarui: 9 Mei 2018   22:54 2731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Foto: istimewa --antara news)

Pada suatu kesempatan, saya bersama seorang teman yang adalah putera asli Sumba Timur menghadiri sebuah pesta perkawinan di Waingapu, Sumba Timur. Bersama para tamu undangan yang lain, kami memasuki ruang pesta. Kami pun diantar oleh penerima tamu untuk menempati tempat duduk yang masih kosong. Kami mengikutinya dengan penuh sukacita.

Setelah hampir kurang lebih sepuluh menit bercerita sambil menikmati suasana pesta, teman saya itu berbisik kepada saya katanya, "Kita harus pindah tempat duduk. Soalnya tempat duduk di sini tidak nyaman." Saya pun bertanya kepadanya, "Mengapa harus pindah? Di sini aman kok."

"Ah jangan. Pokoknya kita harus pindah. Sebentar saya jelaskan mengapa kita harus pindah posisi duduk."

Sebagai pendatang, saya pun mengalah dan mengikuti kemauannya. Dia membawa saya ke tempat duduk yang menurutnya aman.

Saya penasaran mengapa harus pindah tempat duduk padahal tidak ada bedanya dengan tempat yang kami duduki di awal masuk. Untuk memuaskan rasa ingin tahu saya, teman itu menjelaskan bahwa tempat duduk yang kami duduki tadi terlalu berdekatan dengan tempat yang sedang diduduki oleh mama mantunya. Menurutnya, hal itu tidak boleh dilakukan. Anak mantu laki-laki tidak boleh berdekatan dengan mama mantu. Inilah budaya Sumba yang disebut pahilir.

Menurut Frans W. Hebi, seorang pemerhati budaya Sumba, dalam acara "Bengkel Bahasa" di Radio Max FM Waingapu, pahilir kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti menyingkir atau menghindar. Pahilir merupakan suatu bentuk tata krama, etika, adat istiadat yang dianggap tabu, terlarang dan menciptakan aib.

Budaya pahilir ini dikatkan dengan kepercayaan bahwa ada jenis penyakit tertentu seperti sesak napas dan panas tinggi yang dikaitkan dengan pelanggaran. Yang dikatakan pahilir di sini adalah situasi pantang apabila duduk berdampingan, bertatap muka, berkelakar, melayani siri pinang, atau makan dan minum, antara bapak mantu dengan anak mantu perempuan, mama mantu dengan anak mantu laki-laki, atau isteri ipar dengan anak mantu laki-laki.

Dalam relasi sehari-hari, untuk menghindari kontak langsung antara mertua dengan menantu yang berbeda jenis kelamin, biasanya aktivitas dilakukan melalui perantara. Atau kalau terpaksa terutama berkaitan dengan melayani siri pinang dan makan minum, biasanya anak mantu menyimpannya di tempat yang bisa dilihat oleh bapa atau mama mantu yang pahilir, lalu biasanya bapak/ibu mertua mengerti bahwa itu untuk dia.

Saya pun bertanya bagaimana kalau mama mantu sakit mendadak dan cuma ada anak mantu laki-laki di rumah? Jawabannya adalah anak mantu tersebut tidak boleh menolongnya secara langsung. 

Dia cukup berteriak memanggil orang-orang di sekitar agar menolong mama mantunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk kasus seperti ini hampir pasti tidak akan terjadi karena orang Sumba selalu hidup bersama-sama dan tidak pernah tinggal sendiri-sendiri. Di dalam satu rumah terdiri dari beberapa kepala keluarga. Jadi kalau ada yang sakit pasti selalu ada yang menolong. Demikian juga kalau ke kebun selalu berkelompok atau bersama-sama semua anggota keluarga yang tidak pahilir.

Jika hal ini dilanggar, terutama sampai menjurus kepada perselingkuhan, akan ada denda adat berupa pemotongan babi yang akan disantap bersama dan juga menyerahkan seekor kuda kepada keluarga perempuan. Denda adat ini juga bisa lebih besar atau lebih berat.

Bagi saya budaya pahilir unik dan layak dipertahankan. Nilai yang bisa dipetik adalah tentang pola relasi atau pergaulan. Perlu adanya jarak yang wajar dalam hubungan yang memiliki potensi terjadinya perselingkuhan.

Saya pikir pahilir menjadi salah satu penangkal arus budaya modern seperti pelakor (perebut laki orang) atau pun kelkulator (kelakuan laki kotor). Budaya pahilir ini tentu akan mengurangi kasus perselingkuhan yang masih marak terjadi secara sembunyi-sembunyi sebagai akibat dari pola pergaulan yang terlalu bebas.

Salam hangat dari Waingapu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun