Pada masa kampanye pemilihan kepala daerah sekarang ini, media sosial apa pun jenis serta bentuknya menjadi sarana yang paling empuk untuk mempromosikan kandidat yang akan bertarung. Program-program unggulan yang ditawarkan kepada masyarakat diposting di media sosial.
Kenyataan ini tentu lumrah dan sah-sah saja. Ini merupakan bagian dari proses demokrasi di era milenial yang serba digital. Namun yang menjadi persoalannya adalah manakala ada begitu banyak oknum yang memanfaatkan media sosial untuk menjelek-jelekan kandidat lain. Semua hal buruk diutarakan seolah-olah orang lain tidak memiliki sisi positif sedikit pun.
Beragam reaksi dari netizen. Ada yang merasa prihatin. Namun, lebih banyak yang turut menghujat. Hujatan dibalas dengan hujatan. Maka jadilah media sosial sebagai ajang perang sindiran dan kata-kata kotor. Fatalnya warganet sepertinya mempercayai begitu saja apa yang ditayangkan di media sosial.
Setiap orang membentuk grupnya sendiri seturut figur yang diusung. Ini sebagai bentuk ekspresi dukungan dan kesenangan pada tokoh yang diidolakan. Namun, segala bentuk hujatan terhadap kelompok lawan dilihat sebagai kebenaran. Daya kritis nalar untuk membedakan yang benar dan salah, etis dan tidak etis seakan sirna.
Segala bentuk himbauan dari pihak terkait agar bijak atau cerdas dalam bermedia sosial telah dilakukan. Bahkan aparat penegak hukum pun telah menjalankan tugasnya dengan baik yakni menangkap orang yang dinilai menebarkan kebencian.
Namun, rupanya hal itu belum memberikan dampak yang signifikan. Karena masih ada orang atau kelompok orang yang memiliki kecenderungan untuk menebarkan hoaks atau berita-berita palsu. Berita-berita palsu tersebut kebanyakan berupa kampanye hitam terhadap figur atau tokoh tertentu yang menjadi lawan politik.
Sesungguhnya, segala bentuk hujatan atau kata-kata kotor yang dibaca dan dengar di media sosial akan mempengaruhi cara kerja otak. Ini akan berimbas pada pola pikir, tata laku, emosi serta sosial  seseorang. Hal inilah yang kadang enggan bahkan tidak disadari oleh warganet.
Jika pikiran lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif maka hal tersebut akan membentuk cara pandang terhadap sesuatu. Ini akan menjadi masalah serius jika dibiasakan terus menerus karena hal tersebut akan merusak cara kerja otak.
Julia Maria van Tiel seorang relawan yang bekerja selama lebih dari delapan tahun untuk para pengungsi di negeri Belanda (2010 sampai sekarang), mengisahkan pengalamannya tentang bagaimana mengurus orang-orang yang datang dengan berbagai pengalaman pahit akibat perang saudara kronis di negaranya.
Beliau menjumpai beberapa sikap dari para pengungsi itu antara lain senang sekali membuat cerita bohong dan fitna sehingga berkelahi dengan orang lain, sikap defensif serta tidak percaya pada orang lain dan jika mendapat tugas untuk dikerjakan malah mengerjakan yang lain-lain.
Kenyataan ini terjadi karena pengalaman mereka sehari-hari dimana bentuk-bentuk adu domba, hoaks begitu mengemuka. Dan pengalaman ini akan dikoding oleh sistem limbik yang tempatnya ada di otak dan kelak akan terhubung dengan konsep dirinya dalam melihat dunia luar termasuk orang lain.
Sehingga tidaklah mengherankan kalau rasa curiga, defensif dan dorongan untuk mengadu domba tercetak diotaknya kemudian menjadi blue print dasar-dasar bagaimana bersosialisasi. Walau mereka sudah hidup di tempat yang aman dan dilindungi tetapi masalah itu tetap dibawanya di dalam otaknya.
Dengan bercermin pada pengalaman di atas, bisa dibayangkan jika anak-anak negeri ini terus membiasakan diri bergabung dengan aneka grup media sosial yang doyan menebarkan kebohongan, kebencian terhadap orang lain atau pun terhadap figur tertentu. Cikal bakal terjadinya perpecahan antara kelompok yang majemuk menjadi ancaman serius.
Karena itu, jauh lebih bijaksana dan cerdas jika memanjakan otak dengan berita yang berbobot untuk menambah wawasan, membantu otak untuk selalu berpikir positif. Ini menjadi cara jitu dalam memerangi hoaks.
Jika otak sudah terbiasa dengan hal-hal yang positif maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh hasutan yang hanya akan memecah belah rasa solidaritas sebagai bangsa yang majemuk.
 Berbeda pilihan serta konsep untuk memajukan daerah atau bangsa bukanlah hal yang tabuh. Tetapi menjelekan dan menabur kebencian kepada pihak lain yang berbeda pandangan bukanlah cirikhas demokrasi yang berasaskan Pancasila. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H