Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengendus Jejak Sejarah dan Paradoks Penulisannya

16 April 2018   15:30 Diperbarui: 16 April 2018   15:29 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penemuan tulang serta benda atau alat yang diperkirakan berusia ratusan tahun sebelum Masehi di Lambanapu, Sumba Timur, NTT, memunculkan decak kagum dalam diri saya. Terutama, kagum pada arkelog, peneliti dan ilmuwan Indonesia yang perlahan mulai sanggup menyingkapkan tabir peradaban manusia pada masa lampau yang masih tersembunyi di bumi Nusantara ini.

Mengendus jejak peradaban manusia masa lampau bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang arkeolog, ilmuwan atau peneliti memerlukan peralatan yang memadai serta daya nalar yang tinggi untuk menganalisa data-data secara akurat. Kemudian, jujur dan obyektif dalam mempublikasikannya.

Hasil temuan arkeolog di situs Lambanapu telah dipublikasikan. Ini tertuang dalam buku "Seri Rumah Peradaban, Berpetualang Ke Sumba" yang ditulis oleh Retno Handini dan diterbitkan tahun 2017 lalu. Namun para arkeolog masih akan melakukan ekskavasi lebih lanjut guna memperkuat data yang ada dan besar kemungkinan bisa muncul temuan baru.

Ada secercah harapan yang menjulang dari masyarakat Sumba Timur dan para arkeolog untuk memuaskan dahaga intelektualnya tentang kehidupan nenek moyang di masa silam. Sumba Timur sebagai bagian dari kepulauan Nusantara jelas memberikan andil dalam kaitan dengan informasi tentang pola penyebaran manusia pada masa lampau yang mendiami Nusantara.

Namun, muncul pertanyaan yang sedikit menggelitik nurani, yakni mengapa baru sekarang para arkeolog bergerak untuk menelusuri jejak peradaban masa lampau khususnya di Sumba Timur? Kemanakah mereka selama ini?

Pertanyaan ini boleh dijawab secara gamblang, sederhana dan sedikit bernada positif. Misalnya Indonesia baru mempunyai ilmuwan yang memiliki kepekaan terhadap peradaban masa lalu yang pernah lahir di bumi nusantara ini. Dan ada juga jawaban yang lebih bernuansa negatif, yakni selama ini sejarah hanya ditulis oleh mereka yang memiliki kuasa, kelompok mayoritas, kaum cerdik pandai yang berjuang untuk kepentingan kelompoknya sendiri.

Paradoks Penelusuran dan Penulisan Sejarah

Jawaban yang bernuansa negatif ini tidak lebih sebagai sebuah paradoks. Mengapa? Karena sejujurnya penelusuran dan penulisan jejak sejarah bangsa Indonesia hanya memiliki satu tujuan yakni semangat nasionalisme. Tentu konteks historisnya adalah situasi ketertindasan yang pernah dialami. Sehingga tidaklah mengherankan jika penulisan sejarah lebih mengedepankan tentang kekejaman bangsa asing ketimbang aspek nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri.

Tanpa disadari pula sesungguhnya kehadiran para penjajah itu memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia terutama dalam memunculkan kesadaran sebagai bangsa tertindas. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban bangsa asing jauh lebih baik dari pada bangsa Indonesia. Maka tidaklah mengherankan mengapa bangsa Indonesia dengan begitu gampang ditaklukan.

Kebodohan dan keterbelakangan tentu menjadi salah satu faktor penyebabnya. Kehadiran bangsa asing secara tidak langsung memberikan pendidikan kepada rakyat Indonesia. Tanpa kehadiran bangsa asing sebagai penjajah mungkin Nusantara tidak bakal terbentuk sebagai negara yang bernama Indonesia.

Keadaan ini begitu jelas ketika munculnya kaum cerdik pandai dari kalangan bangsa Indonesia sendiri. Penjajah tentu punya andil dalam menciptakan kelompok cerdik pandai tersebut. Peran negara penjajah dalam konteks ini enggan ditulis secara jujur. Sebab, yang ditulis hanyalah kebobrokan dan kekejaman para penjajah.

Hal ini sesungguhnya berdampak pada keadaan psikologis bangsa. Artinya, ada perasaan terluka, amarah dan mungkin saja membangun sikap dendam dalam diri. Ini begitu nyata dalam penulisan sejarah untuk anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah.

Semestinya penuturan dan penulisan sejarah haruslah menekankan obyektivitas serta kejujuran dari penulis untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Sebab kadang dijumpai penulis sejarah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan atau rezim tertentu. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa sejarah seringkali ditulis hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.

Sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa, yang cerdas, dan yang merasa diri paling hebat. Sehingga tidak jarang dijumpai tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pahlawan diagungkan, dibesar-besarkan bahkan dipuja serta disembah. Sementara kelompok kecil yang terpencil, yang tidak memiliki pengaruh luas, dan tidak memiliki kekuatan untuk menuturkan kisahnya, enggan ditulis dalam buku sejarah. Atau parahnya, mereka mungkin menceritakan kisahnya tetapi tidak didengarkan dan tidak ditulis atau didokumentasikan.

Kenyataan ini begitu jelas terlihat dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah. Semua tokoh atau pelaku peristiwa sejarah yang ditulis hanya berasal dari daerah atau wilayah tertentu yang dianggap paling berpengaruh dalam perjuangan bangsa.

Sementara tempat-tempat lain yang terpencil, kecil dan tertinggal hampir dipastikan tidak tertulis dalam buku pelajaran sejarah. Padahal kalau mau jujur, hampir setiap wilayah di Indonesia ini memiliki sejarahnya sendiri dalam perjuangannya menghadapi penjajah. Namun mereka tidak memiliki kesanggupan untuk menuturkan atau menuliskannya.

Selain karena keterbatasan sumber daya manusia, juga karena mereka tidak mendapatkan akses yang memadai untuk menuturkan atau menuliskan sejarahnya. Tragisnya, buku pelajaran sejarah di sekolah layaknya sebagai buku dogma yang kebal terhadap revisi guna menambah aneka peristiwa atau peradaban masa lampau yang bernilai luhur yang tersebar di hampir seluruh wilayah Nusantara.

Lebih parahnya lagi, ada semacam seleksi saat mendokumentasikan aneka peristiwa historis dan monumen sejarah yang ada. Karenanya, sejarah menjadi lebih miskin daripada apa yang sungguh dialami dan terjadi. Seleksi ini tidak terlepas dari jaringan kepentingan yang melatari penutur atau penulis sejarah (Paul Budi Kleden dalam Frans Ceunfin & Felix Baghi, 2005:92). Di sinilah letak pembedanya atau lebih tepatnya sebagai akar persoalannya.

Dedikasi Arkeolog, Peneliti dan Penulis Sejarah

Dari sini saya berpikir bahwa para peneliti dan penulis sejarah bangsa Indonesia di masa lalu kehilangan obyektivitas serta netralitasnya. Ini menjadi sebab ketumpulan kepekaannya pada keadaan yang lebih luas.

Untuk itu, arkeolog atau para ilmuwan, peneliti dan para penulis sejarah harus lebih bebas dan terbuka untuk mendedikasikan ilmunya dalam konteks Nusantara yang luas dan beraneka ragam ini. Hal ini akan memungkinkan pembentukan karakter generasi bangsa yang dibangun di atas keberagaman karena ia mengetahui sejarah dari semua wilayah dalam kesatuan Nusantara. Itu berarti substansi sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah menjadi semakin luas dan kaya.

Penelusuran dan penulisan sejarah untuk generasi "zaman now" tidak lagi hanya bertujuan untuk menciptakan semangat nasionalisme semata tetapi lebih dari itu untuk membangun lapisan kesadaran akan kemajemukan bangsa. Hal ini penting agar generasi penerus bangsa ini tidak mudah terperosok ke dalam sikap sofinisme dan radikalisme budaya serta agama. Dengan itu, setiap wilayah yang tersebar di kepulauan Nusantara ini akan merasa memiliki andil dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya memajukan bangsa.

Keberanian para arkeolog, peneliti, ilmuwan untuk menembus Lambanapu, Sumba Timur yang masih terpencil dan terisolasi patut diacungi jempol. Kehadiran mereka sungguh membuka mata masyarakat serta Pemerintah Daerah Sumba Timur guna mengelola aset daerahnya secara tepat demi kemajuan.

Selain itu diharapkan agar generasi bangsa umumnya dan Sumba Timur khususnya, bisa terbagun dari tidur panjangnya untuk mulai mengendus jejak peradaban nenek moyang di masa lampau. Kemudian, menuliskan atau mendokumentasikannya secara obyektif, jujur, dan terbuka. Sehingga akhirnya, bisa dikonsumsi oleh publik luas dan berdaya guna dalam pembentukan karakter generasi penerus bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun