Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencermati Puisi "Di Kolong Meja" Karya Setia Novanto

16 April 2018   06:51 Diperbarui: 16 April 2018   08:55 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Semuanya jelas sebagai bagian dari lakon pembantu yang sering pura-pura tak tahu. Di sini ia seakan lupa atau pura-pura tidak cerdasbahwa hukum berkaitan dengan fakta, bukti dan bukan berdasarkan setingan angan, khayalan, ilusi produksi imajinasi belaka. Hukum tetap dan harus mengedepankan kebenaran, kejujuran serta keadilan.  

Tuntutan serta dakwaan sudah disampaikan dan semuanya berdasarkan bukti bukan hasil setingan. Nota pembelaan atau pleidoi pun disampaikan. Itu jelas sebagai bagian dari asas hukum yang menjunjung keadilan serta hak asasi manusia. Ada kesan melemparkan kesalahan dan bukan mempertanggungawabkan perbuatan salah.

Beliau, melihat KPK sebagai lantai yang mulus tanpa cela,  yang terjal bergelombang siap menganga mengahadang segala cita-cita. Ia membela dirinya dengan cara menuduh KPK sebagai peng-hadang dalam menggapai semua cita-citanya. Sepertinya ia juga menganggap KPK melaksanakan tugasnya secara sewenang-wenang. Ini nyata dalam ungkapan menerkam tanpa bertanya.Karena, sesungguhnya ada berbagai sosok yang sepatutnya jadi sasaran.

Jika mencermati dua bait terakhir puisinya, sepertinya ia mengakui kesalahannya sebagai orang yang memang sudah mencuri uang negara. Dan ia melakukanya tidak sendirian tetapi secara berjamaah. Sudah pasti ia mengetahui siapa orang-orang yang telah turut menikmati anugerah laknat itu.

Dan ketika telah terbukti, mereka semua pergi dan membiarkan SN terpekur dalam ketidakberdayaan. Menangis dan meratapi nasibnya sendirian. Ia kesal, kecewa dan sakit hati. Sampai ia tak segan mencap mereka sebagai mental banci, berlumur keringat ketakutan dan sesekali terbahak melihat teman sebagai korban menjadi tontonan.

SN sukses menjadi seorang penyair dengan puisinya yang sarat makna. Tetapi, tidak sukses menjadi "justice collaborator". Alasannya, ia hanya pandai bermain teater, drama, sandiwara dan tidak mampu bersikap "cooperative" dengan aparat penegak hukum.

Puisinya berjudul Di Kolong Meja tidak lebih sebagai ungkapan pengakuannya atas semua perbuatan yang telah dilakukan bersama rekan-rekannya, entah siapa. Butuh proses panjang guna menyingkapkan rahasia yang masih tersembunyi. Tetapi mereka sebagaimana yang dikatakan berlumur keringat ketakutan jika bobroknya terkuak. Dan tentu saja mereka sedang tertawa terbahak-bahak menyaksikan kehancuran seorang teman.

Mungkinkah SN lupa kalau dalam politik tidak ada teman sejati dan tidak ada musuh abadi? Entahlah. Semuanya ada dalam hati nuraninya. Namun yang jelas dan pasti adalah hukum tidak mengenal kata teman atau pun musuh. Sebab, nafas hukum adalah kebenaran, kejujuran dan keadilan yang berlaku sama untuk semua orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun