Saat ini peserta didik di seluruh penjuru negeri ini sedang menghitung hari  guna mengikuti Ujian Nasional (UN) 2018. UN di sini dilihat  sebagai perangkat penilaian atau evaluasi untuk menguji kemampuan peserta didik.
Sekolah atau lembaga pendidikan umumnya mengetahui betapa pentingnya evaluasi atau penilaian terhadap peserta didik. Sehubungan dengan itu ada tiga komponen utama yang harus dievaluasi atau dinilai dalam pembelajaran, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif).
Penilaian ini tidak hanya mementingkan aspek kognitif lalu mengabaikan aspek psikomotor dan afektif . Rana penilaian ini merupakan satu kesatuan. Jika salah satu komponen penilaian itu tidak memenuhi target atau standar yang telah ditentukan maka sekolah harus berani memutuskan untuk tidak meluluskan siswanya.
Jika mengacu pada prinsip penilaian ini, sesungguhnya kelulusan siswa tidak bisa ditentukan oleh UN saja, dalam mana UN hanya mengutamakan aspek kognitif dan menafikan aspek psikomotor dan afektif.
Mempertimbangkan hal ini dan juga aspek lainnya, pemerintah melalui Kemendibud telah memutuskan bahwa UN bukan lagi menjadi standar penentu kelulusan siswa.
Semenjak UN bukan penentu kelulusan siswa, UN tidak lagi dilihat sebagai momok yang menakutkan. Standar kelulusan peserta didik ditentukan oleh pihak sekolah. Hal ini menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi banyak pihak yang paham tentang pendidikan.
Meski demikian, pemerintah tetap bersikukuh UN harus tetap dilaksanakan karena masih dianggap penting. Katanya, UN menjadi salah satu alat ukur untuk menilai prestasi tidaknya sebuah lembaga pendidikan, sehingga dengannya pemerintah bisa melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional.
Tahun-tahun berlalu. UN terus dijalankan. Mayoritas sekolah mengambil sikap meluluskan anak didiknya. Orangtua/wali senang dan peserta didik berjingkrak, bersorak riang.
Memang masih ada sekolah-sekolah tertentu yang tetap taat asas artinya tidak hanya sekedar meluluskan peserta didiknya, tetapi tetap mengacu pada tiga komponen penilaian sebagaimana disebut di atas.
Ada juga sekolah yang "malu-malu" meluluskan siswanya. Dan ada juga yang tidak meluluskan siswanya untuk sekedar pencitraan, biar sekolahnya masih di bilang sebagai sekolah yang bermutu dan sejenisnya.
Sebagai pendidik, sejujurnya saya bergumul dalam tanya yang tiada henti. Sejauh mana efek dari UN untuk tujuan pemetaan yang dimaksud pemerintah? Sebab, kenyataan di lapangan menunjukkan tidak ada efek signifikan setelah dilaksanakannya UN untuk tujuan pemetaan itu.