Aku tak mengerti mengapa kita harus berjumpa. Mungkin ini sebagai konsekwensi dari adaku yang selalu dimengerti sebagai ada bersama orang lain, esse est cooesse. Orang lain itu tentu banyak. Namun mengapa harus engkau yang kujumpai? Suatu perjumpaan yang menyimpan rindu dan gelora asmara dalam dada. Â
Aku sadar bahwa aku adalah pribadi yang otonom. Berdiri dengan kekuatan sendiri meski sadar aku tak pernah sendiri. Diriku yang riil tak pernah lepas dari persoalan. Berjuang hadapi sendiri tetapi ketakberdayaan menjemputku hingga aku harus menjerit, berteriak dan pecahlah kesunyian hatiku.
Aku tetaplah aku dengan segala yang ada padaku, hingga kusimpulkan aku bukan engkau dan bukan pula dia.
Aku tak dapat mengingkari diri dari pengalaman perjumpaanku dengan pribadi yang kusebut engkau. Engkau ternyata lain dari yang lain yang kutemui. Engkau menebarkan pesona sampai aku terpesona.
Aku masih tetap sadar bahwa aku bukan orang yang mudah engkau kalahkan. Aku tahu, aku juga mempunyai daya pikat sehingga engkau mengungkapkan nada hatimu padaku, dan kusambut itu dengan ketulusan dan sucinya hatiku.
Awalnya memang aku masih belum mengerti apa yang ada diantara kita. Aku mencoba menelusurinya lebih jauh. Aku menemukan rasa yang teramat sulit untuk kuungkapkan. Rasa itu melekat erat dalam diriku. Aku berpikir dan merasa bahwa kita tidak boleh berpisah.
Namun, kenyataan berbicara lain. Engkau dan aku memiliki perbedaan yang tak mungkin disatukan.
Kadang aku berpikir mungkin perbedaanlah yang membuat kita saling memikat. Terbersit tanya dalam benak: dapatkah kita satu dalam keanekaan? Ataukah keanekaan ini memaksakan kita untuk berpisah?
Serentetan pertanyaan berkecamuk menggerogoti alam pikiranku, membuat aku sulit untuk mengambil keputusan. Aku terus bergulat dengan pikiranku sendiri antara menolak atau meneruskan cinta yang tengah bersemi dalam hati.
Pada suatu kesempatan pernah kuputuskan untuk meninggalkannya dan aku pun mencoba untuk melepaskan diri dari keterikatan batinku padanya. Aku sadar bahwa keputusanku adalah sebuah keterpaksaan. Dan, itu hanya bisa disebut sebagai kekeliruan karena aku tidak ingin disalahkan.
Semuanya karena didominasi oleh rasa religiositas pribadi yang didukung oleh suara lingkungan tempat aku berpijak. Aku takut dinilai dosa meski nuraniku berbisik bahwa itu bukan kesalahan. Aku tak tahu harus bagaimana lagi selain aku mengambil keputusan untuk meninggalkannya walau jiwaku bergulat sesak.