Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Budaya sebagai Penyebab Kemiskinan di NTT

22 Mei 2017   08:12 Diperbarui: 23 Mei 2017   11:40 6492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam konteks ini pemerintah dan agama sebagai institusi sejatinya menunjukkan perannya dalam mengedukasi masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat memang terus digalakan oleh pemerintah maupun agama. Ada kesuksesan namun lebih banyak kegagalan yang didapatkan.

Penyebabnya adalah pejabat dalam lingkup pemerintahan mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota malah ikut terjebak dalam praktek kebudayaan yang sifatnya menghamburkan atau menghabiskan. Belum lagi karater pejabat yang lebih banyak berperan untuk mengisi kantung sendiri ketimbang mengembangkan sumber daya manusia. Memang praktek korupsi di setiap institusi pemerintah masih menjadi persoalan serius yang membutuhkan integritas diri yang tinggi dari para penegak hukum untuk mengatasinya.

Di sisi lain, lembaga agama memang selalu menunjukkan perannya. Namun peran umumnya hanya sebatas mimbar tetapi minim aksi nyata. Ini disebabkan kerena agama lebih dimengerti sebagai urusan akhirat dan bukannya berkaitan dengan kehidupan duniawi.

Paradigma hidup beragama yang demikian melanggengkan kemiskinan yang ada. Padahal idealnya, agama semestinya menghantar manusia untuk semakin dekat dengan Yang Ilahi. Dan, hal ini harus mewujud dalam kehidupan manusia yang makmur sejahtera. Dengan melihat kenyataan ini maka keberadaan pemerintah maupun agama seakan hanya memperkuat struktur kebudayaan yang ada, sehingga kemiskinan tetap menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Menakar Tindakan Konkret

Pemerintah dan lembaga agama sejatinya menjadi penggerak utama dalam membangun lapisan epistemis masyarakat akan hakekat kebudayaan. Bahwasannya, kebudayaan itu selaras zaman.

Kebudayaan selaras zaman artinya kebudayaan itu menyesuaikan diri dengan tuntutan budaya modern. Salah satu cirikhas budaya modern yakni perhatian khusus pada pengembangan ekonomi.

Hal positif dari budaya modern inilah yang mestinya disosialisasikan kepada masyarakat. Dengan suatu harapan agar masyarakat bisa menerapkannya sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan itu. Hal tersebut perlu terus  dikembangkan di tengah ketat dan kuatnya kebudayaan daerah yang membelenggu masyarakat NTT secara ekonomi.

Harus tetap disadari bahwa tidak semua nilai kebudayaan daerah bisa menghambat kemajuan perekonomian. Namun nilai-nilai kebudayaan daerah yang sudah tidak selaras zaman sudah seharusnya ditinggalkan. Upaya mengubah karakter masyarakat yang sudah membudaya ini tentu bukanlah hal yang mudah.

Karena itu, pendekatan pemerintah dan agama sebagai institusi terhadap tokoh-tokoh adat harus digalahkan secara kontinu. Pemerintah maupun lembaga agama tidak boleh bertindak sebagai penonton dengan membiarkan masyarakat menentukan sendiri kehidupannya, tidak hanya merancang program pemberdayaan sekedar menghabiskan anggaran. Atau celakanya, enggan menggunakan dana yang ada karena takut terjebak dalam praktek korupsi.  Tetapi lebih dari itu, pemerintah dan lembaga agama mesti menjadi contoh yang bisa ditiru melalui pengembangan kewirausahaan yang mandiri dan berkelanjutan bagi masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun