Pondok Pesantren
Tak banyak orang mengenal Pondok Pesantren, bahkan tak banyak pula orang tua yang ingin membawa anaknya kesana. Mereka lebih memilih mendidik anak-anaknya di sekolah. Namun, siapa sangka? Pondok Pesantren melahirkan kafilah-kafilah berkualitas dan berilmu yang mampu membawanya menjadi pendakwah (ustad/ustadzah).
Sabtu (02/12) saya dan 19 kompasianer lainnya menyaksikan kehebatan yang dimiliki oleh kafilah-kafilah Pondok Pesantren di 34 propinsi. Jawa, Bali, Papua, Nusa Tenggara  turut mengikuti acara Musabaqah Qiraatil Kutub, MQK singkatnya. Perhelatan akbar ini berlangsung pada tanggal 27 November hingga 07 Desember. Acara ini diadakan setiap tiga tahun sekali di wilayah yang berbeda. Tahun ini, Jawa Tengah menjadi "tuan rumahnya"yaitu di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin, Jepara, Jawa Tengah.
Humas Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Muhtadin menjelaskan ada beberapa tiga macam perlombaan yang dilaksanakan dalam MQK 2017. Pertama,lomba membaca, menerjemahkan, dan memahami kitab kuning. Kedua, lomba debat konstitusi berbasis kitab kuning dengan menggunakan Bahasa Arab dan Inggris. Ketiga, eksibisi yaitu pertunjukkan atraktif tentang nazham kitab populer di pondok pesantren yang diisi oleh Tim (maksimal 5 orang) dari setiap kafilah. Nazham yang akan ditampilkan antara lain dari kitab  Alfiyah Ibn Malik (kitab berisi 1000 bait syair tentang ilmu gramatika Bahasa Arab). Â
Tingkatan MQK
Lebih lanjut, Muhtadin sampaikan ada berbagai tingkatan dalam MQK 2017. Pertama, Marhalah Ula (tingkat dasar) yang diikuti oleh kafilah dengan maksimal usia 14 tahun 11 bulan. Kedua, Marhalah Wustha (tingkat menengah) yang diikuti oleh kafilah dengan maksimal usia 17 tahun 11 bulan. Ketiga, Marhalah Ulya (tingkat tinggi) yang diikuti oleh kafilah dengan maksimal usia 20 tahun 11 bulan.
Bidang perlombaan diantaranya adalah Fiqh, Nahwu (gramatika bahasa arab), Akhlak, Tarikh (sejarah) , Tafsir, Hadis, Ushul Fiqh, Balaghah, dan Tauhid. Ada 2.466 santri yang mengikuti MQK Tingkat Nasional ke VI Tahun 2017.
Subhanallah, kali pertama saya melihat kafilah-kafilah di Indonesia berlomba dengan hebatnya membaca kitab kuning . "saya membacanya saja masih terbata-bata". Tak mudah membaca kitab kuning karena ada caranya tersendiri.