Mohon tunggu...
Yasindy Risma Hani
Yasindy Risma Hani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Yuk kita saling sharing informasi agar semakin luas wawasan kita. Ambil Positifnya, Buang Negatifnya.

Selanjutnya

Tutup

Love

Pacaran Toxic? Antara Cinta dan Luka, Manakah yang Harus Dipilih?

19 Agustus 2021   16:22 Diperbarui: 14 April 2022   16:39 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pacaran toxic menurut perspektif aku yaitu sebuah hubungan pacaran yang tidak saling menguntungkan bahkan cenderung lebih merugikan. Dalam artikel ini aku tidak membela dari pihak laki-laki maupun perempuan, aku akan mencoba netral dalam melihat pandangan pacaran toxic secara umum. Yuk mari kita bedah dari awal..

Banyak orang bilang, “dalam hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan tuh gak bisa dibilang 100% teman”. Aku setuju dengan perkataan itu, karena menurut aku itu logis. Kita bisa melihat contoh yang sering terjadi di sekeliling kita, dimana kita pasti memiliki teman yang seperti ini kan? Atau mungkin kita sendiri yang pernah merasakannya?

Nah, memang sih hal kayak gini yang paling susah buat dihindari. Karena disatu sisi jika kita perempuan kita juga butuh teman laki-laki, begitupula sebaliknya. Umumnya perempuan itu paling suka bercerita, dan biasanya perempuan itu lebih sering curhat ke teman perempuannya. Namun, banyak juga perempuan yang suka bercerita ke teman laki-laki. Karena biasanya laki-laki itu suka memberikan pendapat yang logis atau rasional, dan juga kita diajak untuk melihat dari sudut pandang laki-laki.

Selain itu, bagi sebagian perempuan ketika bercerita ke teman laki-laki bisa memunculkan rasa nyaman dan juga jauh lebih memahami isi hati. Pasti ada yang setuju kan dengan pendapat aku? Iya ini memang sering terjadi sih di antara hubungan pertemanan antara perempuan dan laki-laki. Seiring berjalannya waktu yang tadinya hanya sekedar curhat biasa, lama-lama mulai muncul benih-benih cinta di antara hubungan pertemanan tersebut. 

Jika kedua pihak merasakan hal yang sama dan setuju untuk menjalin hubungan yang lebih maka akan berlanjut dengan pacaran. Namun, jika hanya salah satu pihak saja yang merasakannya hubungan tersebut biasanya disebut dengan Friendzone. Untuk lebih lanjutnya nanti akan aku bahas “Friendzone” di artikel selanjutnya ya..

Kita lanjut ke topik utama yaitu Pacaran Toxic atau biasanya orang lebih mengenal dengan sebutan Toxic Relationship, saat ini hampir seluruh kalangan muda sudah mengenal apa itu Pacaran Toxic. Mungkin disini belum ada yang mengetahuinya? Toxic relationship seperti namanya yaitu suatu hubungan yang toxic, toxic dalam ilmu medis biasa disebut racun. 

Sama halnya dengan pacaran toxic yang memiliki hubungan yang tidak sehat dan lebih cenderung menyakiti baik fisik maupun mental. Banyak kasus terjadi khususnya pada kalangan muda yang merasakan pacaran toxic. 

Biasanya hal yang paling sering terjadi dalam pacaran toxic yaitu salah satu diantara pasangan ada yang memiliki sikap posesif. Posesif ini sangat berbeda ya dengan protektif, bedanya apa ya? Protektif itu mempunyai tujuan untuk melindungi pasangannya dari suatu hal yang menurut dia itu kurang baik, dan sikap yang ditunjukkan oleh pasangan juga baik.

Sedangkan posesif itu sebenarnya juga memiliki tujuan yang sama, namun biasanya pasangan lebih menunjukkan sikap yang egois dan kasar. Hal ini memang benar adanya, bahkan sampai pernah dibuat film dengan judul “Posesif”. Bagi kalian yang pernah menonton film ini pastinya sudah sangat jelas mengetahui bahwa kedua tokoh utama menjalin pacaran toxic. 

Mungkin diawal kedekatan berjalan dengan harmonis, sampai ketika sudah menjalin hubungan yang lebih mulai deh kelihatan aslinya bagaimana. Bagi sebagian orang pasti tidak menyukai ketika pasangan kita dekat dengan orang lain, hal ini memunculkan kecemburuan pada diri kita. Tapi dalam sebuah hubungan cemburu itu sangatlah wajar, tergantung bagaimana kita menyikapinya. 

Seperti film “Posesif” ini terdapat beberapa adegan kekerasan pada pasangannya, hanya karena cemburu melihat kedekatan dengan sahabatnya sendiri. Ini nih salah satu contoh toxic dalam pacaran, kadang aku mikir aja sih “kenapa gitu harus sampai cemburu berlebihan?” Padahal sudah jelas kita telah memilih pasangan kita dengan menjalin hubungan yang lebih. Seharusnya dalam menjalani hubungan itu harus saling percaya, bukan malah sedikit-sedikit emosional.

Banyak orang yang merasa tertipu bahkan kecewa dengan sikap pasangannya, yang awalnya baik, manis, romantis diawal ternyata semua itu hanya palsu (fake). Tidak hanya sikap posesif saja yang identik dengan pacaran toxic, namun kekerasan kepada pasangan juga marak terjadi. Khususnya perempuan yang paling sering menjadi korbannya. 

toxic-relationship-photo-google-6257ebaebb448659d4241e13.jpg
toxic-relationship-photo-google-6257ebaebb448659d4241e13.jpg
Aku pun gak habis pikir ya, mengapa orang yang menjalani hubungan baru pacaran saja tapi sudah berani melakukan kekerasan terhadap pasangannya, hal ini sama sekali tidak worth it untuk dilakukan. Untuk laki-laki harusnya bisa menjaga serta melindungi perempuan yang telah ia pilih, bukan untuk disakiti ketika perempuannya tidak bisa memenuhi keinginan atau hasrat si laki-laki ini. Kadang perempuan merasa tidak berdaya ketika pasangannya melakukan kekerasan pada dirinya, dikarenakan alasan masih sayang membuat para perempuan ini tetap menjalani hubungan bersama pasangannya. Rasa tidak tahan dengan hubungan pasti ada, namun kembali lagi hanya karena alasan “cinta” membuat para perempuan selalu mempertahankan hubungan yang toxic. Ya begitulah hakikat perempuan yang selalu menggunakan perasaannya dibandingkan logikanya.  

Semua relationship pastinya memiliki harapan yang ingin diwujudkan oleh pasangannya. Harapan merupakan aktivitas berpikir yang melibatkan pembulatan tekad dan penyusunan langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Harapan mempunyai dua faktor yang menyebabkan orang masih mempunyai harapan yaitu kebulatan tekad seperti masih ingin mempertahankan hubungannya walaupun sudah mengetahui bahwa pasangannya toxic. Kemudian faktor selanjutnya pathways thinking yaitu orang yang mengalami toxic relationship bagi dirinya masih mempunyai harapan untuk mengubah pasangan kearah yang lebih baik dan tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkan kembali. Nah hal inilah yang seringkali membuat dilema, antara tetap bertahan ataukah harus mengakhiri hubungan?

Mungkin kita bisa bertanya kembali ke diri kita sendiri, apakah kita masih membutuhkan pasangan yang seperti itu? Apakah kita sanggup untuk terus menerus menjalani hubungan yang toxic? 

Jika kita sanggup, sampai berapa lama kita sanggup menjalaninya? Tidak salah untuk menanyakan diri kita sendiri, karena sesungguhnya yang peduli dengan kita adalah diri kita sendiri. Banyak orang yang bilang “cintai diri sendiri, baru mencintai orang lain”, ada juga yang bilang “cintai diri sendiri, maka orang lain akan mencintaimu”. Kata-kata ini tidak salah namun disini kata kuncinya adalah “cintai diri sendiri”, karena mencintai diri sendiri akan memancarkan aura yang positif dan orang lain pun bisa melihat itu tanpa kita membuktikan cinta kita ke orang tersebut.

Disaat pacaran toxic sudah semakin parah, kita harus melihat diri kita sendiri. Apakah diri kita masih memiliki harga diri? Harga diri itu apa sih? Harga diri merupakan hasil evaluasi yang dilakukan dan dipelihara oleh individu, evaluasi tersebut bersumber dari interaksi antara individu dengan lingkungan, penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain. 

Terkadang manusia suka lupa ketika mencintai seseorang dia melupakan harga dirinya. Padahal harga diri itu sangat penting dalam hidup kita, tanpa harga diri kita bisa dengan mudah di injak-injak oleh orang lain. Nah dalam pacaran toxic sudah sangat jelas bahwa sikap-sikap pasangan kita lebih cenderung menyakiti dan kasar terhadap kita. 

Dari sinilah kita bisa mengevaluasi bagaimana jika hubungan ini harus dilanjutkan? Maka akan ada kemungkinan bahwa pasangan bisa melakukan hal yang lebih besar lagi, karena hal besar bisa terjadi dari hal-hal kecil yang seringkali diabaikan ataupun diterima. Tanyakan harga diri kita pada diri sendiri, karena itu akan menguatkan kita secara otomatis. Dan disaat diri kita kuat maka akan muncul sikap yang tegar dan bijak dalam mengambil keputusan.

Nah, pada kali ini aku cuma mau kasih sedikit motivasi untuk para perempuan yang sedang merasakan pacaran toxic. Kita harus bisa move dari suatu hal yang menyakiti, baik secara fisik maupun mental. Tinggalkan saja jika sudah tidak kuat menjalani hubungan, jangan bertahan hanya karena alasan masih cinta, masih sayang. Jika memang benar cinta dan sayang, seharusnya tidak perlu ada kekerasan fisik atau ucapan yang kasar keluar dari mulut pasangan kita. Bersikap sewajarnya saja dalam menghadapi apapun yang telah dijalani bersama, ingatlah bahwa hubungan ini hanya baru ditahap pacaran saja. Pacaran itu belum tentu menentukan kita akan melangkah ke jenjang yang lebih serius, namun dalam pacaran justru saatnya kita untuk lebih mengenal pasangan semakin dalam lagi.

Seperti judul buku R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menggambarkan banyak perjuangan dan cerita dari seorang pemikiran wanita. Judul buku tersebut sangat benar jika dipikir secara logika, dimana suatu tempat atau suatu kondisi yang gelap pasti nanti akan muncul terang. Sama seperti ibarat “mendung tak berarti hujan”, ya memang kondisi sedang mendung namun dengan munculnya mendung tersebut untuk menutupi panas yang berlebihan. 

Kita sebagai perempuan harus bisa melihat sudut pandang yang berbeda, dan yakinkan diri kita bahwa perempuan zaman sekarang tidak mudah rapuh dalam masalah apapun terutama masalah percintaan. Cinta memang penting untuk hidup kita, namun harga diri kita sendiri itu jauh lebih penting dari segalanya. Bukan maksud aku untuk membuat perempuan meninggikan harga dirinya dan sok jual mahal, namun lebih baik kita mencintai diri sendiri dengan selalu mengutamakan harga diri yang kita miliki.

Hidup bahagia adalah dambaan setiap orang, dan banyak faktor untuk mencapai tujuan tersebut dapat menciptakan kebahagiaan dalam hidup manusia. Kebahagiaan merupakan penilaian seseorang terhadap kualitas hidup yang ditandai dengan emosi yang menyenangkan dan kepuasan terhadap hidup. Faktor-faktor kebahagiaan bisa berupa materi yang kita punya, kesehatan yang kita miliki, dan kekuatan fisik maupun mental. Harga diri akan membuat orang menjadi paham tentang dirinya. Harapan membuat orang mengerti tujuan hidupnya. Kebahagiaan membuat orang menjadi tahu makna hidupnya. Jadi ciptakanlah kebahagiaan dirimu sendiri berdasarkan apa yang kamu inginkan tanpa sedikitpun merugikan dirimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun