Sore itu Abdul iseng sekedar jalan-jalan sore. Menikmati suasana desa dan kenangan-kenangan masa kecilnya. Maklum, Abdul sejak lahir sampai SMP memang hidup di desa. Karena itu dia ingat betul tentang seisi desa lengkap dengan aktivitasnya. Ingat sedetai-detailnya. Selepas lulus sekolah menengah, Ayahnya membawa dirinya merantau ke kota dan melanjutkan sekolah disana.
        Hari itu dia pergi ke pasar. Berharap ada sesuau yang bisa dibeli. Sekilas tidak ada yang banyak berbeda dengan kondisi pasar semenjak Abdul pindah. Jalanan yang berbalut bebatuan padas kuning. Yang jika musim hujan bagai bubur yang sangat menggoda. Toko koran Haji Ali yang sangat iconik. Di depan toko itu terpajang berbagai macam percetakan yang populer. Kompas, Suara Rakjat, Berita Minggu, Jawa Pos, dan masih banyak lagi. Dulu orang-orang rela mengantri hanya untuk mendapatkan berita terbaru dari koran. Para ibu yang setiap pagi berbelanja kebutuhan dapur mereka pun tidak luput melangkahkan kakinya untuk mengambil sebiji koran itu. "Atas nama Jubaidah, satu koran Suara Rakjat". Kata yang biasa diucapkan ketika mereka datang. Tentu Haji Ali tahu maksud perkataan itu. Dia akan cepat-cepat mengambil buku catatan dan melihat daftar nama yang tertera disana. Daftar nama yang disusun sesuai dengan abjad. Memudahkan Haji Ali untuk mencatat setiap pembelian. Luar biasa. Ditariknya ujung bulpen yang dia gunakan dari huruf J kemudian sampai pada huruf kedua U. "Yaa, Jubaidah hutang hari ke duapuluh". Dicentangnya kolom tanggal itu dengan begitu puas dan semangat. Iya. Hutang.
        Setiap berita yang didapatkan pasti akan mencuat di kalangan para ibu di pagi hari. Selepas menyiapkan sarapan, mereka akan berkumpul di depan salah satu rumah, membicarakan berita terkini yang didapatkan dari toko koran itu. Bak anggota pakar DPR mereka mendiskusikan isu terkini hingga rancangan solusi masalah. Menganalisis setiap topik kenegaraan bagai pengamat pemerintahan. Tentu itu hanya omong kosong belaka. Tanpa realita.
        Abdul melihat sesuatu yang aneh. Toko buku ceria. Toko yang tidak begitu besar diapit oleh toko bangunan dan kertas di kedua sisinya. Di depannya tertanam pohon belimbing yang rindang. Tidak pernah sekalipun dia menjumpai toko buku dikampung ini sejak kecil. Sekilas dia mengingat ada sesuatu yang ganjal. Iya. Toko buku itu dulunya adalah toko jamu herbal milik Oh Kong. Toko rujukan para penyandang sakit di zamannya. Resepnya asli turun temurun dari keluarga. Resep jamu herbal Tionghoa. Sangat mujarab sekali. Tapi kenapa toko yang masyhur itu sekarang hilang?. Apakah orang-orang sudah tidak mengenal keajaiban ramuan Oh Kong?. Mustahil sekali ramuan itu mati tertelan toko buku yang murah ini?!. Abdul mendekati toko buku itu. Dipandanginya setiap sudut bangunan toko. Masih sama. Tidak ada yang berbeda dengan bangunan ini. Kecuali hanya plakat nama yang sudah diganti. "Toko Obat Herbal Oh Kong. Ramuan Ajaib Khas Tionghoa" menjadi "Toko Buku Ceria". Nama yang cukup singkat sekali.
"Heii, Silahkan mau beli buku apa?". Teriak seorang perempuan dan bertanya pada Abdul. Suara itu memecah lamunannya yang keheranan.
"Aaa...anu. Mau cari buku dulu. Ada buku apa?". Jawab Abdul yang kemudian menoleh ke perempuan itu.
" Oh, orang baru dari Jakarta itu ya sampeyan. Yang jadi pengibar bendera upacara kemarin?". Perempuan itu mengenali wajah Abdul.
"Iya. Sudah lama sih sebenarnya cuma...."
"Disini semua buku ada, buku hitung, huruf eja, pelajaran, cerita anak, cerpen, novel, kisah, dongeng, motivasi, semua ada. Mau yang mana?". Perkataan itu memotong jawaban Abdul yang belum selesai menjawab. Cukup cuek.
"Hmm, buku hitung dan mengeja ini aja. Cocok untuk adikku. tiga biji ya". Abdul menunjuk tumpukan buku menghitung di atas rak.
"Ohh punya Adek sampeyan". Jawab perempuan itu.