Belum pupus ingatan kita akan 'kekhilafan' berbagai lembaga survei pada pilkada Jakarta yang mengklaim kemenangan Foke-Nara meraih kursi DKI 1. Sebagaimana yang kita mafhum, hasil akhirnya terbukti Jokowi-Ahok lah pemenangnya.
Perhelatan pemilu 2014 ini kembali menampar mayoritas lembaga survei. Lubang yang sama mereka—lembaga survei—masuki lagi. 'Lubang' kasat mata ini ialah saat mereka memastikan bahwa partai-partai Islam akan menjadi penghias sejarah; dengan PKS dan PBB yang akan terlempar dari panggung politik. Nyatanya, raupan suara partai Islam meningkat lebih dari 30 persen pada pemilu kali ini.
Suguhan pepesan kosong lagi-lagi tersaji.
Fenomena ini mirip dengan kebijakan redaksional dan iklan di media mainstream. Demi iklan dari klien, maka pemberitaan diarahkan kepada hal-hal yang baik—sedapat mungkin menyingkirkan bad news sang klien. Editorial berisikan pesanan sponsor. Kita nyaris tak dapat membedakan antara fakta dan ilusi redaksi.
Ya, lembaga survei kini menjadi mesin pembentuk opini publik—bukan lagi potret sesungguhnya realita publik. Prof Mahfud MD mengingatkan bahwa kini banyak penyurvei dan lembaga survei yang tidak bekerja pada prinsip objektivitas-ilmiah, tapi bekerja sesuai pesanan. Mereka menukangi rencana dan hasil survei agar sesuai keinginannya sendiri atau pesanan klien sehingga lebih tepat disebut sebagai tukang survei. (Baca juga: Tukang Survei).
Di balik kepala mereka—lembaga dan klien survei—masih meyakini bahwa suara publik biasanya dapat dimobilisir mengikuti “sang pemenang”. Ciri masyarakat kerumunan yang lebih berpihak kepada yang banyak. Muaranya, kemenangan bisa dibeli dengan gelontoran rupiah.
Kadang berhasil—tak jarang gagal, kini.
Ya, saya tak berharap kejadian serupa hinggap di lembaga survei. Demi menyenangkan (dan memenangkan) klien maka lembaga survei—yang merangkap konsultan politik—bermain-main dengan metodologi dan statistik. Hasil survei bisa dipesan sesuai kepentingan klien. Selanjutnya diblow-up di media (bayaran) dan berharap masyarakat turut merayakan kebohongan itu. Kalau pun gagal, dalih waktu dan margin error bisa menjadi pembela. Tapi, bila demikian, buat apa survei?
Kejayaan lembaga survei yang dirintis sejak tahun 2004 terlalu mudah untuk berakhir antiklimaks.
Saya percaya bahwa lembaga survei akan kembali mengharum bila mampu melakukan evaluasi dan otokritik. Mampu menarik garis lurus antara intelektualitas dan profesionalitas. Artinya, ada pinalti bagi yang melacurkan hasil survei demi kepentingan klien. Bisa berupa pencabutan ijin atau dilarang merilis surveinya dalam waktu tertentu. Pelaksananya bisa berbentuk lembaga internal atau pengawas otonom. Upaya revitalisasi yang bisa diampu oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) pimpinan siapa lagi kalau bukan Denny JA.
Terakhir, saya ingin mengutip survei yang dilakukan sesepuh ILK, Cak Lontong. "Menurut survei, 100% musik Indonesia itu penciptanya adalah orang asing, mau lagu Dewa, Slank, Rhoma Irama, Agnes Monica dll itu penciptanya adalah orang asing... Lho kok aneh hasil surveinya cak? Saya waktu itu melakukan surveinya di Amerika!"
Salam lempar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H