Mohon tunggu...
Yarnis Sikumbang
Yarnis Sikumbang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Political Communication Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ownership Media oleh Elite Politik: Melanggar Fungsi Perspektif Media?

9 November 2024   09:40 Diperbarui: 9 November 2024   09:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ownership Media berkaitan dengan sudut pandang ekonomi politik. Kepemilikan media sebenarnya memiliki makna penting dalam rangka meninjau ulang peran, ideologi, konten media dan efek yang timbul oleh media kepada masyarakat. Oleh karena itu pernyataan yang muncul seperti perbedaan kepemilikan media penyiaran juga berarti terdapat perbedaan pada konten media atau perbedaan pemilik media memberikan implikasi yang berbeda kepada masyarakat menjadi saling berhubungan dalam rangka kepemilikan media.

Pemilik media massa dalam hal ini perusahaan penyiaran merupakan tokoh-tokoh besar. Banyak dari mereka adalah pengusaha, orang-orang yang merupakan bagian dari elite pemerintahan serta elite politik. Beberapa pengusaha juga melebarkan power-nya dengan mengikuti dan terjun pada dinamika politik di Indonesia. Disamping sebagai ladang bisnis, para elite tersebut juga menggunakan Perusahaan penyiaran yang mereka miliki untuk bisa menyiarkan citra dan berbagai hal mengenai partai politik wadah mereka bernaung. Upaya penayangan di televisi oleh masing-masing partai bertujuan untuk meningkatkan elektabilitas dari partainya. Elektabilitas partai atau tokoh politik yang tinggi berpengaruh pada capaian perolehan suara yang tinggi saat pemilihan umum. Promosi dari partai politik diselipkan melalui tayangan-tayangan iklan pada jeda program utama. Disisi lain mereka masih tetap menayangkan informasi dari partai politik lain penayangan tersebut dikemas dalam program berita yang mereka miliki. Namun penayangan tersebut terbatas bahkan ada beberapa channel menayangkan problematika partai yang menjadi lawan politik. Hal ini secara tidak langsung menjadi gambaran praktek monopoli yang dilakukan oleh media massa dalam hal ini televisi dalam hal pemberitaan politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu kepentingan pemilik perusahaan penyiaran tidak lepas dari kepentingan politik.

Perusahaan penyiaran televisi masuk dalam sub sektor ekonomi kreatif (Suparmin et al., 2017). Televisi masih memiliki peran yang besar dalam penyampaian informasi. Kepemilikan barang elektronik televisi sudah menembus ke sebagian besar masyarakat sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mudah memperoleh akses teknologi ini. Pertumbuhan jumlah perusahaan penyiaran televisi pun terus meningkat. Namun pertumbuhan dan potensi tersebut belum sejalan dengan program televisi yang berkualitas. Mayoritas program televisi selain karena mengejar profit juga mengejar rating tinggi sehingga berimplikasi dengan penurunan kualitas program yang ditayangkan. Selain itu menyebabkan konten yang ditayangkan tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Sehingga yang terjadi perusahaan penyiaran televisi menyiarkan berita dan iklan sesuai dengan kepentingan masing-masing perusahaan.  Berada dalam payung sub ekonomi kreatif, sudah seharusnya perusahaan penyiaran televisi menjalankan usaha sesuai dengan aturan yang sudah diberikan termasuk dalam hal penayangan berita dan program-program lainnya.

Tujuh Perspektif Peran Media McQuail

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, hendaknya media massa yang baik dalam hal ini perusahaan penyiaran televisi tidak lepas dari fungsi dan perspektif media. Berdasarkan tujuh peran media milik McQuail, terdapat beberapa poin yang dilupakan oleh perusahaan penyiaran televisi dalam hal ini yang dimiliki oleh elite politik. Poin pertama perspektif media tersebut yakni perusahaan penyiaran televisi hendaknya menjadikan media yang mereka miliki sebagai media informasi yang aktual. Berdasarkan perspektif ini beberapa perusahaan raksasa media sudah menjalankan peran tersebut. Terbukti jika ada peristiwa yang terjadi baik itu yang pada pemerintahan maupun pada kejadian di suatu wilayah tertentu, para raksasa media televisi tersebut sudah memberitakan dengan lengkap sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi dengan jelas. Ini menandakan ketiga perusahaan penyiaran diatas sudah melakukan peran pada poin pertama.

Perspektif selanjutnya yakni media berperan sebagai cermin peristiwa untuk masyarakat dan dunia. Hal ini merefleksikan media televisi menjadi wadah masyarakat melihat secara jelas kejadian dari suatu peristiwa atau fenomena baik yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan saat ini segala hal yang viral dimuat dan dijadikan program tersendiri oleh ketiga perusahaan penyiaran televisi tersebut. Dan isi konten dari program tersebut terbagi atas beberapa kejadian seperti kriminalitas, humor, bahkan kejadian musibah pada suatu wilayah. Kemudian perspektif ketiga yakni penyaring informasi yang disampaikan pada publik. Untuk hal penyaringan ini para perusahaan penyiaran televisi melakukannya sesuai dengan kepentingan masing-masing perusahaan. Contohnya saja mengenai pemberitaan politik. Kadang ada beberapa siaran yang berisi citra baik partai lain tidak diberitakan pada program berita yang dimiliki, bahkan terkadang yang disiarkan citra buruk dari partai lawan seperti kader yang korupsi dan lain-lain yang bertujuan menurunkan elektabilitas partai lawannya. Sehingga untuk poin ketiga mengenai perspektif yang harusnya dijalankan oleh perusahaan penyiaran televisi belum berjalan dengan seharusnya.

Sebagaimana hak dan kewajiban perusahaan penyiaran televisi hendaknya mereka juga menjadi pemandu atau sebagai rambu-rambu untuk pemberitaan ke publik yang merupakan perspektif keempat. Hal ini termasuk pada kode etik penyiaran. Terdapat banyak aturan yang ada pada kode etik penyiaran tersebut. Namun dalam kaitannya dengan penelitian ini hendaknya stasiun televisi memiliki sikap independent dan berimbang. Aturan tersebut belum sempurna dilakukan pada ketiga stasiun televisi yang menjadi studi kasus dalam penelitian. Selain itu seharusnya media televisi tidak mencampurkan fakta dan argument yang menghakimi. Namun yang terjadi saat ini, stasiun televisi terkadang dengan sengaja menggiring opini publik untuk beranggapan negatif pada partai oposisi dengan tujuan memperoleh dukungan untuk partai masing-masing. Dan selain aturan yang disebutkan masih banyak lagi hal yang perlu dirujuk kembali oleh stasiun televisi terkait kode etik penyiaran.

Perspektif kelima adalah hendaknya media televisi menjadi wadah dalam rangka menyiarkan presentase ide. Hal ini sudah dilakukan oleh hampir seluruh stasiun televisi. Karena perspektif ini secara tidak langsung menjadi nilai baik bagi stasiun televisi untuk menerapkannya. Sehingga setiap stasiun televisi berlomba-lomba mengemas program yang berkaitan dengan penyaluran ide dan gagasan demi memperoleh perhatian yang baik dari masyarakat. Perspektif selanjutnya yakni media televisi seharusnya sebagai agen penyebar informasi dan membuat informasi yang tidak tersedia untuk semua orang. Hal ini sudah dilakukan oleh setiap perusahaan penyiaran. Masing-masing perusahaan berlomba-lomba melakukan pembuatan program untuk menyebar informasi yang benar dari berbagai bidang baik itu perihal ekonomi, agama, hobby, dan lain-lain. Sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi baru dari setiap stasiun televisi. Kemudian perspektif terakhir yakni hendaknya media telvisi menjalankan peran sebagai lawan bicara atau mitra informasi. Hal ini bukan menjadi cara penyampaian informasi melalui televisi karena pada dasarnya media televisi menyebarkan info hanya satu arah yakni ke masyarakat tanpa ada reaksi balik secara langsung saat informasi disampaikan.

Simpulan

Kepemilikan perusahaan penyiaran televisi saat ini menimbulkan penyimpangan atas keleluasaan penetapan arah informasi khususnya dalam hal politik. Masing-masing owner yang merupakan elite dari partai politik tertentu menggunakan media televisi yang mereka miliki sebagai alat untuk menyebarkan pengaruhnya ke masyarakat. Hal ini mengakibatkan masyarakat hanya menerima informasi dan promosi dari partai yang sering bermunculan di televisi saja. Kasus yang terjadi  secara tidak langsung sudah melanggar aturan yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengenai Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Hal ini juga bersinggungan dengan diversity of content dan diversity of ownership dari kepemilikan media televisi serta perspektif media massa yang harusnya dijalankan oleh masing-masing media penyiaran dalam hal ini televisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun