Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menemukan Diri yang Otentik

3 Juni 2019   17:12 Diperbarui: 5 Juni 2019   08:18 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Yarifai Mappeaty

Mungkin hanya lima menit - bahkan tak sampai. DR. Mohammad Sabri AR, Anggota Dewan Pakar MN-KAHMI,  berceramah pada salah satu acara buka puasa di Jakarta. Benar-benar singkat karena kumandang azan magrib keburu terdengar saat tiba waktu berbuka.  Tetapi meskipun singkat, ia  tetap tak urung menyisakan "PR". Bagaimana tidak, kalau dalam ceramahnya, ia mengajukan pertanyaan yang mengingatkan kembali siapa kita sesungguhnya. Suatu pertanyaan fundamental yang memang mesti direnungkan lagi dan lagi.

"Siapa diri kita sesungguhnya?" 

Merenungi pertanyaan Sabri - begitu saya memanggilnya - saya berhari-hari merasa berjalan pada lorong yang ujungnya entah dimana. Tak hanya itu, ia juga seolah memaksa saya menyelam lebih dalam. Enggan. Bukan apa, saya hanya bermaksud menghindar dari narasi  seperti sering dinarasikan oleh orang yang seolah-olah paham akan hakekat. Misalnya, kira-kira mau dijawab apa kalau sampai bertemu narasi : siapa disembah - siapa  menyembah? Ini membuat sampai enggan melakukannya.

Tetapi beruntung Sabri memberikan perspektif yang benar-benar bisa membantu. Bahwa, apakah kita adalah diri rohani yang terperangkap pada raga jasmani? Ataukah kita adalah diri yang tampak kasat mata sebagai raga jasmani? Dengan argumen yang menawan, ia tegas menyebut kalau diri rohani sesungghunya adalah diri kita yang otentik. Hanya karena diri rohani ini terperangkap oleh raga jasmani sehingga keotentikannya mengalami proses degradasi. Sabri kemudian menggambarkan diri rohani sebagai emas murni yang terpapar oleh unsur-unsur lain secara terus menerus, sehingga yang tampak bukan lagi sebagai emas murni.

Untuk menemukan kemurniannya kembali, emas tersebut harus dilebur melalui proses pembakaran. Ramadhan, menurut Sabri, sejatinya memang bermakna pembakaran. Dengan demikian, puasa di bulan Ramadhan pada hakekatnya adalah suatu ritual proses pemurnian diri rohani guna menemukan kembali diri yang otentik. Dengan kata lain, puasa adalah upaya pembebasan diri rohani dari selubung kepalsuan.

Lebih jauh, Sabri mencoba menghubungkan diri rohani dengan konsep tau pada tradisi masyarakat Sulawesi Selatan. Tau menurutnya adalah diri rohani itu sendiri yang ada pada setiap manusia (rupa tau) yang hidup. Di sini, Sabri menyebut tau sebagai jejak manifestasi ilahi. Tau inilah yang membuat manusia hidup, seperti listrik pada komputer. Bayangkan kalau tau sampai hilang, maka yang ada tinggal rupa, bukan lagi rupa tau.

Masih pada terma ini, Sabri lantas menyinggung sipakatau. Selama ini, Sipakatau kita pahami sebagai sikap saling menghormati atau saling menghargai. Sipakatau  ini terjadi karena adanya tau dalam setiap diri manusia yang saling mengenal satu sama lain. Pada esensinya, tau ini hanya satu dan berasal dari sumber yang satu. Sehingga tau yang di situ, adalah juga tau yang di sini. Dengan begitu, sipakatau pada hakekatnya tidak lain dari penegasan Sang Tau akan eksistensi dirinya sendiri.

Merenungkan eksistensi tau ini pada setiap diri manusia, saya lantas membayangkan duduk di sebuah warung kopi sembari menghisap rokok, santai. Lalu, seseorang dari meja sebelah menghampiri dan meminta api kecil yang tersulut pada ujung rokok saya. Setelah ujung rokoknya tersulut, ia kemudian kembali kemejanya.  Saya diam-diam mengamati bagaimana api kecil itu berpindah dari satu ujung rokok ke ujung rokok yang lain. Lantas terpikir oleh saya kalau api kecil itu berpindah dengan cara seperti itu, maka ia dapat berada pada ribuan, jutaan, bahkan milyaran ujung  rokok.

Lalu, timbul pertanyaan, apakah api kecil pada setiap ujung rokok itu adalah api kecil yang berbeda? Jawabnya, tidak. Tetapi api kecil yang berada pada milyaran ujung batang rokok itu, adalah api kecil yang sama dari sumber yang sama, yaitu api kecil di ujung rokok saya. Analogi ini adalah tamsil yang paling sederhana untuk memahami konsep tentang diri rohani yang otentik : Tau hanya satu, tetapi yang banyak adalah rupa tau.

Konsep tau pada tradisi masyarakat Sulsel ini, sebenarnya juga dapat menjelaskan kadar kualitas spiritual. Selain tau dan rupa tau, juga dikenal istilah tau-tau. Tau menunjukkan kualitas rohani tertinggi. Rupa tau berada pada level yang lebih rendah dan miskin rohani. Sedangkan tau-tau adalah suatu keadaan yang berlawanan secara diametral dengan tau. Jika tau adalah diri yang otentik, maka tau-tau adalah diri yang palsu. Bayangkan orang-orangan di sawah yang ditaruh untuk mengusir burung.

Selanjutnya, jika tau terasosiasi dengan hal-hal baik dan orientasinya pada kehidupan ukhrowi yang lebih kekal, maka tau-tau sebaliknya. Orientasi kehidupan tau-tau, hanya pada dunia semata. Bahkan demi kenikmatan duniawi, tau-tau lumrah menghalalkan segala cara. Tak heran kalau tau-tau sampai berkubang dengan segala bentuk kebohongan dan kepalsuan. Kekacauan yang terjadi di negeri ini pada hari-hari ini, misalnya, mungkin saja karena bangsa ini telah kehilangan tau dalam hegemoni tau-tau.

Kembali kepada menemukan diri yang otentik, coba kita bayangkan eksistensi kepompong dan kupu-kupu. Kupu-kupu terperangkap oleh selubung kepompong, sehingga yang tampak dan dikenali hanya kepompong, bukan kupu-kupu. Padahal kepompong itu hidup karena adanya kupu-kupu di dalam dirinya. Jika tiba saatnya kupu-kupu pergi, maka kepompong bukan apa-apa selain disebut cangkang kepompong. Persis seperti raga jasmani yang mengalami kematian ditinggal ruh, tak lagi disebut manusia.

Di dalam proses pematangan diri menunju hari pembebasan meninggalkan kepompong, kupu-kupu membutuhkan panas. Diri rohani demikian pula adanya, juga membutuhkan panas dalam rangka proses pemurnian dan penyucian dirinya, sembari menunggu datangnya saat pembebasan dari selubung raga jasmani. Tentu saja, panas yang dimaksud bukan hanya puasa, tetapi semua bentuk amar ma'ruf nahi mungkar.

Lantas, apakah kematian itu sejatinya adalah pembebasan? Menemukan kembali diri rohani otentik setelah melalui proses pembakaran (puasa), sejatinya adalah pembebasan sekaligus kematian.  Oleh karena itu, Iedul Fitri sebenarnya adalah hari pembebasan bagi diri otentik, sekaligus hari kematian bagi diri yang palsu.

Selamat ber-iedul fitri, semoga hari ini kita terbebas dari selubung kepalsuan dan membawa kita pada penemuan diri yang otentik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun