Yaitu, dengan menggunakan definisi yang sama, maukah Sahal mengecam mereka yang berada di lingkaran kekuasaan yang mengklaim dirinya, "Saya Pancasila -- Saya NKRI," sebagai orang-orang yang melakukan pembusukan terhadap Pancasila dan NKRI? Kalau tidak, Â maka Sahal harus terima disebut sebagai sofis yang tidak jujur.
Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi catatan penulis terkait diskusi itu. Pertama, Goenawan, Sahal, dan Donny yang diidentifikasi oleh banyak netizen sebagai sebagai sofis istana, gerah pada narasi akal sehat Rocky yang telah merugikan istana secara politik.
Kedua, Rocky, melalui kemampuan bertuturnya di atas rata-rata, telah berhasil membuat filsafat memiliki daya tarik bagi publik. Bahkan, narasi akal sehat yang dibangun Rocky, pengaruhnya jauh lebih dahsyat ketimbang Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang telah ia kreasi, hampir setengah abad lamanya.
Ketiga, sebuah catatan khusus untuk sinisme Donny atas kecamannya pada Rocky yang dianggapnya telah memiliki jamaah filsafat. Memang ada yang salah dengan itu? Kalau agama (Islam) saja memiliki majelis zikir, mengapa tidak bagi filsafat untuk memiliki majelis pikir? Bukankah dengan cara itu, filsafat tidak lagi menjadi eksklusif, bahkan dapat diminati banyak orang? Dengan begitu, guru filsafat seperti Donny, bisa laku mengajar dimana-mana.
"Filsafat adalah proses pencarian kebenaran," kata Goenawan. Oleh karena itu, bagi para pencari kebenaran, kejujuran adalah hal  sangat penting.  Terkait hal itu, dalam perjalanan pulang, penulis teringat almarhum ayah. Pada suatu malam di serambi depan rumah kami saat bulan purnama, beliau memberi wejangan tentang kejujuran dan kebenaran.
"Degaga ada tongeng nawinru seddie to pabbelleng," petuahnya. Maknanya kurang lebih, "Kebenaran hanya bisa dilahirkan oleh kejujuran."
*) Â Penulis, peserta diskusi.
Kalipasir, Cikini, 2/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H