GELIAT ISLAM DARI MONAS Â MENGAJAR DUNIA
Oleh : Yarifai Mappeaty
Jakarta hari itu benar-benar masih sangat pagi. Sekitar pukul setengah tujuh, saya sudah berdiri di seberang jalan Stasiun Palmerah, bersiap-siap hendak menuju Monas mengikuti aksi 212. Dengan bantuan google maps, saya mencoba menimbang-nimbang rute paling dekat. Â Saya pun memutuskan rute Pal Merah - Pejompongan Raya - Tanah Abang - Â Kebon Sirih, berbelok ke arah Patung Kuda di Bundaran Bank Indonesia.
Seketika timbul dibenak saya untuk berjalan kaki. Jarak 6 km tak terlalu jauh. Â Toh, bukan apa-apa dibandingkan dengan jarak yang telah ditempuh oleh para mujahid dari Ciamis. Pun, sama sekali tidak ada artinya bila dibandingkan dengan jarak tempuh Yang Mulya Nabi SAW, ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah dalam usaha mempertahankan dan membela keberlangsungan dakwahnya. Dengan Bismillah, saya pun melangkahkan kaki.
Baru selangkah, tiba-tiba dari arah belakang, udara seolah bergetar oleh gemuruh takbir, Â dibarengi lantunan zikir "LaIlaha illallah - Muhammadarrasulullah", mengoyak pagi. Alhamdulillah, saya akhirnya tak sendirian berjalan kaki ke Monas. Saya pun bergabung dengan rombongan jamaah Yayasan Syarief Hidayatullah yang dipimpin Kyai Lutfi Zawawi yang bergerak dari Kebayoran Lama, selepas subuh.
Pelajaran pertama yang diajarkan oleh rombongan itu adalah sikap  toleransi terhadap pengguna jalan lainnya. Meski dalam jumlah besar, mereka  sama sekali tak menampakkan sikap arogan. Mereka tidak mencoba menguasai badan  jalan sepenuhnya,  seperti layaknya rombongan pengantar jenazah. Mereka, pun turut berhenti pada setiap lampu merah. Bahkan, tak jarang ikut membantu mengurai titik-titik kemacetan yang terjadi pada sepanjang jalan yang dilalui.
Rombongan massa semakin besar sehingga jalannya menjadi lamban. Begitu tiba di Pasar Tanah Abang, saya memilih memisahkan diri dan mencoba mencari jalan pintas ke arah Jalan Wahid Hasyim menuju Sarinah - Thamrin. Seluruh tubuh mandi keringat dan langkah kaki sedikit terasa berat. Saya  memutuskan mengasoh sejenak sembari mencari-cari sesuatu buat menenangkan perut  yang sedang menagih haknya. Saya baru sadar kalau dari sejak subuh, ia hanya kusogok dengan segelas air putih. Di depanku,  tiba-tiba berhenti sebuah mobil pick up, lalu seseorang  meneriakkan, "halal, halal, halal".
Rupanya, kendaraan pick up itu mengangkut penuh penganan dan air mineral untuk dibagikan kepada peserta aksi. Masya Allah, ternyata sepanjang pinggiran Jalan Wahid Hasyim menuju Jalan MH Thamrin, sudah tersedia banyak bungkusan roti dan kue-kue tradisional Betawi, serta air mineral di depan setiap kantor yang hanya dijaga sekuriti.
Menjelang pukul sembilan, saya sudah mencapai simpang Wahid Hasyim - MH Thamrin. Tanpa terasa, saya kemudian terseret arus gelombang manusia yang bergerak ke arah patung kuda. Hingga di bawah jembatan penyeberangan Bank Indonesia, arus gelombang manusia terhenti, seolah tak dapat bergerak maju. Saya tetap saja berusaha sekuat tenaga menemukan celah untuk bisa tembus ke  patung kuda untuk selanjutnya masuk ke Monas.
Tetapi, paling jauh yang bisa saya capai hanya sampai di depan Kantor Kementerian ESDM. Saya tak bisa lagi menemukan celah untuk bisa tetap bergerak  maju mendekati Patung Kuda. Jejal manusia yang demikian padat, seolah menjadi pagar hidup yang sulit ditembus.
Dari atas jembatan penyeberangan Bank Indonesia, sejauh mata memandang, hanya putih dan putih yang tampak seperti lautan manusia, berjejal menggelombang di sepanjang Jalan MH Thamrin. Gemuruh suara takbir yang tiada putusnya, seolah mengguncang angkasa. Lantunan zikir  sambung menyambung, membumbung tinggi menembus langit.
Seketika, ada rasa menjalar disekujur tubuhku dan melumpuhkan segenap kesadaranku. Tak lama, Â Saya jatuh terduduk, lemas tanpa tenaga. Saya menemukan diriku begitu sangat kecil, kecil, dan sangat kecil. Bahkan, seolah hilang diantara lautan manusia. Saya lalu mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan kesadaranku, dengan sekali hentak kuteriakkan, " Allahu Akbar!", gemuruh pun pecah di dada, dan air mata tumpah tak terbendung lagi.
Menjelang pukul sebelas, langit mulai  tampak mendung. Saya pun turun dari jembatan dan kembali ke arah Sarinah.  Tanpa dikomando, para jamaah pun menyusun shaff menggelar sajadah untuk sholat jum'at.  Di depan Bangkok Bank, saya berhenti karena ditawari makanan. Saya hanya mengambil air minum mineral karena tak merasa lapar. Tak sampai sepuluh meter melangkah, kembali ditawari makanan.
Begitu banyak orang menyediakan makanan. Tiba-tiba, saya  merasa menemukan sesuatu yang tidak biasa. Pada umumnya, aksi unjuk rasa yang sering kita lihat, tidak jarang diwarnai pemandangan rebutan nasi bungkus. Tetapi ini sama sekali lain. Mereka tidak mengambil sesuatu pun kalau tidak ditawari. Bahkan, tidak jarang menolak dengan ucapan, terima kasih. Luar biasa.
Geliat islam dari Monas telah mempertontonkan keluhuran akhlak dan ketinggian moralitas islam yang lebih dari cukup untuk merontokkan berbagai macam stigma negatif yang telah disematkan kepada islam selama ini. Aksi bela islam (ABI) 212 telah berhasil membuat dunia kecele. Â Aksi kekerasan yang mereka tunggu-tunggu dengan harap-harap cemas tak kunjung terjadi.
Mestinya dunia menyesal menyebut Islam agama yang penuh kebencian, sekiranya mereka menyaksikan kejadian di simpang MH Thamrin - Kebon Sirih. Â Seorang pengendara mobil terjebak dalam kerumunan. Begitu ia membuka kaca mobilnya, Ia Tionghoa. Peserta aksi pun yang sudah terlanjur menyusun shaff dan menggelar sajadah, spontan bergerak membukakan jalan. Pengendara mobil itu pun keluar dari kerumunan massa dengan tenang, aman, tanpa gangguan sedikit pun.
Dunia kira-kira mau bilang apa, sekiranya melihat di depan Hotel Sari Pan pacific, sepasang suami isteri paruh baya, entah dari Cina, Jepang, atau Korea. Tetapi, yang pasti bermata sipit. Dengan santainya, membaur, berjalan disela-sela kerumunan massa ke arah patung kuda, tanpa gangguan sedikit pun juga. Ini adalah bukti empirik yang menunjukkan bahwa Islam memberikan rasa aman kepada siapa saja, apabila berada bersamanya tanpa harus menjadi pemeluk Islam. Dan, Â sikap hidup Inilah yang sesungguhnya diberikan Islam secara tulus kepada Indonesia dalam wujud Pancasila dan rahmat universal kepada dunia.
Dunia memang mesti tercengang melihat tingkat kualitas kepatuhan massa ABI 212 kepada pemimpinnya. Â Mereka tetap bergeming manakala hujan turun. Mereka tak beranjak, meski diguyur hujan deras. Mereka tetap bersujud, meski sajadah dan tempat sujud tergenang air. Adakah kepatuhan seperti ini yang pernah ditemukan di tempat lain?
Mungkin saja banyak yang skeptis, sinis, lalu mencibir. Mereka kira, hujan yang turun itu dikiranya isyarat, kalau pemilik semesta tak berkenan pada aksi bela Islam 3. Padahal, justeru mereka yang tidak paham, bahwa hujan yang turun itu adalah jawaban spontan Allah untuk mengatasi terbatasnya air untuk berwuduh. Lalu, Allah sendirilah yang "me-wudhu'-kan" hamba-hambanya dengan caranya sendiri. Â Juga, hujan deras itu , sekaligus untuk membuktikan bahwa mereka bukan massa bayaran seperti yang dituduhkan oleh para munafiqun yang bermulut keji.
Aksi bela islam 212 telah membuat dunia melongo. Bagaimana mungkin mengendalikan massa yang berjuta-juta itu sehingga tidak terjadi anarkis? Padahal, tak sedikit tempat ibadah non-muslim, kantor  kedubes,  properti dan simbol-simbol milik asing yang selama ini memusuhi islam, berada di area aksi unjuk rasa yang sangat mudah menjadi sasaran anarkis. Malah terjadi sebaliknya. Properti sepanjang area itu pada membuka pintu, memfasilitasi keperluan peserta aksi, seperti, toilet, air wudhu, bahkan space untuk shalat jum'at, tanpa  diminta.
Begitu cemasnya terhadap kemungkinan terjadinya anarkis, sejumlah kantor kedubes di Jakarta melakukan langkah antisipatif dengan mengeluakan travel warning beberpa hari sebelumnya. Ini sebenarnya sudah cukup melukai perasaan Ummat Islam Indonesia. Mereka tetap tidak percaya kalau aksi bela Islam 212 ini adalah aksi yang benar-benar damai, maka tetap saja mengeluarkan travel warning. Sekali lagi, mereka kecele karena kecemasan mereka tidak terbukti.
Kedubes Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, Prancis, tentu menyaksikan langsung jalannya ABI 212, bukalah mata, lalu sampaikanlah kepada pemerintah kalian secara jujur, kalau  kalian telah menyaksikan wujud islam yang sebenarnya di Monas. Bahwa jangankan anarkis, bahkan tak sehelai pun rumput yang tersentuh, apalagi terinjak. Sampaikan juga kemustahilan yang kalian saksikan, bagaimana mungkin berjuta manusia itu tidak meninggalkan serakan sampah. Namun, fakta empiriknya bersih.
CNN, Times, Reusters, BBC, Â dan yang lainnya, beritakanlah apa adanya. Biarkan dunia belajar dari geliat Islam di Monas mengenai apa yang disebut damai tanpa kekerasan, Â toleransi dalam kebhinnekaan, kemanusiaan dan universalitas. Kalau kalian memang jujur, maka tulislah dengan huruf cetak tebal, bahwa stigma negatif yang telah kalian konstrusikan kepada islam, telah rontok di Monas. Â Bahkan, Islam telah menampakkan keagungannya, bukan di Tanah Haram, tetapi di Monas.
Jakarta, 21216
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H