Seminggu terakhir, Pilkada Sulsel, heboh, gegara CSIS merilis hasil surveynya yang menguntungkan salah satu Paslon secara mencolok. Â CSIS menemukan tingkat elektabilitas pasangan NH-AZIZ pada angka paling tinggi, 30,6%. Pasangan NA-AS dan IYL - Cakka, masing-masing 21,2% dan 20,7%. Sekitar 9 dan 10 % di bawah NH-AZIZ. Sedangkan Pasangan Agus -- TBL, ditemukan pada posisi 9,9%.
Mengapa heboh? Karena yang merilis survey itu adalah CSIS. Yaitu, sebuah lembaga pemikir (think tank) yang didirikan pada tahun 1971 oleh Ali Murtopo dan kawan-kawan. CSIS didirikan untuk mem-back up perumusan kebijakan rezim Orde Baru. Sebagai lembaga think tank, CSIS tentu bukan lembaga ecek-ecek. Di masa lalu, reputasi CSIS hanya bisa disamai oleh LP3ES. Kedua lembaga tersebut, pernah dipandang sebagai "seteru" satu sama lain. Hingga saat ini, CSIS masih tetap sebuah magnet yang mampu mempengaruhi medan politik di tanah air. Â Mengingat sepak terjangnya di masa lalu, masih ada sebagian orang menganggapnya "seram".
Apa yang terjadi? Rilis CSIS itu, tak bisa mencegah timbulnya kepanikan di antara paslon yang merasa tidak diuntungkan. Kepanikan itu ditunjukkan oleh munculnya serangan kampanye hitam dan kampanye negatif yang ditujukan kepada pasangan NH-AZIZ, sebagai pasangan yang diunggulkan. Kampanye hitam dan kampanye negatif tersebut  muncul begitu cepat, hanya sehari setelah rilis CSIS. Hal ini  memberi isyarat bahwa pihak lawan NH-AZIZ, benar-benar mengalami kepanikan yang luar biasa.
Penanda lain timbulnya kepanikan itu, juga dapat dilihat dari pada upaya merilis berita survey lama yang menguntungkan paslon tertentu. Hal itu bertujuan untuk mengimbangi dampak elektoral yang ditimbulkan oleh rilis survey CSIS. Yang paling mencolok dari penanda itu adalah berita Tribun Timur.com, edisi Selasa, 15 Mei 2018. 16:51, dengan judul, Â "4 Lembaga Survey Nasional Unggulkan Pof. Andalan." Keempat lembaga survey yang dimaksud adalah; Indikator Politik Indonesia (IPI), Indo Barometer, Populi Center, dan LPP-UI. Dikesankan bahwa keempat lembaga tersebut baru saja melakukan survey dan semuanya mengunggulkan NA-AS. Padahal, itu berita lama yang direproduksi kembali, sehingga seolah-olah berita baru dari sebuah peristiwa baru.
IPI dan Indo Barometer, misalnya, disebutkan  baru merilis survey terbarunya. Tetapi dalam berita itu tidak disebutkan, kapan surveynya dilakukan.  Populi Center juga  dikesankan baru  melakukan survey. Padahal itu survey Januari 2017, kemudian dirilis pada 1/2/2018.  Demikian pula survey opini pakar yang dilakukan Laboratorium Psikologi Politik Univ. Indonesia (LPP-UI), dimunculkan kembali. Padahal survey itu dilakukan pada September - Oktober 2017. Bahkan untuk memberi penguatan,  nama Prof. Hamdi Muluk pun tak luput dibawa-bawa.
Nuansa kepanikan itu, juga terlihat dalam rekam jejak survey Script Survey Indonesia (SSI). Lembaga ini selalu merilis surveynya belakangan, setelah terlebih dahulu lembaga lain merilis survey yang tidak menguntungkan paslon NA-AS. Tercatat SSI dua kali merilis survey yang mirip seperti "pemadam kebakaran." Pertama, pada bulan Maret 2018, ketika  Indo Survey & Strategi (ISS) merilis survey elektabilitas yang mengunggulkan IYL-Cakka pada angka  24,3%, disusul NH-AZIZ (20,1%); NA-AS (18,0%); dan AGUS-TBL (8,9%).
Begitu pula Sinergi Data Indonesia (SDI), mengunggulkan IYL-Cakka 27,5%, disusul NH-AZIZ (24,3%), NA-AS (21,2%), dan AGUS-TBL (8,9%). Kedua lembaga tersebut memperlihatkan kecenderungan pola keunggulan yang sama, yaitu 4-1-3-2 (IYL-Cakka, NH-AZIZ, NA-AS, AGUS-TBL). Faktanya, survey kedua lembaga tersebut  sama sekali tidak menguntungkan NA-AS. Dalam situasi itu, SSI lalu muncul menyodorkan data elektabilitas  NA-AS yang begitu  menonjol (35,37%), disusul NH-AZIZ (21,22%), IYL-Cakka (20,73), dan AGUS-TBL (5,85%). Pola keunggulannya juga berbeda, 3-1-4-2.
Kedua, pasca rilis survey CSIS pada 12 Mei lalu yang tidak mengunggulkan NA-AS, tapi sekali lagi SSI muncul dengan data survey elektabilitas yang mengunggulkan NA-AS 33,78%. Â Menariknya, pola keunggulannya tetap sama, yaitu, 3-1-4-2. SSI tampak berusaha keras mengubah pola keunggulan elektabilitas dari 4-1-3-2 milik ISS dan SDI menjadi 3-1-4-2 mengikuti miliknya. Akan tetapi, terobosan SSI ini, sedikitpun tidak menimbulkan dampak kepanikan bagi paslon lain yang tidak diuntungkan oleh SSI. Â
Bahkan sebaliknya, publik justeru menilai bahwa yang panik sebenarnya adalah NA-AS. Panik karena melihat IYL-Cakka diunggulkan oleh dua lembaga survey sebelumnya (ISS dan SDI). Sedangkan NA-AS hanya diunggulkan pada posisi ketiga. Â Begitu pula hasil survey CSIS yang menunggulkan NH-AZIZ, jauh di atas NA-AS. Disitulah SSI kemudian muncul untuk melakukan penetrasi.
Mengapa terobosan SSI tidak mampu mendatangkan  kepanikan bagi paslon lain? Padahal data elektabilitas NA-AS yang disodorkan, selalu mencengangkan. SSI mungkin lupa kalau masing-masing paslon memiliki lembaga survey  sendiri untuk memandu usaha-usaha pemenangan mereka. Lagi pula, semua paslon mensinyalir bahwa SSI itu adalah lembaga konsultan yang membantu NA-AS. Sehingga semua maklum kalau setiap rilis hasil survey SSI, selalu menempatkan pasangan NA-AS pada posisi tertinggi untuk menggiring opini publik.Â
Gambar-gambar Bos SSI Â yang bertebaran di berbagai media yang menunjukkan "kemesraan" dengan pasangan NA-AS dalam berbagai kesempatan, sudah cukup menguatkan sinyalemen tersebut. Selain itu, SSI jelas bukan CSIS yang punya sejarah panjang dan nama besar yang masih "menggentarkan".
Bagi lembaga konsultan politik, paling tidak, ada 2 hal yang membuat mereka merilis hasil surveynya. Pertama, dalam rangka proses mencari pengguna jasa konsultan politik (klien). Untuk maksud tersebut, mereka melakukan survey dengan biaya sendiri. Di sini mereka benar-benar masih berstatus independen. Â Hasil survey itu kemudian dirilis dengan harapan ada kontestan pilkada yang tertarik menggunakan jasanya. Dalam konteks pilkada Sulsel yang tinggal sebulan lagi, tentu sulit dipercaya kalau masih ada lembaga survey semacam itu. Sedangkan kita semua tahu bahwa pekerjaan survey itu membutuhkan ongkos yang tidak kecil. Lantas, apakah ada lembaga survey yang melakukan survey untuk kontestan tertentu tanpa dibayar? Ah, absurd.
Kedua, rilis survey dilakukan oleh lembaga survey yang bekerja pada kontestan tertentu. Tujuannya untuk menggiring opini publik memilih kontestan yang menggunakan jasanya. Oleh karena itu, sangat sulit  mempercayai data survey yang sengaja dirilis oleh lembaga survey yang sudah bekerja pada salah satu kontestan. Lalu, bagaimana melihat posisi CSIS dalam pilkada Sulsel?
Survey yang dilakukan oleh CSIS adalah survey nasional yang dilakukan untuk memotret pilkada serentak 2018. Tidak hanya Sulsel, tetapi juga pilkada di provinsi lain, seperti, Jatim, Jateng, Jabar, dan Sumut. Sebagai lembaga kajian strategis, CSIS bukan lembaga biasa seperti lembaga-lembaga konsultan politik yang hidup dari jasa konsultan dan survey politik. CSIS tidak asal melakukan survey, tetapi ada misi besar yang diemban untuk tujuan tertentu. Hampir dapat dipastikan bahwa itu terkait dengan Pilpres 2019.
Oleh karena itu latah kalau kemudian CSIS dikaitkan dengan paslon tertentu yang kebetulan diuntungkan dalam rilis surveynya. Lagi pula, berbicara kepentingan, Sulsel terlalu kecil bagi kiprah CSIS yang selama puluhan tahun menjadi kreator perumusan kebijakan rezim Orde Baru. Â Apa boleh buat, CSIS pun dicemooh di pilkada Sulsel. Bukan hanya itu, survey sebagai metodelogi ilmiah juga digugat, bahkan ada yang sampai menghujat statistik sebagi ilmu bohong. Ah, jangan karena buruk rupa, lantas cermin pun dipecahkan.
Makassar, 20 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H