Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosok Absurd dan Makhluk Simulakra

15 Maret 2018   11:50 Diperbarui: 15 Maret 2018   16:08 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: ips1-smansapal.blogspot.co.id

Hanya saja, adaptasi itu berlangsung pada proses seleksi yang manipulatif, penuh rekayasa. Bukan seleksi alam. Akibatnya, manusia modern dipenuhi makhluk-makhluk simulakra, bergentayangan di pentas politik, sosial, dan ekonomi, bagaikan sosok tanpa dosa. Sementara mereka yang gagal beradaptasi dengan realitas, kemudian tidak juga berevolusi menjadi makhluk simulakra, itulah yang dicap sebagai sosok absurd yang malang. Atau sosok pandir yang gagal berdamai dengan realitas.

Sosok absurd dan makhluk simulakra, bisa siapa saja. Mungkin termasuk kita. Sosok absurd sarat dengan keterbatasan. Mereka rata-rata tak memiliki kemampuan ekonomi dan politik. Juga tak memiliki status sosial yang terpandang. Padahal mereka sebenarnya memiliki human capital yang memadai dan sedikit modal sosial. Itu sebabnya, mereka lebih banyak ditemukan di warung kopi.

Di pentas politik, sosial, dan ekonomi, mereka dihegemoni oleh makhluk simulakra. Sosok absurd ini lalu terpinggirkan. Karena tidak mampu bergentayangan, maka mereka pun luntang-lantung sembari memaki dengan nafas yang tersenggal.

Sumber ilustrasi: ips1-smansapal.blogspot.co.id
Sumber ilustrasi: ips1-smansapal.blogspot.co.id
Makhluk simulakra, lain lagi. Karena kemampuannya berdamai dengan realitas manusia modern, membuat mereka pada umumnya memiliki kehidupan yang mapan secara ekonomi, dan terpandang secara sosial. Mereka memiliki akses yang bagus di dunia politik. Sehingga tidak heran kalau mereka dapat ditemukan gentayangan di sekitar lingkaran kekuasaan.

Citra diri bagi mereka adalah nilai yang sangat penting, sehingga harus dijaga sedemikian cara. Gaya busana dan lingkungan pergaulan harus terjaga dan terawat dengan baik. Itu sebabnya mereka dapat ditemukan di kafe dan restoran hotel berbintang. Apa boleh buat, demi citra diri itu, harus membayar mahal. Harap maklum kalau pencapaian materi menjadi ukuran sukses, karena mereka sejatinya adalah pecandu kenikmatan duniawi.

Sosok absurd dan makhluk simulakra, boleh jadi dua orang sahabat yang saling merindukan. Persahabatan yang terjalin oleh cita-cita yang sama, saat dulu ketika mereka masih menjadi aktifis mahasiswa yang dipenuhi gelora idealisme. Kini, keduanya terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Dan, hanyalah warung kopi yang dapat mempertemukan mereka kembali.

Kumandang suara azan subuh mulai bersahutan. Tidak terasa sudah dua jam lebih saya duduk di kios bubur kacang di pinggiran Stasiun Duren Kalibata. Sembari berdiri, kopi yang masih tersisa, saya habiskan dengan sekali hirup, lalu buru-buru beranjak pergi.

Oleh: Yarifai Mappeaty

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun