A. Pendahuluan
Membaca berita di sebuah harian secara online (Bisnis.com, 21 Mei 2019) tentang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat (Kalbar) yang dipastikan akan beroperasi pada tahun 2025 mendatang, membuat penulis tersentak dan berpikir tentang tingkat kebutuhan (urgency) penggunaan pembangkit nuklir tersebut [1,2].
Timbul pertanyaan dalam benak penulis, "apakah sudah tidak ada sumber energi lain yang lebih aman dan ramah lingkungan sehingga menyebabkan para pengambil kebijakan dan para cerdik pandai di negara dan provinsi ini mengalami kebuntuan luar biasa dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada PLTN?" Sebagai warga Kalbar, penulis terpanggil untuk memaparkan mengenai kebutuhan energi listrik di Kalbar, potensi energi listrik yang ada (baik sumber energi konvensional maupun sumber energi terbarukan), serta permasalahan di seputar rencana pembangunan PLTN ini yang dikaitkan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2018-2027, maupun sumber-sember lain yang berkaitan dengan permasalahan ini.
B. Kebutuhan Energi Listrik di Kalimantan Barat
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2018-2027 yang menjadi pedoman (road map) penyediaan listrik di Indonesia, telah ditetapkan pada tanggal 13 Maret 2018 oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia. RUPTL yang telah disahkan ini ditembuskan ke berbagai pihak terkait seperti Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan seluruh gubernur di Indonesia.
Berdasarkan RUPTL PLN tersebut, pertumbuhan penjualan energil listrik di Kalbar selama lima tahun (2012-2016) rata-rata sebesar 8,55% per tahun. Rasio pelanggan rumah tangga berlistrik PLN di Kalbar sampai dengan tahun 2016 adalah sebesar 78,20% [3]. Tabel 1 memperlihatkan daya listrik dan jenis pembangkit listrik yang ada di Kalbar untuk kondisi sampai tahun 2018.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa total daya terpasang di Kalbar sebesar 742 MW, total daya mampu sebesar 622 MW, serta total beban puncak sebesar 465 MW. Jadi, untuk kondisi saat ini terdapat kelebihan daya mampu sekitar 160 MW. Kelebihan daya listrik ini ditegaskan juga oleh Manager Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN Wilayah Kalimantan Barat, bahwa Kalbar mengalami surplus daya listrik sebesar 169 MW dan membuka peluang bagi investor melakukan investasi di provinsi ini [4]. Sampai di sini sudah jelas bahwa Kalbar untuk saat ini bukan dalam kondisi krisis energi listrik. Jadi pertanyaan seperti judul tulisan di atas kembali muncul, seberapa mendesak pembangunan PLTN di Kalbar sementara kebutuhan listrik untuk saat ini masih tercukupi bahkan berlebih?
Penambahan daya listrik diperlukan untuk mengantisipasi pertumbuhan penggunaan daya listrik di provinsi ini. Dari proyeksi pertumbuhan daya listrik di Kalbar dalam RUPTL PLN 2018 sebesar rata-rata 8% per tahun, dan diperkirakan beban puncak di Kalbar pada tahun 2027 adalah sebesar 1.082 MW, lebih dua kali lipat dari beban puncak saat ini. Untuk mengantisipasi keperluan daya listrik ini, PLN mengantisipasi dengan pembangunan beberapa pembangkit baru seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 2.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa total daya pembangkit adalah sebesar 1.290 MW melebihi beban puncak pada tahun 2027 sebesar 1.082 MW. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat selain jenis pembangkit listrik konvensional seperti PLTU dan PLTG, akan dibangun juga jenis pembangkit dari energi terbarukan (renewable energy) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), yang umumnya memanfaatkan bahan bakar dari limbah organik seperti perkebunan kelapa sawit yang cukup banyak terdapat di Kalbar.Â
Upaya meningkatkan pembangunan energi terbarukan ini tentunya tidak terlepas dari target pemerintah untuk memenuhi bauran pembangkit energi listrik dari energi baru dan terbaruan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23%, sedangkan pembangkit listrik menggunakan batu bara sebesar 54,4%, gas sebesar 22,2% dan BBM sebesar 0,4%. Dari Tabel 2 tersebut dapat juga dilihat bahwa PLTN tidak dimasukkan dalam skenario pengembangan pembangkit listrik di Kalbar sehingga tahun 2027 [3].
Kelebihan pasokan energi listrik di Kalbar saat ini mengandung keunikan. Dari segi jumlah daya listrik, Kalbar memang memiliki daya listrik yang berlebih. Namun dari segi sumber daya listrik tersebut, Kalbar mendapat pasokan atau membeli dari negara tetangga yang berbatasan darat langsung dengan provinsi ini, yaitu dari negeri Sarawak, Malaysia (Sarawak Energy Berhad/SEB, sebelumnya dikenal dengan nama SESCO). Seperti disampaikan oleh General Manager PT PLN Wilayah Kalbar, bahwa impor daya listrik dari Sarawak untuk memenuhi kebutuhan daya listrik di Kalbar sebesar 180 sampai 210 MW dan ini meliputi 80% dari jaringan sistem Khatulistiwa [5].
Penulis sependapat bahwa kita harus mengurangi bahkan untuk tidak menggunakan sepenuhnya daya listrik dari negara lain dengan pertimbangan kemandirian dan aspek politik serta keamanan. Maka diharapakan dalam perencanaan pengembangan tenaga listrik yang telah direncanakan dalam RUPTL PLN 2018-2027 dapat tercapai atau pasokan listrik diperoleh dari provinsi lain di Kalimantan yang memiliki kelebihan daya listrik.
Kemandirian dalam sektor kelistrikan ini adalah penting sebab dalam Peraturan Menteri ESDM No. 4, Tahun 2017, disebutkan bahwa ketenagalistrikan adalah salah satu objek vital nasional (obvitnas) dan strategis yang diatur oleh pemerintah baik dalam pengembangan maupun pengawasannya [6].
C. Potensi Energi Listrik Terbarukan di Kalimantan Barat
Seperti disebutkan dalam RUPTL PLN 2018-2027, target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dalam pengembangan pembangkit energi listrik sebesar 23%, maka proyeksi pembangkit listrik di Kalbar juga sejalan dengan upaya tersebut. Seperti yang dirangkum dalam Tabel 2 (Rencana Pengembangan Pembangkit Listrik di Kalbar) terdapat pembangkit-pembangkit yang menggunakan EBT tersebut seperti Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg).
Kemudian, dalam RUPTL PLN tersebut juga disebutkan, khusus untuk potensi bioenergi, yang terdiri dari biogas, biomassa, dan sampah di Kalbar, berdasarkan sebaran daerahnya dapat dilihat seperti tercantum dalam Tabel 3. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa potensi Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) adalah sebesar 2 MW yang terdapat di Kabupaten Landak.
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBM) yang tersebar di wilayah Kalbar, memiliki potensi sebesar 87 MW. PLTBM ini memanfaatkan limbah pengolahan kelapa sawit yang banyak terdapat di Kalbar. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang terdapat di Siantan dan Pontianak, memiliki potensi sebesar 10 MW. Total potensi energi listrik dari bioenergi saja sebesar 99 MW.
Dari RUPTL PLN yang sama, di wilayah Kalbar terdapat potensi energi nuklir sebesar 100 MW (Tabel 4). Dengan membandingkan Tabel 3 dan Tabel 4 tersebut, terlihat bahwa potensi energi nuklir memiliki daya listrik yang hampir sama dengan potensi energi listrik dari bioenergi, sehingga keperluan membangun PLTN dapat digantikan dengan memanfaatkan potensi energi terbarukan secara maksimal, dan tentunya lebih aman serta ramah lingkungan.
Di samping itu, PLN juga terus berkomitmen untuk mengembangkan EBT di wilayah Kalbar. Sampai saat ini PLN Kalbar telah mengoperasikan Pembangkit Listrik Mikrohidro (PLTMh) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan total kapasitas sebesar 8,9 MW. PLN juga telah menandatangani kerjasama dengan pihak swasta untuk mengembangkan pembangkit EBT menggunakan limbah kelapa sawit dengan total kapasitas 38 MW yang rencananya akan dibangun di Tayan, Siantan, Sukadana, Meliau dan Balai Karangan [7].
Islandia, negara dengan pemakaian energi non-fosil terbesar (nyaris 100% dari pembangkitan listriknya dan 85% dari bauran energi primernya per 2015), perlu 100 tahun untuk membuat EBT memimpin bauran energinya mencapai 90%. Hidropower menyumbang 73,8% pasokan listrik Islandia, geothermal sebesar 26,2%, dan sedikit dari minyak bumi.
Pada 2009, atau 86 tahun sejak munculnya regulasi pertama EBT, negara tersebut sukses mendongkrak kontribusi EBT mencapai 99,7%. Situasi ini terjaga sampai dengan sekarang. Bandingkan dengan Indonesia yang baru mengenal konsep EBT pada tahun 1970, dan memiliki perangkat hukum EBT pada 2007. Jika mengacu pada Islandia yang perlu 86 tahun, maka EBT paling cepat baru dominan di Indonesia pada 2093 [8].
Mengutip International Renewable Energy Agency (IRENA), organisasi internasional energi terbarukan dengan anggota lebih dari 150 negara, biaya pembangkitan listrik tenaga bayu (angin) sejak 2010 turun sebesar 23% sedangkan biaya pembangkitan listrik tenaga surya turun sebesar 73%. Namun, itu belum cukup kompetitif dengan harga pembangkitan listrik dari energi fosil [8].
Secara perhitungan bisnis, sampai saat ini belum ada energi terbarukan yang biaya produksinya lebih murah dari energi fosil. Kondisi ini tercipta karena energi fosil telah melewati riset-pengembangan dan uji efisiensi pasar selama lebih dari seabad. Karena itu, campur tangan pemerintah melalui instansi terkait perlu mempercepat dan menjaga komitmen pengembangan EBT ini.
Selain perlunya komitmen pemerintah untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan melalui berbagai kebijakan insentif tanpa harus membebani konsumen listrik dengan kenaikan tarif listrik, industri dalam negeri juga perlu didorong untuk mampu memasok komponen teknologi pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor teknologi. Melalui pengembangan industri dalam negeri ini diharapkan biaya investasi pada pembangkit listrik energi terbarukan akan dapat menurun dan pada akhirnya nilai biaya pembangkitan listrik akan turun [9].
Selain mengoptimalkan energi terbarukan (renewable energies), alternatif lain yang bisa dipilih untuk memenuhi kebutuhan listrik di Kalbar pada masa mendatang adalah melalui pasokan daya listrik dari provinsi lain di Kalbar, seperti Kalteng, Kaltim, dan Kaltara.
Jika Kalbar bisa membeli listrik dari negara lain, maka medatangkan listrik dari provinsi lain yang berdekatan dengan Kalbar bukan suatu yang mustahil jika dibandingkan dengan aspek kemandirian dan harga diri bangsa dalam sektor kelistrikan.
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sebagai lumbung energi di Kalimantan dengan potensi sumber energi primer yang ada meliputi batu bara, gas alam, air, matahari, angin dan biogas. Di Kalimantan Selatan, deposit batu bara diperkirakan lebih dari 1,8 miliar ton dan potensi daya listrik dari air dapat mencapai 564 MW. Sedangkan di Kalimantan Tengah, deposit batu bara diperkirakan lebih dari 400 juta ton, potensi gas alam sebesar 20 mmscfd selama 20 tahun, dan potensi daya listrik dari air dapat mencapai 356 MW (RUPTL PLN 2018 -- 2027).
Pada tahuh 2027, direncanakan total pembangkit sebesar 2.422 MW dan beban listrik sebesar 1.712 MW sehingga Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sebagai lumbung energi mengalami surplus daya sebesar 710 MW atau sekitar 30% dari daya terpasang sebagai cadangan operasi yang dapat memastikan kehandalan sistem kelistrikan di Kalimantan dan memungkinkan untuk transfer energi ke Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara [10].
Sementara di Kalimantan Utara (Kaltara), sudah ditandatangi proyek pembangunan PLTA sungai Kayan yang berkapasitas 9000 MW. PLTA ini akan menjadi yang terbesar di Indonesia, bahkan ASEAN [11].
Jadi, dengan kapasitas daya listrik yang besar tersebut, selain memasok kebutuhan listrik di Kaltara, bahkan dapat memasok ke provinsi-provinsi di sekitarnya, termasuk Kalbar. Dengan demikian, rencana pembangunan PLTN menjadi tidak signifikan.
Keuntungan pemanfaatan energi baru dan terbarukan meliputi aspek ekonomi, sosial dan Lingkungan. Dari aspek ekonomi mencakup lapangan kerja, kompetensi dalam negeri, pasar luar negeri, kehandalan pasokan, menurunkan bahan bakar, pembukaan daerah terpencil, dan potensi pariwisata. Dari aspek sosial, akan meningkatkan derajat kesehatan, urbanisasi, kebanggaan masyarakat lokal, dan partisipasi. Dari aspek lingkungan berupa emisi rendah, habitat baru, kelestarian lingkungan, mitigasi kerusakan lingkungan, dan mengurangi sampah [9].
D. PLTN: Keuntungan dan Permasalahannya
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir atau PLTN adalah sebuah pembangkit daya thermal yang menggunakan satu atau beberapa reaktor nuklir sebagai sumber panasnya. Prinsip kerja sebuah PLTN hampir sama dengan sebuah Pembangkilt Listrik Tenaga Uap (PLTU), menggunakan uap bertekanan tinggi untuk memutar turbin. Putaran turbin inlah yang diubah menjadi energi listrik. Perbedaannya ialah sumber panas yang digunakan untuk menghasilkan panas. Sebuah PLTN menggunakan Uranium sebagai sumber panasnya. Reaksi pembelahan (fisi) inti Uranium menghasilkan energi panas yang sangat besar [12].
Konversi energi listrik yang dihasilkan dari bahan bakar PLTN, contohnya dari bahan bakar uranium, dapat menghasilkan energi yang ribuan kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan batu bara. 1 gram uranium dapat menghasilkan sekitar 90 ribu kali energi lebih banyak dari yang dihaslikan oleh 1 gram batu bara [13].
Selain keuntungan yang disebutkan di atas, PLTN juga memiliki kekurangan dan permasalahan. Dua kekurangan utama PLTN ialah risiko kecelakaan/kebocoran pembangkit nuklir dan masalah penanganan limbah nukir yg bersifar radioaktif hingga ribuan tahun.
Dunia mencatat dua kecelakan besar pada PLTN yang pernah terjadi, yaitu di Chernobyl (Ukrania, dahulu masih di bawah pemerintahan Uni Sovyet) pada tahun 1986, dan di Fukushima, Jepang pada tahun 2011.
Tragedi ledakan reaktor nuklir Chernobyl terjadi pada tanggal 26 April 1986. Pada tahun1995, Pemerintah Ukraina menyatakan bahwa 125.000 orang telah meninggal akibat efek radiasi Chernobyl. Sebuah laporan dari Chernobyl Forum memperkirakan, sekitar 50 orang terbunuh beberapa bulan setelah ledakan itu. Hingga kemudian 9.000 orang akhirnya meninggal dunia akibat kanker terkait paparan radiasi dari Chernobyl. Angka ini belum termasuk sekitar 50.000 orang yang tinggal di kawasan yang lebih luas, yang kemudian menderita kanker akibat radiasi. Dari 50.000 penderita kanker itu, separuhnya meninggal dunia. Selain itu, bencana ini mengakibatkan kerugian material sebesar 18 miliar rubel atau setara dengan Rp 3,5 triliun dan efek jangka panjang radiasi terhadap manusia masih terus diselidiki hingga saat ini [14].
Radiasi nuklir ini menyebar hingga meliputi tiga perempat wilayah Eropa, dan memberi dampak kepada Rusia, Ukraina dan Belaursia. Wilayah Chernobyl dengan luas sekita dua ribu kilometer persegi terpaksa ditinggalkan oleh penduduknya. Uniknya, pemerintah Ukraina berupaya menghidupkan kembali wilayah bekas reaktor nuklir ini dengan membangun pembangkit tenaga surya. Proses pembangunan hingga kini masih terus dilakukan, dengan sekitar 3.800 panel tenaga surya dipasang di area seluas 1,6 hektar. Ditargetkan pembangkit ini akan mula beroperasi dengan daya listrik hingga 1 MW [15].
Kebocoran reaktor nuklir di Fukushima Jepang disebabkan oleh gempa dahsyat dan tsunami yang melanda negera tersebut pada tanggal 11 Maret 2011. Tokyo Electric Power Company (TEPCO), operator dari reaktor tersebut menyatakan bahwa sekitar 45 ton air yang terkontaminasi dengan zat radioaktif cesium dan yodium, mengalir ke laut dari sistem selokan yang juga terkontaminasi dari unit kondensasi. Air yang bocor tersebut mengandung radioaktif caesium 134 sekitar 16.000 becquerels per liter dan cesium 137 sekitar 29.000 becquerels, yang melebihi batas keselamatan oleh pemerintah.
Media lokal melaporkan, air yang terkontaminasi juga mungkin mengandung zat-zat radioaktif lain seperti strontium, diketahui dapat menyebabkan kanker tulang pada manusia. Selain ancaman radioaktif terhadap kesehatan manusia, diperlukan waktu sedikitnya empat ratus tahun untuk membersihkan kawasan yang terkontaminasi bahan radioaktif tersebut, selain masalah penanganan limbah radiaktif akibat kebocoran reakor nuklir tersebut [16]. Jepang mengalami kerugian ribuan trilyun rupiah akibat kebocoran reaktor nuklir ini serta biaya yang diperlukan untuk pemulihannya [17].
Disamping kecelakaan/kebocoran reaktor nuklir, limbah nuklir sampai saat ini tetap menjadi sumber utama kecemasan masyarakat banyak tentang PLTN. Sebuah PLTN dengan kapasitas 1.000 MWe membutuhkan sekitar 1 metrik ton bahan bakar dan menghasilkan limbah sebanyak kira-kira 70 liter per hari. Sampai tahun 1980, AS telah menghasilkan 36 juta ton limbah dengan radiasi rendah dan 8.300 ton limbah dengan radiasi tinggi. PLTN membutuhkan suatu penanganan yang khusus [18].
Limbah nuklir ini dapat bertahan hingga ribuan tahun sehingg perlu penanganan dan pengamanan yang sangat teliti. Contohnya reaktor nuklir di Inggris, yang merupakan reaktor nuklir tertua (Oldburry Nuclear Power Station) yang telah ditutup tahun 2012 setelah 44 tahun beroperasi. Namun proses pembersihan keseluruhannya memerlukan waktu selama 90 tahun dan menelan biaya sebesar 954 juta poundsterling [19].
Disebabkan tingginya risiko PLTN, banyak negara yang sebelumnya menggunakan pembangkit ini untuk mulai mengurangi penggunaannya, bahkan untuk tidak menggunakannya lagi. Selain Rusia, negara-negara di Eropa dan dunia sudah mulai mengurangi (kalau tidak mau disebut meninggalkan) penggunaan energi nuklir sebagai pemasok energi listrik mereka.Â
Menyusul bencana nuklir Fukushima pada Maret 2011, Jerman secara permanen menutup delapan dari 17 reaktor nuklirnya dan bertekad untuk menutup sisanya pada akhir tahun 2022. Italia tetap bersuara keras untuk menjaga status negara mereka sebagai negara non-nuklir. Swiss dan Spanyol telah melarang pembangunan reaktor nuklir baru [20]. Sedangkan di Jepang, sebelum tragedi Fukushima, mengoperasikan 54 reaktor nuklir, namum setelah pemerintah memberikan persyaratan standar keselamatan yang sangat ketat akibat tragedi Fukushima, sebanyak 21 reaktor nuklir telah di-nonaktifkan [21].
Perancis yang mengandalkan tenaga nuklir hampir 72 persen dari kebutuhan listriknya, namun saat ini pemerintahnya ingin mengurangi menjadi 50 persen pada tahun 2030 atau 2035, sebagai gantinya mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan. Presiden Emmanuel Macron mengatakan bahwa Perancis akan menutup 14 dari 58 reaktor nuklir negara itu yang sedang beroperasi pada 2035, yang mana empat sampai enam reaktor akan ditutup sebelum 2030 [22].
Pemerintah Jerman menetapkan perubahan signifikan dalam kebijakan energi mereka dari tahun 2010. Periode ini mencakup transisi ke pasokan energi yang rendah karbon, ramah lingkungan, andal, dan terjangkau. Setelah tragedi reaktor nuklir Fukushima, pemerintah Jerman menghapus penggunaan tenaga nuklir sebagai teknologi penghubung (bridging technology) dari kebijakan energi mereka [19]. Kebijakan ini mulai membuahkan hasil, pada tahun 2018, sumber-sumber energi terbarukan menyumbang lebih dari 40 persen dari pembangkit listrik publik, yaitu campuran listrik yang disuplai ke dalam jaringan listrik publik (public power grid) [23].
Di Amerika Serikat, semasa pemerintahan Presiden Barack Obama, alokasi dana untuk pengembangan energi nuklir sangat berkurang. Pada tahun fiskal 2010, anggaran dana hanya sebesar USD 20 juta dibandingkan USD 177,5 juta pada tahun fiskal sebelumnya. Peningkatan utama dalam anggaran departemen energi AS adalah di bidang sumber energi alternatif, seperti angin, matahari dan panas bumi, serta efisiensi dan konservasi energi [24].
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa negara-negara maju di dunia sudah mengurangi penggunaan pembangkit nuklir, bahkan menuju untuk meninggalkan penggunaan energi nuklir sebagai penyuplai energi listrik. Merupakan ironi, Indonesia yang dianugrahkan sumber alam yang berlimpah, malah memprioritaskan untuk membangun PLTN di negaranya.
Salah satu pihak yang getol mempromosikan pembangunan PLTN di Indonesia adalah Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Tugas pokok BATAN sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan [12]. Dengan demikian, BATAN adalah bukan institusi yangg berwenang membangun ketenagalistrikan, dalam hal ini pembangunan PLTN.
Menurut Peraturan Presiden RI No. 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, pemerintah pusat menugaskan PT PLN (Persero) untuk menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK). Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) adalah badan usaha penyediaan tenaga listrik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan swasta yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero) melalui penandatanganan perjanjian jual beli/sewa jaringan tenaga listrik [25].
Dalam RUPTL PLN 2018, pada Bab III, halaman III-2 disebutkan "Memperhatikan potensi energi terbarukan yang cukup besar, maka pemanfaatan energi nuklir merupakan pilihan terakhir".
Demikian juga dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dituangkan dalam Peraturan Presiden RI No. 22 tahun 2017, pada halaman 36 disebutkan "energi nuklir dapat dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan Energi Nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi EBT sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat" [26].
Kesulitan terbesar dalam merencanakan PLTN adalah tidak jelasnya biaya kapital, biaya radioactive waste management & decommisioning serta biaya terkait nuclear liability.
Disadari bahwa pengambilan keputusan untuk membangun PLTN tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan keekonomian dan profitability, namun juga pertimbangan lain seperti aspek politik, Kebijakan Energi Nasional (KEN) target penggunaan EBT paling sedikit 23% pada tahun 2025, Â penerimaan sosial, budaya, perubahan iklim dan perlindungan lingkungan. Dengan adanya berbagai aspek yang multi dimensional tersebut, program pembangunan PLTN hanya dapat diputuskan oleh Pemerintah (RUPTL PLN 2018).
Setelah kegagalan pembangunan PLTN di Muria di Jepara (Jawa Tengah) yang disebabkan penolakan masyarakat dan faktor politis lainnya, BATAN menyasarkan daerah-daerah di luar jawa seperti di Pulau Bangka dan Kalimantan (dengan potensi di Bengkayang, Ketapang dan Sambas) untuk membangun PLTN. Menurut mantan anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim, rencana BATAN ingin membangun PLTN mini di wilayah terpencil dianggapnya irasional. Ketidakjelasan arah ini, katanya, sama saja kita membuat bom atom di beberapa wilayah [27].
Apalagi dengan menguatnya wacana dan gencarnya persiapan pemindahan ibukota negara ke Kalimantan, rencana pembangunan PLTN di daerah ini menjadi suatu kebijakan yang berisiko tinggi. Dalam era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi saat ini, masyarakat di daerah terpencil sekali pun dapat mengakses informasi-informasi berkaitan dengan rencanca pembagunan PLTN ini dan permasalahannya yang akan berdampak langsung dengan kehidupan dan masa depan mereka.
Terakhir, klaim BATAN bahwa biaya produksi listrik dari PLTN lebih rendah terbantahkan dengan pernyataan yang disampaikan oleh wakil Menteri ESDM yang menyatakan bahwa keekonomian tarif PLTN saat ini belum memadai. Perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) sebesar 12 sen USD per kWh. Padahal harga beli maksimal PLN atau BPP (Biaya Pokok Penyediaan) sebesar 7 sen USD per kWh [1, 28].
E. Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia khususnya Kalimantan Barat memiliki potensi energi yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan energi listrik pada saat ini maupun untuk masa mendatang.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2018-2017 dan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) ditegaskan bahwa pembangunan PLTN sebagai alternatif terakhir sumber energi listik di Indonesia. Investasi yang besar untuk pengembangan PLTN dapat digunakan untuk pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Selain penyedian kebutuhan energi listrik, protekssi dan keandalan sistem penyaluran listrik juga perlu ditingkatkan, terutama menyangkut jaringan pasokan listrik yang jauh seperti antar provinsi (SUTET).
Diharapkan semua pihak terkait dalam menentukan kebijakan kelistrikan, baik dari pemerintah, PLN, tokoh masyarakat, LSM, swasta, dan para akademisi dapat duduk bersama dalam upaya mengambil keputusan terbaik, yang nantinya bukan hanya berdampak untuk saat ini tapi juga pada generasi-generasi yang akan datang.
Referensi
[1] Â "Pemprov Kalbar Upayakan Realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir", Bisnis.com, 21 Mei 2019.
[2] Â "PLTN di Kalbar Ditargetkan Beroperasi 2025", Tribun News.com, 26 Juni 2019.
[3] Â Kepmen ESDM No. 1567K/21/MEM/2018 tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2018-2027, 13 Maret 2018.
[4] Â N. Soraya, "Surplus Daya 169 MW, PLN Dukung Investasi Masuk Kalbar", Tribun News, 15 Mei 2018.
[5] Â H. B. Pratomo, Â "80 Persen listrik Kalimantan Barat masih diimpor dari Malaysia", Merdeka.com, 4 Oktober 2018.
[6]  Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 4 Tahun 2017 tentang Objek Vital Nasional Bidang Energi dan          Sumber Daya Mineral, 11 Januari 2017.
[7] Â "2 Pembangkit di Kalbar Beroperasi", Bisnis.com, 8 Mei 2017.
[8] Â "Energi Hijau nan Murah di Indonesia, Mungkinkah?", CNBC Indonesia, 25 Mei 2018.
[9] Â "Kajian Penyediaan dan Pemanfaatan Migas, Batubara, EBT dan Listrik", Pusat Data dan Teknologi Informasi, Â ISBN: 978-602-0836-26-3, 2017.
[10] T. Winarko, C. A. D. Wahyudi, T. A. Matin, Y. Mustofa, "Perencanaan dan Alternatif Pengembangan Sistem Kelistrikan Kalsel -- Kalteng", Antara        News, 22 Mei 2018.
[11] T. Felisiani, "Istana Kawal Proyek PLTA di Sungai Kayan Kalimantan Utara", Tribun News, 16 Agustus 2019.
[12] "Pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir", BATAN (diakses pada 10 Agustus 2019).
[13] P. Singh, "Nuclear Energy Comparison with Alternative Energy Sources", Stanford University, 18 Maret 2015.
[14] A. N. Prattama, "Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Ledakan Reaktor Nuklir Chernobyl", Kompas, 26 April 2019.
[15] A. V. Perdana, "Ukraina Segera Hidupkan Kembali Kawasan Chernobyl", Kompas, 10 Januari 2018.
[16] R. A. Hasan, "4 Warisan Mengerikan dari Bencana Nuklir Fukushima", Liputan6.com, 28 Oktober 2018.
[17] A. Pratiwi, "Jepang Butuh 20 Triliun Yen untuk Pemulihan Tragedi Fukushima", Republika online, 28 November 2016.
[18] A. Sugiyono, "PLTN Vs PLTU Untuk Energi pembangikt Listrik Di Masa Mendatang", Kompasiana, 21 September  2011.
[19] N. Enoch, "Britain oldest nuclear power station closes...but it will take 90 more years and 954m to clear it completely", Daily Mail, 1 Maret 2012.
[20] "Nuclear Power Phase Out", Wikipedia.org (diakses tanggal 17 Agustus 2019).
[21] "Japan Nuclear Power Plant", Nippon.com, 8 Juli 2019 (diakses pada 17 Agustust 2019).
[22] "France to close 14 nuclear reactors by 2035: Macron", France24.com, 27 November 2018.
[23] "Renewable Sources Contribute More Than 40 Percent to Germany's Public Net Electricity Generation in 2018", Fraunhofer Institute for Solar          Energy Systems (ISE), 1 April 2019.
[24] "US Nuclear Power Policy", Worl Nulcear.org, Maret 2019.
[25] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, 8 Januari 2016.
[26] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, 2 Maret 2017.
[27] "Peneliti: Sampai Tahun 2100 Indonesia Tidak Butuh Nuklir", Tribun News.com, 14 Agustus 2015.
[28] "Rencana Pembangunan PLTN di Babel Semakin Menguat, Ternyata Ini Penyebabnya", Tribun News, 15 November 2017.
Â
*)Â penulis adalah warga Kalbar, bagian dari komunitas pecinta energi baru dan terbarukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H