Saya akan memaparkan beberapa ide tentang dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dari dua karya ilmiah. Buku pertama berjudul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante” karya dari Ahmad Syafii Maarif. Buku kedua berjudul “Negara Bukan-Bukan?: Driyarkara tentang Pancasila dan Persoalan Relasi antara Agama dan Negara” karya dari Silvano Keo Bhaghi. Kedua buku tersebut membahas topik yang hampir serupa namun dengan keilmuan dan sudut pandang berbeda. Buku pertama menjelaskan bagaimana terjadinya perdebatan mengenai dasar negara Republik Indonesia oleh para tokoh nasional dan latar belakang ide mengapa hal tersebut terjadi disertai perbandingan dari berbagai sumber literatur sejarah, sedangkan buku kedua lebih menjelaskan tentang filsafat Pancasila dari Driyarkara serta permasalahan hubungan antara agama dan negara di dalamnya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada yang bersangkutan, mungkin kita masih ingat dengan pidato Habib Rizieq Shihab (HRS) tentang Pancasila yang kontroversial itu. Sedikit saya sambungkan dengan pidato tersebut, jauh sebelum pidato tersebut dilakukan, Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) telah menyelesaikan disertasinya dengan pembahasan yang mirip dengan pidato HRS mengenai perdebatan dalam terbentuknya Pancasila. Judul asli disertasi Buya Syafii tersebut adalah “Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” yang pertama kali diterbitkan menggunakan bahasa Indonesia pada tahun 1985. Oleh karena itu, selain Buya Syafii berusia lebih tua 30 tahun dibandingkan HRS, kita harus menghormatinya sebagai intelektual Muslim yang karyanya merupakan sumbangan penting dalam kajian politik Islam di Indonesia. Untuk itulah saya merasa berkepentingan memaparkan ide-ide yang terkandung dalam buku karya Buya Syafii tersebut.
Dalam bukunya yang diterbitkan kembali pada Maret 2017, Buya Syafii membagi buku tersebut terdiri dari lima bab. Pendahuluan yang diletakan pada Bab 1 menegaskan antara Islam cita-cita dan Islam sejarah, mengutip dari tulisan Fazlur Rahman, “Harus ada kaitan yang positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin. Menjadi sama pentingnya bagi gerak yang demikian itu agar yang ideal (cita-cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Bila tidak demikian, kesadaran nurani menjadi tumpul dan yang aktual menjadi mandek sampai ke suatu titik di mana kepentingan (cita-cita) merosot menjadi kepentingan golongan atau malah semata-mata terperosok dalam pemenuhan kepentingan individu.” Dengan ungkapan lain, perjuangan umat Islam Indonesia, sekalipun tidak berhasil, adalah bagian dari usaha strategis mereka untuk mengaktualisasikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang mereka pahami. Pada Bab 2 dipaparkan pengertian singkat dan tepat tentang Al-Quran dan Nabi disertai teori-teori politik yang dirumuskan oleh para yuris Muslim abad pertengahan dan oleh sarjana-sarjana serta pemikir-pemikir Muslim modern. Bab 3 bertitik berat pada mendekati Islam Indonesia di abad ke-20, yang tidak saja bersifat deskriptif-historis, tetapi juga analisis-evaluatif. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan suatu latar belakang sejarah yang komprehensif. Dalam Bab 4 diuraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan Islam sebagai dasar falsafah negara oleh partai-partai Islam. Juga prospek dan kemungkinan-kemungkinan hari depan Islam di Indonesia. Kemudian Bab 5 sebagai kesimpulan dari studi yang dilakukan.
Ada beberapa hal menarik dibahas dalam buku pertama yang akan saya paparkan di sini. Salah satunya ialah sejarah karier Nabi Muhammad baik di masa Mekah (610-622 M) maupun di masa Madinah (622-632 M). Jika di sana tampak perbedaan, hal itu terutama terletak dalam kenyataan bahwa Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyokong misi kenabiannya pada masa Mekah, sementara di Madinah, beliau sebagai kepala politik-agamanya, sekalipun beliau tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang penguasa. Berbeda dengan kedudukan Nabi Daud yang pada waktu yang sama juga berfungsi sebagai raja, Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa, apalagi sebagai raja. Dalam hubungan ini, pendapat Ibn Taimiyah menekankan bahwa kekuasaan politik disimbolkan oleh pedang menjadi sesuatu yang esensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat agama; ia bukan ekstensi dari agama. Seluruh karier politik Nabi Muhammad menguatkan penjelasan tersebut. Bahkan istilah daulah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al-Quran; istilah daulah (QS. 59: 7) memang ada tapi bukan bermakna negara, melainkan dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Dengan kata lain, Al-Quran tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti dan kering harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Alasan untuk ini tidak sulit untuk dicari. Pertama, Al-Quran pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa.
Segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, masyarakat Islam yang masih muda itu telah dihadapkan kepada sebuah krisis kontitusional. Tentang siapa yang harus menggantikannya sebagai kepala komunitas Islam yang telah didirikannya itu. Baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi tidak membedakan perintah-perintah yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat mempertahankan persatuan. Dihadapkan kepada suasana ketegangan politik ini, umat Islam harus mencari suatu cara yang masuk akal dan damai untuk memecahkan masalah penggantian kepemimpinan itu. Sebelum wafat, Nabi telah berpikir untuk menciptakan suatu perimbangan kekuatan antara kaum Muhajirin dan Ansar sebagai penduduk Madinah. Akhirnya, setelah melalui sebuah diskusi yang panjang dan panas antara kedua kekuatan itu di Balai Banu Saidah, tokoh Muhajirin Abu Bakar dipilih sebagai khalifah yang pertama menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat. Dengan demikian, istilah kekhalifahan secara ketat menunjuk kepada periode sesudah Nabi; begitu juga istilah imamah sebagai suatu konsep politik yang dikembangkan oleh para yuris abad pertengahan adalah hasil perumusan belakangan. Namun istilah imam (pemimpin politik) dapat dipasangkan kepada posisi Nabi dalam pengertian ia juga berfungsi sebagai pemimpin yang efektif. Landasan yang kita pakai di sini hanyalah semata-mata landasan fakta sejarah, bukan karena Nabi menyebut dirinya sebagai seorang imam. Bila diperiksa lebih jauh, pertemuan di Balai Banu Saidah menjadi titik tolak yang sangat penting dalam sejarah politik Islam pada masa awal. Pertemuan ini dapat disebut sebagai pelaksanaan syura pertama di kalangan umat setelah wafatnya Nabi. Pada hari berikutnya, pemilihan Abu Bakar dikuatkan oleh ijma’ (konsensus) umat Islam. Ijma’ pertama inilah yang menjadi dasar bagi teori politik golongan Sunni.
Ada dua faktor dominan yang memberikan latar belakang sosiologis kepada teori golongan Sunni tentang masalah kekhalifahan dan imamah. Pertama, adanya kemunduran politik imperium Abbasiyyah. Manakala gejala kemerosotan semakin kentara, maka semakin spekulatiflah para yuris merumuskan doktrin politiknya. Untuk alasan ini mereka berani menggunakan Hadits politik apapun tanpa dipertanyakan secara kritis. Dalam banyak kasus, doktrin mereka terutama mencerminkan kepentingan tipe Islam imperium, bukan Islam Al-Quran. Tujuan teori ini terutama mempertahankan integritas, stabilitas dan keamanan sebuah imperium, sekalipun mengabaikan prinsip syura, persamaan bagi umat Islam tanpa memandang ras, asal-usul dan hubungan darah dengan Nabi. Kedua, faktor bagi penyebab corak apologetik bagi teori golongan Sunni ialah adanya serangan efektif di bidang politik, agama dan intelektual dari golongan Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah terhadap kekuasaan Abbasiyyah. Sebagai konsekuensi logis dari tekanan sejarah ini, para yuris Sunni mengembangkan doktrin mereka untuk berurusan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Yuris Sunni pertama yang menyusun teori tentang khilafah dengan cara yang sedikit sistematis ialah Abu Bakar Muhammad ibn al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn al-Qasim al-Baqillani al-Basri, seorang pengikut mazhab Maliki, yang meninggal pada 1013 M. Karakter defensif dari teori yang dikemukakan dalam bukunya sebagai sebuah karya penolakan (radd) terhadap golongan Syiah, Khawarij dan Mu’tazilah. Tentang mekanisme pemilihan, al-Baqillani hanya mengikuti pandangan mentornya, Abu al-Hasan al-Asy’ari, salah seorang pendiri teologi Sunni, yang berpendapat bahwa imamah ditegakan melalui pemilihan dan tidak dengan penetapan. Butir penting lainnya dari al-Baqillani ialah penolakannya tentang legitimasi adanya dua imam atau lebih pada waktu yang bersamaan. Sementara itu, seperti halnya yuris-yuris Sunni lainnya pada periode sebelum serangan Mongol, al-Baqillani juga berpendirian bahwa seorang imam haruslah keturunan Quraisy. Meskipun al-Baqillani adalah pengikut al-Asy’ari, ia tidak menyebutkan doktrin mentornya itu tentang imamah adalah wajib karena wahyu dan bukan karena pertimbangan akal.
Adapun yuris Sunni yang lain, Abu al-Hasan al-Mawardi, pengikut mazhab Syafi’i, yang meninggal pada 1058 M. Karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah (Ordonasi Pemerintahan) ditulis dalam usaha mempertahankan otoritas khalifah Abbasiyyah terhadap amir-amir Buwahiyah yang menguasai negara mereka secara efektif. Dalam teorinya, al-Mawardi tidak hanya menolak klaim golongan Syiah untuk imamah, bahkan yang lebih penting lagi ia menekakan bahwa khalifah haruslah seorang penguasa aktif dan tidak sebagai figur simbol. Al-Mawardi menegaskan bahwa institusi imamah berasal dari perintah agama lewat ijma’ (konsensus). Menurut teorinya, institusi imamah hanyalah mungkin manakala konsep taat melekat pada institusi ini. Lalu ia simpulkan bahwa wajib bagi umat Islam untuk menunjukkan taat kepada pihak yang berkuasa atas mereka, yaitu para pemimpin (al-a’immah) yang dipercayai memikul tugas ini, tidak peduli apakah mereka baik atau buruk. Dengan demikian, taat kepada para khalifah adalah kewajiban agama. Inilah salah satu alasan mengapa gagasan syura sulit sekali berkembang dalam pemikiran politik Islam, karena lingkungan untuk itu tidak menguntungkan. Para penguasa hanya mengeksploitasi doktrin para yuris untuk kepentingan mereka sendiri. Berbicara prosedur penggantian imam, menurut al-Mawardi, imam dapat diangkat melalui pemilihan oleh ahl al-hall wa al-a’aqd atau boleh melalui penetapan imam yang masih memerintah. Al-Mawardi menolak pendapat yang membolehkan adanya dua imam atau lebih pada waktu yang bersamaan, namun memperbolehkannya jika wilayah kekuasaannya terpisah jauh. Posisi al-Mawardi ini jelas untuk menolak tuntutan pihak Fatimiyah yang berkuasa di Mesir dan merupakan ancaman politik terhadap kerajaan Abbasiyyah.
Pada periode pasca Mongol, terdapat yuris ternama, yaitu Taqi al-Din Ahmad ibn Abd Halim ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah adalah pengikut mazhab Hanbali. Ibn Taimiyah adalah salah satu yuris yang dengan keras menekankan bahwa hak untuk berijtihad terbuka bagi setiap Muslim yang mempunyai kemampuan. Pendapat yang mengatakan bahwa hak untuk berijtihad dimonopoli oleh para pendiri empat mazhab ditolak sepenuhnya oleh Ibn Taimiyah. Dalam mempertahakan prinsip ijtihad, Ibn Taimiyah hampir berdiri sendirian saat yuris-yuris yang lain mengajarkan taklid (penerimaan sebuah otoritas tanpa dipertanyakan) kepada rakyat. Sekalipun ia pengikut mazhab Hanbali, Ibn Taimiyah tampaknya lebih merupakan seorang yuris dan pemikir bebas. Karyanya tentang berbagai aspek Islam banyak sekali, di antara yang masih selamat itu adalah bukunya yang terkenal Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syiah wa al-Qadariyyah(Metode Sunnah Nabi dalam Menolak Doktrin Syiah dan Qadariyyah) dalam empat jilid dan al-Siyasat al-Syar’iyyah (Administrasi Politik Syariat). Kitab Minhaj adalah penolakan Ibn Taimiyah terhadap penulis Syiah Ibn Muthahhar al-Hilli dalam sebuah bukunya yang berisi bujukan terhadap raja Mongol agar memeluk Islam Syiah. Al-Siyasah adalah karya yang lebih bercorak spekulatif, sekalipun pada dasarnya membicarakan administrasi syariat, bukan ilmu politik. Cita-cita syariat hanyalah mungkin diterjemahkan ke dalam kenyataan dan terwujud dalam kehidupan masyarakat bilamana dilindungi dan dijaga oleh ‘pedang penolong’. Pedang ini tidak lain dari wilayah (organisasi politik). Akan tetapi, karena kekhalifahan telah berlalu, Ibn Taimiyah tidak berminat lagi berspekulasi tentang isu khilafah ini sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya. Perhatiannya beralih dari isu khilafah kepada persoalan syariat sebagai satu-satunya dasar pengikat masyarakat Islam. Ibn Taimiyah juga berpendirian bahwa umat wajib menaati kekuasaan politik yang bagaimanapun. Penerimaannya atas hadis-hadis politik secara tidak kritis dengan tujuan agar umat Islam dan pemimpin politiknya tetap utuh. Namun dalam polemiknnya dengan al-Hilli yang berpendapat bahwa imamah adalah wajib karena Tuhan, Ibn Taimiyah dengan tegas menolak klaim semacam ini. Alasannya ialah karena Iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting dari masalah imamah. Seruannya untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta pemberontakannya terhadap pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup merupakan sumbangannya bagi perkembangan pemikiran Islam yang kreatif. Oleh sebab itu, ia tidak keberatan untuk melihat kemungkinan adanya beberapa negara Islam pada satu waktu. Menurut pendapatnya, tidaklah dilarang agama manakala beberapa negara Islam saling berdampingan. Ibn Taimiyah memang menekankan pentingnya syura itu bagi kehidupan masyarakat. Tetapi, desakannya untuk taat kepada ulu al-amr (pemegang otoritas), yaitu penguasa dan ulama, secara implisit telah merenggut hak umat pada umumnya untuk turut serta dengan aktif dan kreatif dalam mekanisme syura.
Gerakan Wahabi di Arabia pada abad ke-18 adalah gerakan pertama yang berhasil menghidupkan imbauan Ibn Taimiyah kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Pendiri gerakan ini ialah Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) dari Arabia Tengah. Gerakan ini bercorak puritan, radikal, kaku dan sederhana. Abdul Wahab berhasil membuat aliansi dengan Ibn Saud, seorang pangeran lokal Najd, hingga teori dan praktik dapat berjalan seiring. Dalam perjalanan waktu, setelah mengalami periode pasang surut yang panjang, akhirnya pada 1925 M seluruh Semenanjung Arabia jatuh ke tangan Dinasti Saudiyah dan karenanya paham Wahabi dijadikan doktrin keagamaan resmi oleh pemerintah Arab Saudi. Menurut sejarah, gerakan Wahabi muncul pada dasarnya adalah sebagai suatu protes terhadap kemerosotan internal dalam kehidupan komunitas umat Islam. Dengan penekanan tajam atas pemulihan kembali ajaran tauhid ke dalam ruh umat Islam. Pada aspek ini, gerakan Wahabi tidak diragukan lagi telah memainkan pera penting dalam membangun kembali kesadaran Tauhid di kalangan umat dan karena itu, pendirinya diberi julukan oleh Iqbal sebagai “Pembaru puritan agung” (The Great Puritan Reformer). Namun, karena pendekar gerakan ini tidak melampaui garis demarkasi murni, Wahabisme tidak dapat kita pertimbangkan sebagai salah satu gerakan modernis Islam. Sekalipun gerakan ini menghimbauijtihad, kecenderungan anti-intelektual yang ia tunjukan telah menyebabkan seruan ini kehilangan makna. Berbeda dengan Ibn Taimiyah, Abdul Wahab hanyalah mengambil dan mengembangkan satu aspek tauhid dari doktrin komprehensif yuris dan pemikir panca-Mongol itu. Dalam teori politik Islam, Wahabisme tidak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan. Sementara itu, kolaborasi ulama Wahabi dengan para peguasa Saudi jelas menunjukkan kesediaan mereka menerima dan mempertahankan sistem politik dinasti.
Pendiri yang sebenarnya dari gerakan modernis Islam ialah Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897 M). Meskipun al-Afghani tidak menampilkan modernisme intelektual, panggilannya untuk penggalian disiplin ilmu dan filsafat dengan jalan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan untuk pembaruan pendidikan pada umumnya telah sangat memengaruhi lalu lintas pemikiran dan sikap modernis Islam sampai dengan saat sekarang. Untuk pembaruan ke dalam, al-Afghani mengikuti gerakan Wahabi tetapi lebih komprehensif dalam ruang lingkup dan dimensinya, berjuang dengan penuh semangat untuk membebaskan hati dan otak umat dari takhayul, masa bodoh dan pasivisme. Berbeda dengan Wahabi, al-Afghani menekankan penggunaan akal manusia dengan lebih bebas dan menolak tradisionalisme tanpa pikir; juga menolak peniruan membabibuta terhadap Barat. Karena perhatian utamanya adalah usaha pembebasan tanah kaum Muslim dari penjajahan Barat, ia tampak tidak memiliki waktu untuk melakukan pemikiran kontemplatif yang serius bagi bangunan intelektual Muslim. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari dominasi Barat juga menegakkan kemerdekaan spritual, intelektual dan ekonomi Timur. Sedikit menengok pendapat-pendapat Iqbal (1877-1936 M), pemikir dan penyair Muslim yang paling serius sebelum Perang Dunia II. Iqbal penentang habis-habisan kediktatoran, sekalipun ia juga cukup kritis terhadap demokrasi Barat. Tetapi kritiknya tidaklah berarti penolakannya pada sistem demokrasi. Ia mengkritik demokrasi Barat karena sistem ini banyak menutupi kezaliman di samping sebagai senjata bagi imperialisme dan kapitalisme Eropa. Dalam sebuah esai yang berjudul “Islam as a Moral and Political Ideal” yang muncul pertama kali dalan Hidustan Review (1909), Iqbal menuliskan bahwa demokrasi merupakan aspek terpenting Islam, dipandang sebagai cita-cita politik. Baginya, hakikat Tauhid sebagai satu gagasan kerja ialah persamaan, solidaritas dan kebebasan. Negara, dari sudut pandang Islam, adalah suatu upaya untuk mengubah prinsip-prinsip ideal ini ke dalam kekuatan ruang-waktu, suatu inspirasi buat merealisasikanya dalam organisasi manusia yang jelas dan pasti.