Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Beberapa waktu ini saya dibuat bingung oleh kelakuan sebagian orang yang mengaku orang Indonesia namun tidak mencintai sejarah negerinya sendiri dan tidak menghormati perjuangan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari para penjajah. Mereka lebih senang menikmati doktrin asing yang sebenarnya mereka tidak paham seutuhnya. Doktrin asing yang saya maksud adalah Hizbut Tahrir atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia ialah “Partai Pembebasan”. Oleh karena kekurangpahaman kita tentang gerakan ini, mari kita bahas penyebarannya di Indonesia tercinta kita.
Hizbut Tahrir (HT) pertama kali didirikan pada tahun 1953 di Palestina, 8 tahun lebih muda dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada awalnya HT adalah gerakan perlawanan negeri Palestina yang jatuh ke tangan Israel. Pendirinya adalah Taqiuddin al-Nabhani yang berpendapat kekhilafahan Islam ialah solusi bagi kebangkitan umat Islam dari imperialisme. Gagasan HT masuk ke Indonesia pada tahun 1982. Kemudian terbentuklah organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang memproklamasikan diri pada tahun 2000. HTI mengadakan Muktamar Khilafah 2013 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Juni 2013. Lalu pada 6 Juni 2013, TVRI menayangkan siaran tunda acara Muktamar HTI di Senayan, Jakarta. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai TVRI sebagai lembaga penyiaran publik telah mengalami disorientasi kebangsaan dengan menayangkan acara tersebut dikarenakan ideologi HTI yang mempermasalahkan ideologi negara, nasionalisme, dan menolak demokrasi. TVRI dipanggil dan terbuka kemungkinan dijatuhkan sanksi. Tetapi anehnya pada 2 Juli 2014, HTI malah terdaftar sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada pemerintahan Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut dokumen rapat yang diperoleh Tempo, ada puluhan aktivis yang dianggap menyimpang oleh pemerintah selama kurun 4 Maret-24 April 2017. Contohnya bedah buku “Menyamakan Visi Persatuan Umat Islam Indonesia” di Masjid Al-Ghufron, Perumahan Margahayu, Bekasi Timur, pada 4 Maret 2017. Rencana pembentukan negara khilafah menguat karena ada bukti naskah Rancangan Undang-Undang Dasar Islami (Ad-Dustur al-Islami) yang tengah digodok HTI. Terdiri atas 186 pasal, rancangan ini menyebutkan Indonesia sudah saatnya menjadi negara Islam dengan sistem khilafah. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk dengan sejarah yang cukup panjang dengan berbagai pertimbangan. Untuk menjelaskan perjuangan pembentukan konstitusi negara Republik Indonesia itu, saya menyarankan untuk kita membaca buku karya Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) yang berjudul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante” yang diterjemahkan pertama kali pada tahun 1985 dari disertasi Buya Syafii dengan judul Islam as the Basic of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa terjadi perdebatan tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante berlangsung selama November 1956 sampai Juni 1959, tanpa mencapai suatu keputusan.
Perdebatan tersebut boleh jadi akan berlangsung tanpa kesudahan jika Presiden Sukarno tidak melakukan intervensi dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Adapun pandangan Bung Hatta tentang Pancasila sebagai berikut: “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip spriritual dan etik yang merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila”. Kemudian perlu dicermati pula pendapat Natsir yang menginginkan terbentukya Negara Islam yang demokratis. Menurut Natsir dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosio-politik, prinsip penting yang harus diikuti dan dihormati adalah prinsip syura(parlemeter). Tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura semuanya tergantung pada ijtihad umat Islam.
Ketua GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan penolakan terhadap kegiatan HTI di berbagai daerah terjadi karena mereka menawarkan khilafah dan mengesampingkan Pancasila. Bahkan di beberapa kota, GP Ansor terpaksa membubarkan kegiatan HTI karena terang-terangan menolak Pancasila. Tak cuma menawarkan khilafah, HTI di beberapa daerah juga aktif mengkampanyekan isu kebangkitan komunis di Indonesia. Pada 1 April lalu, 35 Anggota HTI Bangkalan, Madura, menggelar parade di Stadion Karapan Sapi. Mereka menyerukan umat Islam wajib menumpas segala yang hendak membangkitkan paham komunisme di Indonesia. Di saat yang sama, HTI Banyuwangi berdemo menyerukan hal serupa.
Isu bahaya komunisme ini juga dipakai HTI untuk menyerang PDI Perjuangan. Di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada acara Forum Kerukunan Umat Beragama, HTI menyebut PDIP memiliki kedekatan dengan komunis. Seperti yang pernah saya jelaskan dalam tulisan saya yang lain, sebagian masyarakat Indonesia tidak mengerti arti komunisme dalam arti yang sebenarnya. Mereka hanya menerima doktrin yang diberikan pemerintahan Soeharto selama 32 tahun lamanya. Dan perlu juga diingat bahwa generasi milenial saat ini berusia sangat muda yang belum dilahirkan pada saat peristiwa G30S/PKI terjadi. Bahkan sebagian besar generasi milenial yang sudah tumbuh besar pada saat peristiwa runtuhnya Orde Baru, tidak juga benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga isu komunisme ini sangat mudah sekali menyebar dan melekat dipikiran sebagian masyarakat kita.
Penyebar ide Hizbut Tahrir (HT) pertama di Indonesia adalah Abdurrahman al-Baghdadi yang merupakan anggota dari Hitbut Tahrir Australia. Abdurrahman sudah akrab dengan pemikiran HT sejak berumur 15 tahun. Keluarganya adalah anggota Hizbut Tahrir di Lebanon. Mereka pindah ke Australia dan menjadi warga negara negara tersebut. Abdurrahman al-Baghdadi datang ke Indonesia pada tahun 1982. Ia datang ke Bogor, Jawa Barat, bersama ayah Muhammad Mustofa, Abdullah bin Nuh, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ghazali yang juga dosen Universitas Indonesia. Di bogor, Abdurrahman tinggal di Pesantren Al-Ghazali dan diangkat anak oleh Abdullah. Selain mengajar di pesantren,
Abdurrahman berkenalan dengan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang sedang melakukan kajian keislaman di Masjid Al-Ghifari di kampus IPB. Di sinilah Abdurrahman menularkan pemikiran HT kepada mereka. Bersama Mustofa, Abdurrahman kemudian menyemai gagasan HT. Mustofa menjadi menyambung lidah Abdurrahman yang belum menguasai bahasa Indonesia. Ia menerjemahkan setiap kata yang diucapkan saudara barunya itu terkadang dengan padanan yang lebih lunak. Meskipun ikut menaburkan gagasan HT, Mustofa menolak bergabung, terutama setelah mereka memproklamasikan diri sebagai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2000. Mustofa tidak setuju dengan keinginan HTI untuk mendirikan kekhilafahan Islam. Ayah Mustofa, Abdullah, juga tidak pernah bergabung dengan HT. Penolakan tersebut tak memutuskan hubungan Mustofa dan Abdurrahman al-Baghdadi. Agresifnya murid-murid Abdurrahman mengkudeta gurunya sendiri. Abdurrahman terlempar dari HTI. “Dia ditendang dari HT oleh murid-muridnya yang sekarang menjadi petinggi HTI,” kata Mustofa, yang kini menjadi pengasuh Pesantren Al-Ghazali sekaligus pengurus Nahdlatul Ulama (NU) di Bogor. Menurut Mustofa, Abdurrahman kini tinggal di Bogor dan sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Abdurrahman al-Baghdadi masih berdakwah tapi tidak lagi menuntut pendirian khilafah.
“Kami baru saja membahas rencana pembubaran HTI oleh pemerintah,” kata Riki Nasrullah, Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa Bidang Intelektual HTI Kampus Jatinangor. Menurutnya, mereka mediskusikan artikel dalam buletin HTI empat halaman, Al-Islam, dengan judul “Khilafah Negara Islam, Mengapa Dikriminalkan?”. Menurut Riki, di Bandung, konsentrasi kader HTI tidak hanya di Universitas Padjadjaran. Anggotanya juga ada di Institut Teknologi Bandung dan Institut Koperasi Indonesia. Dia menyebutkan ada sekitar 60 mahasiswa yang aktif di wilayah Jatinangor. “Simpatisan lebih banyak, kami tidak mendata,” ucapnya. Universitas menjadi basis utama kaderisasi HTI. “Kampus sangat potensial untuk dakwah,” kata Ketua Lajnah Khusus Mahasiswa HTI Kota Bandung, Andika Permadi Putra. Lulusan Jurusan Teknik Geodesi ITB itu menuturkan kader mereka tersebar di 51 kampus di Kota Bandung. Seorang mahasiswi IPB anggota BKIM menuturkan promosi Khilafah Islamiyah oleh HTI sangat terukur. “Senior akan memantau kami bagaimana melakukan itu,” kata perempuan yang minta namanya tidak disebutkan ini. Ia punya kewajiban menyebarkan 20-25 lembar Al-Islamper pekan. Kader HTI juga harus masuk ke organisasi internal kampus. Di Universitas Padjadjaran, HTI terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan pernah tiga kali mengikuti pemilihan Presiden BEM.
Gerakan HT telah dilarang dibeberapa negara di dunia, bahkan penolakan tersebut datang tidak hanya dari negara sekuler yang demokratis namun juga di negara-negara yang menerapkan hukum Islam sebagai hukum positif. Negara-negara yang menolak HT antara lain, Malaysia, Arab Saudi, Turki, Yordania, Mesir, Tunisia, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, Rusia, Belanda, dan Jerman. Adapun di beberapa negara lain yang juga melarang berkembangnya HT yang diperoleh dari sumber lain, yaitu Bangladesh melarang pada 22 Oktober 2009, karena mengancam kehidupan damai negeri itu. Kazakhstan melarang pada tahun 2005. Kirgistan melarang pada tahun 2004. Di Denmark, kegiatannya menolak lembaga-lembaga demokratis membuatnya beberapa kali bermasalah dengan hukum. Di Perancis dan Spanyol pada 2008 HT dianggap organisasi ilegal. Perdana Menteri Negara Bagian New South Wales, Australia berusaha melarang HT, namun dihalangi oleh Jaksa Agung atas nama demokrasi. Menurut pengalaman pribadi penulis, HTI adalah gerakan yang benar-benar anti-demokrasi tapi seringkali memanfaatkan sarana yang diberikan negara demokrasi untuk menyebarkan ajarannya. Contoh pengalaman aneh tersebut didapatkan dari media sosial Instagram.
Pada akun HTI yaitu @indonesiabertauhid, saya menanyakan beberapa hal untuk mengukur wawasan apa saja yang telah mereka terima. Pertanyaan tersebut antara lain mengenai yang disebut dengan negara agama, politik Islam, khilafah, dan sumber hukum Islam. Dari beberapa pertanyaan tersebut, didapat kesimpulan bahwa sebenarnya para simpatisan HTI ini tidak memiliki wawasan yang cukup sehingga mudah sekali dimasuki doktrin asing HT yang tidak cocok diterapkan di Indonesia berdasarkan latar belakang sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hasilnya, mungkin dikarenakan admin akun tersebut merasa resah dengan pertanyaan-pertanyaan penulis, akun Instagram penulis di-block sehingga saya tidak bisa mengakses akun penyebar gerakan HTI tersebut lagi. Salah satu hal yang bisa diambil pelajaran dari perdebatan itu adalah kegagalpahaman beberapa simpatisan khilafah yang menganggap negara Islam yang diusung HTI ini mirip dengan yang telah diterapkan Arab Saudi, Malaysia, ataupun Turki yang faktanya jelas bahwa negara-negara tersebut menolak gerakan tersebut.
Pemerintah sedang memproses pembubaran HTI secara hukum karena organisasi itu dianggap meresahkan dan ideologinya bertentangan dengan Pancasila. HTI menolak adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dinilai tidak sejalan dengan negara Islam berbentuk khilafah yang dikampanyekan HTI. Mereka menolak dianggap bertentangan dengan Pancasila dikarenakan HTI bernaung di bawah Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan dan telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2 Juli 2014 saat Pemerintahan SBY. HTI tidak setuju dengan adanya demokrasi karena menolak gagasan bahwa rakyat harus berpatisipasi dalam membuat hukum dan peraturan, sedangkan bagi HT, manusia itu hanya pelaksana hukum dan peraturan.
Pembuatnya adalah Allah melalui Al-Quran dan Hadits. Tetapi HT tidak menolak kebebasan berekpresi yang diberikan oleh demokrasi, karena menurut mereka kebebasan berdakwah adalah hak. Ismail Yusnanto mulai berhati-hati ketika menjelaskan struktur organisasi HTI. “Di HTI, semua ketua, saya juga ketua,” ujar lulusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1988 itu di markas HTI di perkantoran Crown Palace, Tebet, Jakarta Selatan. Untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah khilafah, saya menyarankan untuk membaca buku The Fall of The Khilafah karya Eugene Rogan. Kemudian untuk menambah wawasan dunia keislaman buku Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban karya Fazlur Rahman layak dicermati. Satu buku lagi yang sangat saya sarankan berjudul Jihad, Khilafah dan Terorisme dari Maarif Institute yang bekerjasama dengan Mizan sebagai penerbit.
Saya menilai gagasan yang digadangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini sangat absurd. Hal yang paling mencolok ketika dengan tegas mereka menolak demokrasi tetapi tidak menolak kebebasan berekspresi dan bermusyawarah. Kemudian mereka merancang undang-undang hanya berdasarkan Al-Quran dan Hadits sedangkan di sana tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara membangun suatu sistem kenegaraan.
Sudah pasti rancangan undang-undang yang dibuat oleh HTI menggunakan cara-cara ijtihad. Lantas apa perbedaannya dengan UUD 1945 yang dirancang dengan cara bermusyawarah dan Pancasila yang telah disepakati oleh para tokoh nasionalis dan ulama terdahulu? Apakah doktrin asing Hizbut Tahrir (HT) lebih cocok jika diterapkan di dalam negeri? Tidakkah konsep khilafah HTI itu sendiri memiliki kemiripan dengan demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Bung Karno? Bukankah kemerdekaan Republik Indonesia diraih dengan perjuangan para pahlawan nasional tanpa dibantu oleh gerakan HT?
Sesungguhnya mayoritas rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia menginginkan perdamaian. Bukannya malah berpecah belah hanya karena memaksakan kehendak pribadi atau golongan tertentu. Saya teringat cerita seorang teman setelah melakukan pendakian gunung di Maluku. Ia adalah seorang yang berpikir bebas namun tetap taat menjalankan perintah agama. Ia sempat merasakan keresahan ketika ada salah seorang rekan yang menyebutnya kafir hanya karena ia mengikuti kuliah umum tentang filsafat ketuhanan meskipun ia masih menjalankan Rukun Islam, berbuat baik terhadap sesama manusia, berusaha menjaga alam dari kerusakan, dan tetap percaya bahwa agamanya yang terbaik. Lalu ia berkata kepada saya, “kok bisa ya ada orang yang menghina, terus marah-marah, sampe mengkafirkan seseorang? Padahal yang gua rasain setelah solat itu tenang dan damai banget.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H